All Chapters of Menyerah: Chapter 41 - Chapter 50
60 Chapters
Bab 41
Aku hanya bisa menatap punggung itu hingga menghilang di balik pintu, ada perasaan lega, akhirnya keputusanku bercerai didukung ibu. Orang yang aku khawatirkan bakal menentang keras perceraianku. Tapi entah mengapa masih ada rasa nyesek di dada? Apakah rasa cintaku terlalu besar, hingga mengalahkan rasa sakit yang dia torehkan? Sebelumnya aku sempat memaafkan dia, menerimanya kembali dan mencoba melupakan penghianatannya. Hingga Mbak Dita datang membawa pengakuan, bahwa di rahimnya ada benih Mas Elman. Aku berfikir lebih baik mundur, mengalah untuk Mbak Dita, daripada dihantui perselingkuhan mereka. Tapi kenapa sekarang hatiku terasa ada yang meremas-remas? 'Gusti, tolong beri aku kekuatan dan kesabaran untuk menjalani takdir ini' doaku dalam hati. "Nduk! Kamu kenapa? Ada yang sakit?" tanya ibu dengan wajah khawatir. Pelan kuusap bulir bening di sudut mata ini. Meski keputusanku untuk bercerai sudah bulat, toh rasa sakit tetap kurasakan. "Iya, Bu. Sedikit nyeri dibagian perut bawa
Read more
Bab 42
Pov AuthorDita menatap rumah itu dengan perasaan tak menentu, hati menuntunnya untuk melangkah masuk, tapi harga dirinya tak mengijinkan. Masih teringat jelas pengusiran Elman beberapa hari yang lalu, sakitnya masih terasa, bukan sakit fisik, tapi sakit hati karena direndahkan, dan diinjak-injak harganya dirinya. Dita menghrla nafas panjang, mengumpulkan keberanian untuk menemui sangat pemilik rumah. 'Ingat Dita, kamu datang untuk dirimu tapi untuk anakmu, dia butuh status yang jelas' gumam Dita menyemangati diri sendiri. Setelah beberapa kali memencet belum, akhirnya pintu terbuka. "Mbak Dita? Nyari Pak Elman? Wah, Pak Elmannya nggak ada," sapa wanita paruh baya ART Elman. Lega hati Dita, setidaknya dia tidak perlu mendengar kata-kata kasar dari laki-laki itu. Tujuannya kesini memang untuk menemui Nira, meminta belas kasihan dari wanita itu, agar mau membujuk suaminya untuk bertanggung jawab. Dia percaya, sebagai sesama perempuan, Nira pasti bisa memahami posisinya saat ini. "Bu
Read more
Bab 43
"Jadi perempuan itu cerita padamu?" ucap Elman tanpa menatap Edwin, dia lebih memilih menatap ke arah luar jendela kantornya, memperhatikan lalu lalang kendaraan. Terlihat ruwet, karena beberapa kendaraan tidak mau mengalah dan mau serobot. Sama seperti pikirannya saat ini, ruwet, mbulet, banyak masalah yang sulit diurai. Antara dendam, cinta dan rasa kemanusiaan yang kini mengaduk-aduk hati dan fikirannya.Edwin mengangguk tanpa bersuara, meski tahu Elman tidak sedang melihatnya. Dia memilih diam menunggu reaksi Elman selanjutnya. Edwin bersabar menunggu hingga Elman buka suara, tentu saja dia harus sabar, meski mereka dekat, dia tidak bisa seenaknya bicara berdua dengan Elman untuk membicarakan masalah pribadi. Butuh timing khusus, agar pria sibuk ini mau meluangkan waktu. "Untuk apa dia mengumbar aibnya pada orang lain? Mau menarik simpati, atau mencari dukungan?" sinis Elman, masih tetap menatap ke arah luar. Edwin yang tadinya ketar-ketir takut Elman tidak terima, kini bisa sed
Read more
Bab 44
"Assalamu'alaikum .... Boleh saya masuk?" Suara bariton menginterupsi obrolan kami. Dan betapa terkejutnya aku demi melihat siapa yang berdiri di ambang pintu. "Weh .... Ada dr. Bagus. Kebetulan kalau begitu, ibu mau mengurus administrasi dulu, nitip Nira ya?" ujar Ibu sambil menepuk pelan bahu Bagus. "Iya, Bu iya. Silahkan, biar Nira saya yang jaga. Dijamin aman pokoknya," sahut Bagus dengan wajah semringah. Bagus berjalan mendekat setelah ibu keluar kamar, dia mengambil kursi plastik dan duduk di tepi ranjang. "Siang ini sudah boleh pulang, kan?""Tahu darimana?" Pertanyaan bodoh, dia kan dinas di sini, pasti tahu lah kapan aku pulang, tinggal nanya sama dokter yang menangani aku, kan?"Aku dokter residen di sini, Ra.""Residen itu apa?" Bagus terkekeh mendengar pertanayaanku. Entah apanya yang lucu? Aku ini bukan orang medis, mana tahu istilah yang mereka gunakan. "Residen itu calon dokter spesialis --- ""Oh, kamu sedang mengambil spesialis?" tanyaku memotong ucapan Bagus, ya
Read more
Bab 45
"Bunda kapan pulang?" Hatiku teriris mendengar rengekan bocah empat tahun itu. Kenangan bersama gadis menggemaskan itu kembali terbayang di pelupuk mata, membuat rindu yang melanda terasa semakin menyiksa. Hampir dua tahun kebersamaan kami, membuat kami sudah seperti ibu dan anak kandung. Terlepas dari kesalahan Mas Elman, Zila adalah anak yang menyenangkan dan tidak merepotkan. "Maaf sayang, Bunda nggak bisa pulang," ucapku dengan menahan isak. Rasanya tak sanggup mengatakan kalimat itu pada bocah polos itu. Dia tidak tahu apa-apa. "Kenapa nggak bisa pulang? Bunda nggak kangen Zila?""Kangen sayang, kangen. Bunda kangen banget sama Zila." Tangis yang dari tadi kutahan akhirnya pecah. Kalimat yang Zila lontarkan terasa seperti tusukan pisau belati, sakit. "Kalau begitu pulang, dong .... Zila juga kangen sama dedek bayi."Ya Allah .... Aku benar-benar nggak tahu harus ngomong apa sama Zila, bagaimana menjelaskan situasi yang sebenarnya, bahwa aku dan papanya akan segera bercerai. B
Read more
Bab 46
"Sudahlah, Mas. Nggak ada yang perlu disesali, semua sudah terlanjur terjadi. Menyesal pun percuma, tidak akan merubah keadaan, kan?" Jujur aku terenyuh mendengar pengakuan Mas Elman, ternyata bukan hanya aku yang hancur, hatinya pun sama hancurnya. Kami berada di teras rumah orang tuaku sekarang, karena aku dan Mas Elman akan segera bercerai, maka aku tidak lagi mengijinkan dia istirahat di kamarku seperti biasa. Hanya Zila yang masih bebas keluar masuk rumah ini. Seperti kata Mas Elman di telfon kemarin, dia akan datang ke rumah orang tuaku saat week end, untuk minta maaf sekaligus pamitan. Sayangnya Bapak dan ibu belum pulang karena masih ada acara, jadi kami ngobrolnya di teras saja, sambil nunggu bapak ibu. Takut jadi fitnah atau kami khilaf, bagaimana pun juga kami sudah sepakat untuk bercerai. "Tapi aku benar-benar menyesal, Ra. Andai waktu bisa diulang, aku ingin memperbaiki semuanya, aku janji tidak akan mengulangi kebodohan itu lagi." Mas Elman tertunduk, sesekali jariny
Read more
Bab 47
Jantungku berdegup kencang, tanganku basah mengeluarkan keringat dingin. Berulangkali aku menatap ke arah pintu ruang sidang, menunggu namaku dipanggil. Ya, hari ini adalah sidang terakhir perceraianku dengan Mas Elman, dengan agenda ikrar talak. Meski ini saat yang kunantikan, tapi rasa cemas tak bisa hilang begitu saja. Jujur aku belum siap menyandang status baruku, menjadi janda bukan impianku dan aku yakin bukan impian semua mahluk bernama perempuan. Tapi mau bagaimana lagi? Aku tetap harus menjalani fase ini. "Kamu deg-degan, Ra?" Aku menoleh ke arah Mas Elman yang duduk di sampingku. Bisa kulihat jelas wajah tegangnya. Aku hanya menghela nafas, seraya mengangguk pelan sebagai jawaban atas pertanyaannya. "Sama, aku juga deg-degan banget. Lihat nih!" Mas Elman menunjukkan kedua telapak tangannya yang basah padaku. "Saking groginya, aku sampai berkeringat dingin," lanjutnya kemudian. Kembali hening, kami saling diam menikmati rasa campur aduk yang mendera hati masing-masing.
Read more
Bab 48
Pov ElmanZila masih menangis, ketika Nira menyerahkannya ke gendonganku. "Sudah dong, sayang. Jangan nangis terus, nanti jelek lho!" bujukku, sambil menepuk pelan punggung anak gadisku ini, berharap tangisnya reda. Aku sungguh tak sanggup melihat Zila seperti ini. Ku akui dia begitu dekat dengan Nira daripada aku, ayah kandungnya. Bisa kurasakan ikatan batin di antara keduanya, meski tak darah yang sama, yang mengalir di tubuh mereka. Nira tulus mencintai Zila. "Hu ... hu ... Zila mau Bunda pulang ke rumah," ucap Zila disela isak tangisnya. "Kan tadi Bunda sudah bilang, kalau Bunda dan papa nggak boleh tinggal satu rumah lagi," jelasku mencoba memberi pengertian pada Zila. Jangan tanya bagaimana rasanya hatiku, patah hati terberat sepanjang umurku adalah hari ini. Kehilangan istri tercinta, dan yang paling menyakitkan adalah melihat patah hati yang dialami Zila. Percayalah, mengakhiri pernikahan di meja pengadilan bukan hal yang menyenangkan. Seandainya aku diberi pilihan, aku t
Read more
Bab 48
Pov ElmanZila masih menangis, ketika Nira menyerahkannya ke gendonganku. "Sudah dong, sayang. Jangan nangis terus, nanti jelek lho!" bujukku, sambil menepuk pelan punggung anak gadisku ini, berharap tangisnya reda. Aku sungguh tak sanggup melihat Zila seperti ini. Ku akui dia begitu dekat dengan Nira daripada aku, ayah kandungnya. Bisa kurasakan ikatan batin di antara keduanya, meski tak darah yang sama, yang mengalir di tubuh mereka. Nira tulus mencintai Zila. "Hu ... hu ... Zila mau Bunda pulang ke rumah," ucap Zila disela isak tangisnya. "Kan tadi Bunda sudah bilang, kalau Bunda dan papa nggak boleh tinggal satu rumah lagi," jelasku mencoba memberi pengertian pada Zila. Jangan tanya bagaimana rasanya hatiku, patah hati terberat sepanjang umurku adalah hari ini. Kehilangan istri tercinta, dan yang paling menyakitkan adalah melihat patah hati yang dialami Zila. Percayalah, mengakhiri pernikahan di meja pengadilan bukan hal yang menyenangkan. Seandainya aku diberi pilihan, aku t
Read more
Bab 48
Pov ElmanZila masih menangis, ketika Nira menyerahkannya ke gendonganku. "Sudah dong, sayang. Jangan nangis terus, nanti jelek lho!" bujukku, sambil menepuk pelan punggung anak gadisku ini, berharap tangisnya reda. Aku sungguh tak sanggup melihat Zila seperti ini. Ku akui dia begitu dekat dengan Nira daripada aku, ayah kandungnya. Bisa kurasakan ikatan batin di antara keduanya, meski tak darah yang sama, yang mengalir di tubuh mereka. Nira tulus mencintai Zila. "Hu ... hu ... Zila mau Bunda pulang ke rumah," ucap Zila disela isak tangisnya. "Kan tadi Bunda sudah bilang, kalau Bunda dan papa nggak boleh tinggal satu rumah lagi," jelasku mencoba memberi pengertian pada Zila. Jangan tanya bagaimana rasanya hatiku, patah hati terberat sepanjang umurku adalah hari ini. Kehilangan istri tercinta, dan yang paling menyakitkan adalah melihat patah hati yang dialami Zila. Percayalah, mengakhiri pernikahan di meja pengadilan bukan hal yang menyenangkan. Seandainya aku diberi pilihan, aku t
Read more
PREV
123456
DMCA.com Protection Status