All Chapters of Dijodohkan dengan Ipar Posesifku: Chapter 51 - Chapter 60
151 Chapters
Harus Memilih
“MasyaAllah, Nak Arman itu penyayang banget, ya,” kata bulik sambil memandang Arman dan Rania yang tengah berjalan ke tengah lapangan.“Tunggu apa lagi, to, Nduk, nikah saja sama Arman. Sudah anaknya ngganteng, baik, sayang sama kamu dan anakmu, itu yang paling penting.” Tiba-tiba Paklik keluar dari dalam rumah dan ikut berpendapat.Aku tersenyum sembari menarik napas panjang lalu mengikuti Paklik dan Bulik duduk pada dipan bambu yang ada di depan rumah.“Nadia nggak mau berkhianat sama Mas Arya, Paklik, Bulik.”“Bukan berkhianat. Kamu sudah setia sama suamimu sampai akhir hayatnya,” ujar Bulik sambil mengusap punggungku.“Tapi Bulik, kalau Nadia nikah lagi, apa bisa berkumpul dengan Mas Arya di surga nanti?”“Wis, to, Nduk, soal itu pasrah wae sama Gusti Allah. Kalau kamu menikah, paling tidak, ada yang menjadi imam kamu dan menjaga kamu juga Rania. InsyaAllah hidupmu jadi lebih tenang, nyaman, dan menjauhkanmu dari fitnah.” Begitu nasihat Paklik, yang sebenarnya sudah berkali-kali k
Read more
Kembali ke Kantor
“Aku mau pulang besok." Aku mengirim pesan pada Arman.Sudah hampir dua minggu aku menenangkan diri di desa. Healing, kalau kata anak jaman sekarang. Kurasa sudah cukup. Selama di sini, aku sering ikut Bulik dan Paklik ke ladang. Rania sangat senang bermain di ladang. Melihat-lihat tanaman sayur dan buah. Apalagi ketika domba-domba sedang keluar kandang dan diajak merumput. Terkadang, Aldi, anak bungsu Paklik mengajakku dan Rania keluar menikmati kuliner khas. Meskipun begitu, aku tetap menjalankan pekerjaanku sebagai markom kafe secara remote. Tiap hari, Fabian selalu mengirimkan foto-foto terbaru dari kafe untuk kunggah di media sosial.Gosip tentang aku dan Galang juga sudah mereda. Yang kulihat di akun gosip saat ini, justru banyak membicarakan kedekatan Galang dan Malya. Jadi kurasa, situasi sudah aman dan terkendali untukku beraktivitas di luar kembali.“Ok, besok aku jemput.” Tak lama kemudian kuterima balasan pesan dari Arman."Eh hari ini saja ya, pulang kantor, aku jemput."
Read more
Pilih Siapa
Aku merasa seharian ini Galang benar-benar menghidariku. Tiap kali kami berjalan di kantor dan hampir berpapasan dia pasti akan berbelok mengambil arah yang lain. Tiap kali tanpa sengaja kami beradu pandang, dia akan langsung memalingkan wajah.Aku lantas mengingat-ingat terakhir kali kami berkomunikasi, memangnya apa yang kami bicarakan hingga dia menghindariku begini. Namun, aku tidak menemukan sesuatu yang aneh.Kumandang azan membuyarkan lamunanku. Sebaiknya aku salat Asar kemudian pulang.Aku masuk ke ruangan karyawan dan membereskan barang-barangku. Setelah itu bergegas ke tempat wudu.Langkahku terhenti saat hendak masuk musala. Kulihat Galang sedang salat. Aku menarik napas lega. Kuputuskan kembali ke ruang karyawan dan menunggu beberapa saat sampai kira-kira Galang telah selesai salat dan meninggalkan musala.☕☕☕Pulang dari kantor, aku menyempatkan ke sekolah Rania untuk bertemu Erna. Sudah pukul empat, anak-anak asuh Erna yang dititipkan ke daycare di sekolah ini biasanya s
Read more
Sebuah Jawaban
Aku menjawab salam sambil berusaha melepaskan cincin dengan panik. Saking paniknya sampai tak kusadari Rania ternyata juga ikut bersamanya.“Eh, Rania datang jemput Mama, ya?” Erna melangkah keluar mendekati Rania. Sementara aku masih di tempat dudukku, berusaha melepaskan cincin yang mendadak jadi sempit padahal tadi saat memakainya biasa-biasa saja.Kuputuskan ikut beranjak saat Rania berteriak memanggil, meski cincin belum berhasil kulepaskan. Sebisa mungkin kusembunyikan tangan yang bercincin di balik tubuhku. Jangan sampai Arman melihat.“Ya, udah deh, aku pulang dulu ya, Er.” Aku lantas memeluk Erna. “Cincinnya nggak bisa dibuka!” bisikku di dekat telinganya.“Mungkin itu pertanda kamu harus terima dia,” balasnya lalu terkekeh pelan. Sialan!Sepanjang perjalanan pulang aku lebih banyak diam dan hanya menjawab singkat beberapa pertanyaan Arman, sambil terus berusaha melepaskan cincin yang terperangkap pada jari manisku.“Kamu kenapa?” tanya Arman yang mungkin menyadari kenaehan
Read more
Resign
Keesokan harinya, sepulang dari kantor, aku berkunjung ke makam Mas Arya sendirian.“Mas, maafin aku. Kuharap kamu ngerti mengapa akhirnya aku mau menerima adikmu untuk menjadi suamiku. Kamu akan selalu di hatiku, Mas. Suami yang baik, ayah penyayang, anak yang berbakti. Aku mencintaimu, Mas Arya."Selepas berdoa untuk Mas Arya, aku lantas meninggalkan makam. Baru beberapa langkah tiba-tiba Arman muncul di hadapanku.“Kamu ke sini juga?” tanyanya. “Kenapa nggak bilang? Kan, bisa bareng.”“Nggak apa-apa, lagi pengen datang sendiri.”“Oh, kalau gitu tunggu aku sebentar, ya.”Arman lantas berjalan menuju makam Mas Arya sementara aku memilih keluar menunggu di dekat mobilnya.Tak lama, dia pun keluar dari makam.“Aku panggilin taksi,” katanya.“Kupikir, disuruh nunggu mau dianterin pulang.” Sejak kemarin sore aku sudah kembali ke rumahku sendiri. Suasana sudah cukup kondusif sehingga Arman mengizinkanku pulang. Rania juga sudah mulai masuk sekolah lagi hari ini.“Tadinya begitu, tapi kita
Read more
Tidak Tega
“Astaghfirullah, Bapak panas sekali.” Telapak tangan Galang kurasakan begitu panas. “Saya nggak akan ninggalin Bapak, nggak mungkin. Tunggu sebentar, Pak.”Bergegas aku memanggil Pak Parlan dan memintanya mengantar Galang ke rumah sakit ditemani salah seorang staf.Sementara itu kafé kuputuskan untuk tutup lebih cepat. Untunglah pesanan semua pelanggan yang masuk sudah tuntas semua diselesaikan oleh Galang. Tinggal mengantarkannya saja ke meja-meja.Saat membuka tas hendak mengambil ponsel, aku melihat surat pengunduran diri yang tadi kubuat. Aku menarik napas panjang dan kubuang surat itu ke tong sampah.“Apa itu, Mbak?” Rupanya Fabian melihat ketika aku membuang surat pengunduran diri ke tong sampah. Aku gelagapan. Terdiam sejenak dan menimbang-nimbang, harus kujawab jujur atau bohong.“Surat pengunduran diri,” kataku akhirnya.“Hah, Mbak juga mau pindah ke resto itu?”“Oh, bukan!” Aku menggeleng.“Aku memang ditawari juga bekerja di resto itu, tapi aku menolak. Aku hanya ingin res
Read more
Patah Hati
“Nikah sama siapa, Pak?”“Ya, maunya, sih, sama kamu! Tapi ternyata kamunya udah milih orang lain,” Galang menjawab ringan. "Nggak bisa direvisi, tuh?”Aku tertawa. “Bapak bisa aja becandanya!”“Nggak bercanda sebenarnya. Serius. Aku patah hati, tapi nggak mau kelihatan sedih di depan kamu.”Aku tersenyum getir, tak tau harus menjawab apa. “Udah makan, Pak?” Aku memilih mengalihkan obrolan ketika melihat sepiring nasi lengkap dengan lauk pauk yang masih utuh di meja Galang.“Udah, makan ati!” cetusnya.“Makan dulu, Pak!” Aku mengambil piring makannya. Kulihat juga ada beberapa obat di atas meja.“Nggak lapar,” tolaknya.“Harus minum obat juga, kan! Yuk!” Aku mengulurkan sendok ke arahnya. Ahirnya ia mau juga membuka mulut.Tiba-tiba terdengar ketukan dari luar.“Masuk!” Galang menjawab ketukan itu. Sesosok yang muncul dari balik pintu mengejutkanku.“Kalian hanya berdua di sini?” Tatapan Arman secara silih berganti padaku dan Galang terlihat menahan emosi.Sebelum ke sini, aku memang
Read more
Sah!
“Saya terima, nikah dan kawinnya, Nadia Putri Wijaya dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.” Hatiku bergetar saat Arman menjabat tangan Paklik dan mengucapkan kalimat akad dengan lancar. “Hadirin Sah?” tanya penghulu. “Sah…”“Sah…”“Sah…” “Alhamdulilillah.” Dari tempat dudukku kulihat Arman mengusap muka dengan kedua tangannya. Di wajahnya terpancar kelegaan yang luar biasa. “Silakan Mas Arman, cincinnya dipakaikan,” ucap sang pembawa acara akad.Mama menggandeng tanganku dan membimbingku maju menuju tempat Arman berada. Lelaki yang kini menjadi suamiku itu berdiri menyambut. Kami berhadapan sekarang. Ia tampan dengan mengenakan kemeja putih dan jas berwarna abu-abu tua. Tangan kirinya meraih tanganku, disematkan cincin emas dengan berat sekitar lima gram itu pada jari manis kananku.Setelahnya ia terdiam sejenak sambil tetap mengenggam ujung jariku, membiarkan fotografer yang merupakan adik sepupuku sendiri itu memotret, mengabadikan peristiwa sakral kami. Acara pernikahan kam
Read more
Bulan Madu yang Manis
“Naik apa kita?” tanya Arman begitu kami sampai di lobbi hotel. “Ya, naik mobil, kamu bawanya mobil kan, masa naik awan kinton.” Arman tertawa lalu mencubit gemas pipiku. “Ih, istriku lucu banget sih.” “Naik mobil udah biasa,” sambungnya. “Tunggu bentar ya!” Ia lalu menghampiri satpam hotel, bicara sesuatu entah apa. Kulihat Pak satpam manggut-manggut lalu memberinya kunci. “Yuk!” Arman menggandeng tanganku. “Motor siapa?” tanyaku ketika Arman menghampiri salah satu motor di parkiran. “Pak Satpam.” Arman nyengir. Ada-ada aja suamiku, pakai pinjem motor segala. “Kenapa nggak pakai mobil sendiri sih? Dingin-dingin gini,” kataku sambil memeluk tubuhku sendiri. “Aku ingin mewujudkan hal-hal yang belum sempat kulakukan bersamamu dulu,” jawab Arman sambil melepaskan jaketnya. “Kamu tahu nggak, waktu SMA, aku selalu ingin mengantarmu pulang dengan motorku.” “Kenapa nggak nawarin dulu?” tanyaku. “Aku menahan diri. Kan bukan mahrom.” Arman tersenyum, aku ikut tersenyum, MasyaAllah
Read more
Rumah Penuh Cinta
Aku menghela napas panjang, memandang rumahku dan Mas Arya yang akan kutinggalkan. Hari ini aku datang ke rumah untuk mengemasi barang, lalu membawanya ke rumah baru yang sudah dipersiapkan Arman untuk tempat tinggal kami. “Kenapa, Sayang?” Arman mengelus pundakku. “Man, aku kok sedih mau meninggalkan rumah ini.” Aku menjawab jujur. “Apa kau ingin kita tinggal di sini saja?” Aku menoleh menatap wajah tulus suamiku “Nggak Man. Kita tetap tinggal di rumahmu.” Tinggal di rumah ini bersama Arman kurasa bukan keputusan yang bijak. Disamping aku harus menghargainya yang sudah mempersiapkan tempat tinggal kami, di rumah ini terlalu banyak kenangan bersama Mas Arya. Aku takut malah tak bisa move on. “Rumah kita sayang, bukan rumahku.” Arman meralat. “Iya rumah kita.” Aku tersenyum seraya mengusap pipinya. “Lalu bagaimana rumah ini. Masa kita biarkan saja. Mau dikontrakkan atau dijual, kok aku berat ya. Kamu juga punya hak atas rumah ini Man, sebagai salah satu ahli waris Mas Arya.” “Ak
Read more
PREV
1
...
45678
...
16
DMCA.com Protection Status