Lahat ng Kabanata ng Jadi Kuyang: Kabanata 21 - Kabanata 30
33 Kabanata
21. Ningsih dan Kesempatan Mayang
Matahari baru saja keluar dari peraduan. Sebagian langit masih terlihat lebih abu dari bagian lainnya. Mayang yang bangun lebih awal, hari ini sudah bersiap pergi. Tak ada tujuan lain selain ke rumah Liyah.Ia ingin mengajak Ningsih ke kampung seberang. Setidaknya ia lebih dulu membuat remaja itu bersenang-senang. Pusat perbelanjaan jadi tujuan utamanya untuk merayu Ningsih. Uang dari Midan, yang sebagian ia kumpulkan selama ini, tak ada salahnya digunakan sekarang untuk memanjakan gadis remaja itu. Mayang yakin dengan iming-iming begitu, anak gadis Liyah pasti mau menuruti permintaannya.Setelah memoles tipis wajahnya dengan make up, Mayang memutar badan sebentar di depan cermin. Menyemprotkan sedikit wewangian pada leher. Kemudian, menyemangati diri sendiri bahwa ia pasti akan berhasil. Pintu rumah Liyah sudah terbuka. Niatan Mayang seakan mendapat sambutan baik dari tuan rumah. Dengan tersenyum, Mayang melenggang masuk tanpa mengetuk. "Liyah, ini aku. Mayang. Aku masuk, ya." Tak
Magbasa pa
22. Mau jadi Istriku, kan?
Meski sudah dua jam pulang dari rumah sakit, Dewi masih belum bisa memejamkan matanya. Padahal sudah berbaring sejak tadi. Tapi, ia hanya membolak-balik badan ke kiri dan kanan berulang. Bukan gelisah. Hanya saja, obrolannya hingga dini hari tadi dengan dokter Irawan terus terngiang."Ayah tinggal di pulau Jawa, Wi. Kalau ingin diruqyah sama beliau, memangnya kamu mau ke sana?" tuturnya saat itu. Setelahnya, Irawan mengangkat cangkir dan menyeruput pelan isinya. "Mau lah, dok. Nanti saya bicarakan dulu sama orang tua saya. Tapi, sepertinya tak bisa secepatnya. Saya baru kerja di sini masa sudah minta cuti?" Dewi gamang. Andai saja bisa, sekarang pun ia pasti akan pergi.Gadis itu sudah cukup muak dengan kondisinya yang sama sekali tak pernah menguntungkan. Yang ada, dia selalu merasa ketakutan jika matanya sudah menangkap makhluk astral. Hal itu sangat menyiksa bagi Dewi. Ia sangat ingin hidup normal. "Hmm. Begini. Sebenarnya aku ada sedikit masalah." Dokter menautkan jari jemarinya
Magbasa pa
23. Apa Aku Akan Mati Seperti Itu?
Sekarang Mayang mendorong tubuh Dewi keluar ruangan. Wajahnya merah dengan rahang mengeras, ia marah hingga dadanya terasa sesak dan tenggorokan tercekat. Tapi, sebisa mungkin rasa ingin meledak itu ia redam. Namun, begitu sampai di selasar rumah sakit Mayang meluapkan segalanya."Kau pikir mudah untukku mendapat kesempatan seperti ini? Memangnya apa pedulimu dengan tobatku! Apa aku merepotkanmu di akhirat nanti? Aku hanya ingin orang tua gadis itu mendapat hukuman yang layak. Belasan tahun aku tersiksa dengan ilmu laknat ini, gara-gara tipuan suamiku! Kau tahu apa, hah?Aku hanya ingin lihat, bagaimana hancurnya Liyah dan Midan jika keturunan mereka jadi seperti aku. Apa aku salah? Apa semua ini kesalahanku? Dari awal aku hanyalah korban! Kau juga pasti tak tahu!" Mayang tersenyum masam. "Lalu tanpa angin tanpa hujan kau datang dengan mengatakan 'jangan terhasut untuk menggunakan ilmu sesat gara-gara dendam'. Cih!"Meski amarah sudah di pucuk ubun-ubun, Mayang menjelaskan dengan berus
Magbasa pa
24. Mana Mungkin Menikahi Wanita Kuyang
Dingin malam kian menusuk hingga ke dalam tulang. Dewi merapatkan jaket biru muda yang ia kenakan. Kini dua orang yang sama kemarin, kembali bertukar tatap di tempat yang sama namun, berbeda situasi. Tak ada kopi. Tak ada perasaan berdebar. Mereka berdua sama-sama diliputi rasa bingung. Perasaan yang sangat sulit diartikan dalam konteks sebenarnya. Sejujurnya dokter Irawan masih berada di titik antara percaya dan tidak setelah mendengar kisah tentang legenda minyak kuyang dari Dewi tadi. Namun, ia juga tak bisa menyangkal bukti yang sudah ia lihat pada wanita yang muntah darah di depan matanya beberapa waktu lalu.Dewi menatap penuh harap pada dokter Irawan. Ia ingin lelaki itu mengerti situasi yang dihadapinya sekarang. "Jadi, apa Ayah dokter bisa mengeluarkan minyak kuyang yang sudah terlanjur saya telan? Pasti bisa kan, dok?"Lelaki yang duduk di seberang meja itu menggeleng kemudian tertunduk. Bola matanya mulai menghangat. Juga berembun. Bukan menyesal tapi ia merasa dongkol. K
Magbasa pa
25. Bertanggungjawab dengan Cara Rindi
Dokter Irawan pulang lebih pagi dari hari biasanya. Masuk kontrakan dengan perasaan dongkol, membanting pintu dengan keras hingga suara berdegum yang ditimbulkannya mendapat sahutan berupa teriakan dari pemilik kontrakan yang kebetulan lewat. Lelaki paruh baya berjanggut itu mematikan sepeda motornya tepat di depan pintu kontrakan yang katanya disewa oleh seorang dokter. "Woy! kalo pintunya rusak ganti sendiri! Jangan komplen ke tuan rumah! Awas aja kau!"Ia menggeleng sebentar setelah tak mendapat sahutan, "Anak zaman sekarang, sudah hilang sopan santunnya pada yang tua. Cih! Dokter apanya kelakuan brutal seperti itu," gerutunya sesaat setelah motornya kembali melaju meninggalkan kontrakan. Irawan memang sengaja tak menanggapi suara protes di luar sana, ia malah melempar tas kerja di ranjang. Menghempaskan pantat, duduk dengan kaki menjuntai. Kemudian penuh amarah meremas rambut klimisnya dengan kedua tangan. Dia terlihat begitu putus asa. "Ini semua gara-gara Dewi. Sial! Kenapa g
Magbasa pa
26. Lelaki Tua Berpeci Putih, Lagi
Dewi masih meringkuk di balik selimut saat matahari mulai menampakkan cahaya jingganya di timur. Ada rasa perih menyayat hingga membuat tubuhnya gemetar dan menggigil. Ia menahan sakit luar biasa di dalam perutnya usai Salat subuh tadi. Matanya juga sembap sebab tak hentinya meratap sejak pulang dari rumah sakit semalam. Gadis itu bingung. Apa yang selanjutnya ia lakukan? Ia tak mungkin menuruti naluri iblis yang memangsa darah dari bayi dan ibu yang tak berdosa. Dewi penolong bagi mereka sebelum ini, tapi sekarang ia malah akan menjadi kebalikannya. Makhluk mengerikan yang menyantap darah mereka. Membayangkannya saja Dewi sudah tak tahan. "Argh!" Dewi duduk menyingkap selimut. Tubuhnya sedikit terbungkuk sedangkan kedua tangannya terlingkar di depan perut."Aku tak boleh gegabah lagi. Semuanya harus terencana. Ya. Seharusnya aku berusaha berjuang mencari jalan keluar agar bisa melepaskan minyak laknat ini. Bukan diam saja dan mengeluh. Apalagi pasrah!" Dewi menyemangati diri.Satu
Magbasa pa
27. Masih Berjodoh dengan Dokter
"Wi? Kok malah melamun?" Maknya bersuara lagi. Dewi mengangkat wajah ketika rasa sakit kepalanya perlahan menghilang. "Loh? Mak kok belanja banyak begitu?" Kini gadis itu heran melihat tentengan dua keresek besar di tangan Maknya. Belum lagi beberapa bungkusan yang dibantu tukang becak menurunkannya sampai depan pintu.Nyai bukannya menjelaskan malah mengela napas. "Minggir dulu. Mak mau masuk ini.""Eh. I-iya." Dewi gelagapan dan masuk lebih dulu kemudian bersila di lantai.Setelah semua barang belanjaan di masukkan ke dalam rumah. Nyai terduduk sambil mengipas leher dengan baju bagian dada yang di tarik berulang. Ia kelihatan sedang kegerahan. Keringat besar-besar di pelipisnya memperjelas hal itu. "Mau ada acara syukuran Mak?" Dewi masih bingung. Memang tak pernah Maknya belanja keperluan dapur sebanyak ini.Wanita yang sebagian rambutnya sudah memutih itu mengangguk. "Cucunya Kai Mas'ah yang dari kota itu mau melamarmu besok. Sebenarnya sepulang dari pasar ini, Mak mau menelepo
Magbasa pa
28. Tentang Dokter Irawan
Listrik tiba-tiba padam saat Irawan tengah memperbaiki tatanan rambut yang habis diacak-acaknya di depan cermin."Lagi," gumamnya.Pelan, selangkah demi selangkah lelaki itu mundur. Tapi, tatapannya tak pernah beralih dari cermin yang memantulkan sedikit bias cahaya.Tak lama berselang, samar siluet gadis dengan rambut berkucir kuda muncul tepat di belakang Irawan."Antar aku pulang, Mas!" Matanya nyalang menatap Irawan dari pantulan cermin. Blaaar!Petir yang menyambar dengan suara gelegar membuat kepala seorang lelaki yang tertelungkup di meja tersentak keras. Seluruh ruangan putih, menyadarkan ia bahwa saat ini bukan sedang di rumah.Irawan meraup wajahnya dan menyeka keringat dingin yang membanjiri pelipis. Degup jantungnya melebihi aktivitas normal. Ia sedikit terengah namun dengan cepat menarik dan menghembuskan napasnya melalui mulut agar suasana menegangkan itu tak menguasai benaknya. "Lagi," gumamnya.Entah sudah kali ke-berapa, mimpi yang membuatnya sport jantung itu data
Magbasa pa
29. Rindi dan Terbongkarnya Rahasia
Sebuah tas kulit warna coklat dalam pangkuan Rindi, yang masih lengkap dengan isinya ditatap nanar sedari tadi oleh wanita tersebut.Benar, itu tas yang dipinta Masnya, Irawan untuk dibakar dulu, masih ia simpan di bawah ranjangnya selama ini. Rindi tak membuangnya atau bahkan membakarnya persis seperti yang diperintahkan Kakaknya dulu. Wanita itu kini terlihat menarik napas dalam. Memegang benda pipih yang ia pungut dari lantai kamar Irawan dulu. Belum usang, hanya pudar. Lalu, sesaat setelah itu ia mengelus perutnya dengan perasaan yang tak bisa digambarkan. Menyesal, takut, dan penuh harapan. Rindi tak tahu. "Inilah alasannya mengapa aku tak ingin minta pertanggung jawaban Haris. Aku takut akan bernasib sama seperti pemilik tas ini," katanya lirih.Beberapa waktu lalu sempat beredar kabar ada anak lurah yang menghilang dari desa yang cukup jauh dari kota mereka tinggal. Rindi menerka bisa saja dia Mbak yang jasadnya dibuang Irawan dulu. Namun, karena sudah perasaan tertekan bahkn
Magbasa pa
30. Epilog
Beberapa tahun berlalu. Musim hujan di penghujung tahun tiba. Rumah kayu yang ditinggali Midan sudah lapuk termakan usia. Sebenarnya bukan cuma kediamannya yang tampak rapuh sekarang. Lelaki yang seluruh rambutnya sudah bertukar menjadi putih itu pun, mulai terbungkuk-bungkuk saat melangkahkan kaki. Otot-otot lemahnya membuat dia melangkah lebih pelan. Midan juga tak sesehat dulu, tubuhnya sering sakit-sakitan, badan tuanya sudah ringkih. Intensitas curah air yang terbilang lebat selama berhari-hari jadi penyebab banjir yang menggenang hingga ke dalam rumah. Midan yang tak lagi muda itu, tampak kesulitan mengamankan beberapa barang yang ia anggap masih berharga. Ya. Meski banjir baru semata kaki, ia mulai memindahkan sisa pakaian istrinya dari tumpukan lemari paling bawah ke bagian teratas. Baju Liyah salah satu peninggalan berharga baginya. Sejak istrinya itu pergi untuk selamanya beberapa tahun lalu, hanya pakaiannya itu lah yang menjadi obat penawar jika ia sedang rindu. Tubu
Magbasa pa
PREV
1234
DMCA.com Protection Status