All Chapters of Kontrasepsi di Kamar Adikku : Chapter 21 - Chapter 30
232 Chapters
Part 20
Dua bulir air bening mengalir membasahi pipi wanita itu. “Tolong katakan sama saya, Wi. Jangan terus diam seperti itu. Karena diam kamu telah menghancurkan rumah tangga saya!”Dewi mengangkat wajahnya menatapku, seperti ingin memprotes ucapanku.“Mas, ada Mas Alfin,” ucap salah seorang pegawaiku. Duh mengganggu saja. Padahal sepertinya Dewi sudah mau mengaku.Alfin bergabung bersama kami sambil menunggu pegawaiku memprogram TV pesanannya. Dia membicarakan tentang masa lalu konyol kami, membuat diriku melupakan duka yang sedang menimpa untuk sesaat, karena pria itu mampu membuatku tertawa.Setelah Alfin pulang aku kembali mendesak Dewi. Dan akhirnya dia mau mengatakan kalau laki-laki yang selama ini bersama dia adalah Papa. Aku benar-benar syok mendengarnya. Tidak percaya kalau Papa bisa berbuat asusila kepada adik iparku.“Saya akan melindungi kamu, Dewi!” “Tolong jangan sampai Om Surya tahu k
Read more
Part 21
Aku lihat dua sudut mata Dewi mulai menganak sungai, dan aku tidak peduli itu. Dia sudah keterlaluan. Aku benar-benar tidak percaya bocah seumuran Dewi bisa berbuat seperti ini. Sedang kakaknya saja tidak seagresif dia walaupun sudah sah menjadi istriku. “Maaf!” pelan dia berucap, bagai angin sedang berbisik. Aku menyentak napas kasar. Menata perasaan supaya tidak lagi marah kepada adik iparku. Sesampainya di rumah Emak. Banyak sekali orang berada di sana. Ada bendera kuning di halaman rumah Emak, menandakan kalau di tempat itu ada yang sedang berduka cinta. Dewi turun dari mobil dan berjalan gontai masuk ke dalam rumah. Aku sangat terkejut ketika melihat wanita yang sudah aku jatuhi talak satu berada di dalam sana, sedang menangisi seseorang yang sudah terbujur kaku serta di tutup oleh kain. Dan ternyata yang meninggal adalah Emak. Semua mata tertuju kepadaku serta Dewi, menatap mencemooh ke arah kami. Mungkin semua sudah mendengar gosip tentang perselingkuhanku dengan Dewi. A
Read more
Part 22
#Efita Aku duduk di sebelah Mbak Kenza sambil sesekali melirik Mas Akmal yang duduk di meja seberang. Nafsu makanku hilang seketika karena kembali dipertemukan dengan mantan suamiku yang masih teramat aku cintai. Laki-laki yang selalu menghuni sanubari, dan tidak akan terganti oleh siapa pun. "Loh, kok kamu nggak makan, Fit?" tanya Ibu Fatimah–Ibunya Mas Kenzo, dengan intonasi sangat lembut. "I–iya, Bu!" Aku mengulas senyum dan lekas menyantap makananku meski rasanya sudah tidak lagi bernafsu. Kami datang ke tempat ini karena hari ini Saquina berulang tahun yang keempat dan merengek minta makan di restoran cepat saji. "Kamu jangan mikirin mantan suami kamu terus, Mbak. Sampe badan kamu kurus begitu!" seloroh Mbak Kenza. "Move on dong, Mbak. Cari yang lain. Di dekat Mbak Efita ada loh, laki-laki yang diam-diam naksir Mbak Efita tapi cemen, nggak mau ngomong!" imbuhnya lagi. Tiba-tiba Mas Kenzo tersedak dan langsung menatap ke arah Mba Kenza kemudian melirik ke arahku. Apa yang
Read more
Part 23
Aku menghampiri gadis itu karena dia terlihat begitu pucat serta kelelahan. "Mbak," sapaku, memegang pundak perempuan tersebut. Dia berjingkat kaget lalu menoleh. Ya Allah, ternyata dia benar-benar Dewi adikku. Tapi, kenapa dia menjadi seperti ini. Pakaiannya terlihat kumal, badan serta wajahnya sangat tidak terawat. Tidak seperti ketika ia masih hidup bersamaku. Dan, perutnya, apa dia sedang mengandung? tapi, bukannya Mas Akmal mandul? "Kakak!" Mata cekungannya menatapku, membuatku iba melihatnya. Biar bagaimanapun aku adalah kakaknya. Perempuan yang pernah menyayangi dia sepenuh hati, sebelum dia ketahuan selingkuh dengan suamiku. "Kamu kenapa jadi seperti ini, Dewi?" tanyaku, mencoba menata perasaan yang berkecamuk dalam hati. Antara kasihan serta kecewa melihat dia. "Ini semua gara-gara kakak. Kakak itu wajahnya doang kaya malaikat, tapi hatinya kaya iblis. Kakak itu serakah, nggak punya hati!" rutuknya sembari menatapku sinis. Aku tertawa sumbang mendengar dia menyebutku t
Read more
Part 24
Prang! Prang! Seorang laki-laki remaja memecahkan kaca jendela kamarku. Ia melompat masuk, memukul Papa membabi-buta menggunakan tongkat baseball, hingga pria berkulit keriput itu tersungkur dengan darah terus mengucur di kepalanya. Aku membungkus tubuh polosku dengan selimut sambil menangis di pojokan kamar. Mbak Kenza masuk, memelukku sambil menutup kepalaku dengan hijab. “Kamu nggak usah takut, Mbak. Ada kami di sini. Mbak Fita sudah aman sekarang!” ucap Mbak Kenza seraya terus mendekap tubuh ini. “Salman, panggil Ayah sama Nenek!” titah Mbak Kenza kepada keponakannya. “Iya, Bi!” jawab bocah berusia delapan belas tahun itu sambil mengatur nafasnya yang terengah-engah. Mbak Kenza mengambil gamis di lemariku, membantu memakaikannya lalu membimbingku naik ke tempat tidur. “Saya ambilin minum dulu ya, Mbak!” “Jangan tinggalkan saya sendirian, Mbak!” Aku mencekal lengan Mbak Kenza sambil melirik ke arah Papa yang terbujur tidak sadarkan diri di lantai kamarku. Tidak lama kemudi
Read more
Part 25
“Aku tidak menghamili Dewi, Fit. Kamu kan tahu sendiri kalau aku ini nggak bisa punya keturunan!”Aku mengangkat satu ujung bibir. Di depan Dewi dia berani menjelekkanku dan mengatakan kalau aku yang mandul. Sekarang, setelah Dewi mengandung, dia malah mau mungkir dan lari dari tanggung jawab, dengan dalih kemandulannya.“Demi Allah demi Rasulullah, aku tidak pernah selingkuh apalagi sampai menyentuh Dewi, Efita!”“Jangan bawa-bawa nama Allah, Mas!”“Supaya kamu percaya kalau semua yang aku katakan itu benar, Fit!” Kini mata teduh Mas Akmal sudah mulai berkabut.Aku diam sesaat. Mencoba mencerna semua ucapan Mas Akmal. Apa benar selama ini dia tidak selingkuh?Tapi, kenapa waktu aku mendengar suara desahan-desahan di kamar Dewi Mas Akmal tiba-tiba muncul dengan keadaan salah mengancing baju. Bukannya Mas Akmal juga sudah mengakuinya, kalau dia memang sudah berzina dengan adikku?Dan, kalau dia tidak berselingkuh, kenapa dia menolak diajak tabayun, menolak mediasi serta langsung menyet
Read more
Part 26
Mas Kenzo dan rombongan akhirnya pamit pulang. Aku duduk termenung di sofa, sambil terus memikirkan apa keputusan yang harus aku ambil nanti.Aku harus melakukan salat istikharah, meminta petunjuk kepada Sang Khaliq, supaya tidak salah mengambil keputusan.Hari ini, aku, Mbak Kenza dan Salman anak kedua Mas Akmal, dipanggil polisi untuk diinterogasi kembali. Karena menurut pihak kepolisian, Papa sudah bangun dari komanya dan sudah bisa dimintai keterangan.Mas Kenzo mengantar kami hingga ke kantor polisi, sekaligus ingin mendampingi putranya supaya dia tidak merasa takut. Aku turun dari mobil dan berjalan cepat menuju ruang yang sudah di tunjuk oleh petugas. Langkahku terhenti ketika melihat Mas Akmal ternyata sudah berada di tempat itu. Ada rasa rindu, benci, dek-dekan, semua bercampur menjadi satu. Ah, kenapa rasa itu masih ada. Kenapa aku masih berharap kalau perceraian kami hanyalah mimpi.“Dek, ayo masuk!” ucap Mas Kenzo membuyarkan lamunanku.Kami berempat berjalan menghampiri
Read more
Part 27
Aku masuk ke dalam mobilnya Mas Kenzo sambil menyusut air mata.Rasa kecewa kembali menelusup ke dalam kalbu, karena ternyata Mas Akmal sama sekali tidak mau membelaku. Dia justru memihak kepada Papa yang sudah jelas-jelas hampir menodaiku. Aku khawatir jika nanti aku kembali kepada Mas Akmal, Papa malah dengan leluasa bertindak tidak sopan kepadaku."Kalau sudah klarifikasi, hati jadi lega kan, Dek?" tanya Mas Kenzo, sambil melirik dari kaca spion depan."Iya, Mas!" jawabku, mengulas senyum tipis."Kapan kamu akan datang menemui keluargaku, Mas?" tanyaku sambil menatap Mas Kenzo yang sedang fokus mengemudi.Pria beralis tebal itu menghentikan laju mobilnya dan menoleh ke arahku."Maksud kamu, Dek?" Binar bahagia terpancar jelas di wajahnya."Katanya kamu mau melamarku secara resmi?" "Alhamdulillah!" Dia mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan."Besok bisa, Dek. Kalau nggak lusa. Eh, Mas nanya Ibu dulu!" ujarnya lagi, menggebu-gebu."Ya sudah, nanti kamu kabari aku kapan waktun
Read more
Part 28
Hari ini aku dan Mas Kenzo pergi ke butik untuk mengepas baju pengantin ditemani oleh Ibu. Ah, rasanya seperti mimpi karena aku akan menikah dengan laki-laki lain yang sama sekali tidak aku cintai. Andai saja Mas Akmal tidak egois dan mementingkan Papanya yang jahat itu, aku sudah menolak lamaran Mas Kenzo dan kembali lagi dengan mantan suamiku.Sudahlah, mungkin sudah jalan takdirku menikah dengan ayah Saquina dan menjadi ibu sambung gadis itu. Aku yakin skenario Allah lebih indah alurnya, dan sebagai seorang hamba kita tinggal menjalani apa yang telah digariskan oleh-Nya."Kok kamu melamun, Fit?" tanya Ibu membuyarkan lamunanku."Oh, enggak, Bu. Aku lagi liatin Mas Kenzo. Eh, maksud aku bajunya Mas Kenzo!" jawabku salah tingkah."Jangan diliatin terus, belum halal. Nanti kalau udah halal, baru kamu liatin sepuasnya!"Wajah calon suamiku itu tiba-tiba bersemu merah mendengarnya. Ternyata dia lebih labil daripada anak baru gede.Pelayan butik mengeluarkan sebuah baju pengantin syar'
Read more
Part 29
Aku tidak boleh suuzan. Harus mendengarkan penjelasannya dulu.“Ada apa, Mas?” “Mas itu punya penyakit gula dan sering kambuh. Mas lupa bilang sama kamu!”Aku menghela nafas lega. Kirain rahasia apa!“lantas?” aku menoleh menatap wajah sendu Mas Kenzo.“Mas Cuma tidak mau ada yang ditutup-tutupi. Dulu, Mas sudah mau menikah dengan teman Mas. Tapi dia membatalkannya setelah tahu Mas sakit. Katanya, penyakit gula itu tidak dapat disembuhkan. Dan tinggal menunggu malaikat maut menjemput saja!”Aku diam sesaat. “Hidup dan mati seseorang hanya Allah yang menentukan, Mas. Insya Allah kita akan melewatinya bersama. Aku juga belum mencintai Mas Kenzo, tapi aku yakin, cinta itu perlahan akan masuk ke celah-celah hatiku dan menyematkan nama Mas Kenzo di dalam sana!”Pria itu tersenyum memamerkan lesung pipinya. “Bismillah ya, Dek. Mudah-mudahan kita berjodoh sampai ke jannah!” “Aamiin.”***Aku berdiri di depan cermin sambil terus memindai wajahku yang sudah di rias oleh MUA yang ditunjuk o
Read more
PREV
123456
...
24
DMCA.com Protection Status