All Chapters of Kontrasepsi di Kamar Adikku : Chapter 51 - Chapter 60
232 Chapters
Part 50
Membuka mata perlahan, lalu menutupnya kembali karena cahaya yang menyilaukan. “Ya Allah, Sayang. Kamu kenapa?” tanya Mas Kenzo sambil menatap wajahku sendu.“Aku nggak tahu, Mas. Kepala aku tiba-tiba pusing,” sahutku pelan, hampir tidak terdengar.“Mas sudah khawatir banget loh.”Tidak lama kemudian ibu datang membawa pakaian untukku.“Emang kalian habis ngapain sih? Fita lagi mabok, nggak usah diajakin begituan dulu ngapa sih, Zo!” Rutuk Ibu sambil membantuku memakai gamis. Sepertinya dia salah paham.“Astagfirullah, Bu. Saya nggak habis ngapa-ngapain Fita. Dia minta mandi, terus saya mandiin. Eh, tiba-tiba dia pingsan!” jawab Suamiku dengan wajah memerah. Mungkin dia merasa malu kepada ibu.Karena keadaanku yang begitu lemah, dokter menyarankan supaya menjalani rawat inap selama beberapa hari, sampai keadaanku mulai membaik.Aku menurut saja karena tidak mau terjadi sesuatu dengan calon bayiku. Aku ingin melakukan yang terbaik untuk dek utun.“Dek, Mas pergi ke kantor dulu ya. Ka
Read more
Part 51
Malam semakin larut, akan tetapi Mas Kenzo belum juga kembali. Aku sangat mengkhawatirkan kesehatan suamiku karena sekarang dia sering pergi pulang pagi. Kusambar gawai yang tergeletak di atas nakas, menghubungi nomor ponselnya, berharap dia cepat pulang menemaniku di rumah sakit.'Kamu ke mana sih, Mas. Kok nomor kamu tidak aktif!' gumamku dalam hati.[Mas, kamu ke mana? Kapan pulangnya] send, suamiku.Aku menoleh ke arah Salim yang sudah terlelap di atas Sofa. Kenapa justru dia lagi yang harus menemaniku. Aku jadi kasihan sama anak tiriku itu, apalagi setelah mendengar cerita cintanya yang berakhir tragis. 'Sama mantan pacarnya disuruh-suruh terus, sama ayahnya juga disuruh nemenin ibu tirinya terus,' bhatinku.Mencoba turun dari tempat tidur, namun kapala ini masih terasa berat dan keliyengan. Aku juga tidak mungkin membangunkan Salim untuk mengantarku pergi ke kamar mandi."Ya Allah, Mas. Kamu kok teg
Read more
Part 52
"Ayo Bun, kita masuk," ajak Salman sambil menggandeng tanganku."Iya, Sayang. Habis ini ambil Quina di rumah nenek ya, Man. Sama sekalian beliin Bunda bubur kacang hijau di depan." "Iya, Bun. Sekarang Bunda mau ke kamar apa mau duduk di sofa?" "Di sofa saja dulu, Man. Bunda bosen di kamar terus."Salman membimbingku duduk di sofa lalu pria bertubuh kurus itu langsung pamit untuk mengambil Saquina di rumah neneknya.Beberapa menit kemudian, Salman kembali bersama Mbak Kenza membawa bubur untukku. Anak kedua suamiku itu langsung ke dapur untuk mengambil mangkuk, lalu menuang bubur kacang hijau itu ke mangkuk yang ia bawa."Makan dulu. Bun. Mumpung masih hangat. Tapi aku bagi sedikit ya. Aku kepengen. Tadi mau beli sudah habis!" Dia menyeringai sambil menggaruk kepala. Persis seperti abangnya kalau lagi salah tingkah."Ya sudah kita makan berdua saja, Man. Bi Kenza mau?" Aku menoleh ke arah Mbak Kenza yang s
Read more
Part 53
"Salim, Salman, buruan bawa Ayah kalian!" titahku sambil menyusut air mata. 'Ya Allah, Mas. Tolong bangun . Jangan tinggalkan aku dan calon anak kita, Mas.' Salim dan Salman segera menggotong Mas Kenzo masuk ke dalam mobil, meletakkan kepala sang ayah di pangkuanku, lalu lekas membawa Mas Kenzo ke rumah sakit. "Mas, buka mata. Kamu jangan buat aku takut, Mas!" Menepuk-nepuk pelan pipi Mas Kenzo, yang sudah terlihat pucat pasi. "Buruan, Salim. Kamu nyetir kok kaya keong!" teriakku tidak sabar. "Sudah cepet ini, Bun. Bunda yang sabar. Insya Allah ayah baik-baik saja!" jawab Salim sambil terus fokus mengemudi. Sedang Salman, dia sedang sibuk menghubungi dokter yang biasa menangani ayahnya, memberi tahu kalau gula darah Mas Kenzo naik hingga hampir 600 mg/dl, biasanya tidak sampai 300. "Alhamdulillah dokter Darwinnya ada, Bun. Beliau juga lagi otewe ke rumah sakit!" ucap putra kedua suamiku sambil meletakkan ponselnya. Aku terus mendekap tubuh Mas Kenzo, membisikkan doa yang aku bi
Read more
Part 54
“Kamu sendiri ngapain berada di sini, siapa yang sakit?” “Suamiku, Mas!” “Memangnya dia sakit apa?” “Gula!” “Innalilahi!” ujar Mas Akmal. Aku menoleh ke arah mantan suamiku yang ternyata sedang menatap ke arahku, hingga tanpa sengaja pandangan kami saling berserobok. Namun, entahlah. Aku merasa getaran itu sudah tidak ada. Cinta di sanubari mulai sirna. Mungkin karena aku sudah merasa nyaman dengan Mas Kenzo, sehingga perlahan-lahan rasa itu mulai pergi dan tak lagi bertakhta di hati. “Fit, apa kamu tidak kasihan sama Dewi. Dia lagi hamil dan sekarang suaminya berada di dalam bui.” Aku menghela nafas berat mendengar ucapan Mas Akmal yang menyinggung masalah Papa Surya. Pasti dia akan memintaku mencabut laporan dan membebaskan Mantan mertua yang sekarang sudah menjadi adik iparku. “Papa salah dan orang salah harus dihukum!” Jawabku menegaskan. “Tapi, biar bagaimanapun Papa itu tetap orang tua kamu loh, Fit. Papa juga sekarang sudah menjadi adik ipar kamu. Kamu tahu, Dewi frust
Read more
Part 55
Ekor mataku melirik ke arah Dewi yang sedang duduk di atas kursi roda. Benar-benar sifatnya sudah berubah 180. Bukannya simpatik sama sang kakak, dia justru malah menertawakan keadaanku. Padahal, dia sendiri sedang tidak berdaya.“Aku juga nggak yakin kalau anak dalam perut Kak Fita itu anak suaminya. Jangan-jangan dia anak si Salim. Secara diakan diam-diam suka sama ibu tirinya!” Aku mengepalkan tangan menahan emosi. Andai saja Dewi sedang tidak sakit, sudah aku tabok mulut nyinyir bocah itu.“Jaga mulut kamu, Dewi. Kakak itu tidak semurahan kamu, yang bisa ditiduri oleh siapa saja. Bahkan sampai hamil diluar nikah!!” bengisku. Dewi beranjak dari kursi rodanya kemudian mengangkat tangannya ke udara, hendak menamparku. Beruntung Salim langsung menangkis tangan Dewi dan mencengkeram erat tangan adikku.“Jangan sentuh Kak Fita, atau tangan kamu saya patahkan!” hardik Salim dengan wajah memerah padam.“Ada pahlawan kesiangan. Iya
Read more
Part 56
“Ini, dimakan mumpung masih panas. Kalau sudah dingin ndak enak lagi. Kejunya aku pesenin yang super spesial buat kamu!” Dia duduk di kursi teras, membuka kotak berisi singkong keju itu dan menyodorkannya kepadaku.Aku menelan saliva mencium aroma keju yang menguar di udara. Ingin menolak makanan itu, tapi aku benar-benar menginginkannya. Kalau tidak menolak, takut Mas Akmal salah sangka dan dikira aku masih berharap dia kembali.Ragu-ragu aku mengambil sepotong singkong yang bertabur keju. Memasukkannya ke dalam mulut dan maa syaa Allah, rasanya nikmat sekali hingga tanpa sadar aku hampir menghabiskan satu porsi.Binar bahagia terpancar jelas di wajah Mas Akmal. Dia terus saja mengulas senyum menatapku yang sedang menikmati makanan pemberiannya.“Aku sudah lama merindukan momentum seperti ini, Fit. Dimana kamu sedang hamil, ngidam ini itu dan aku pergi mencarikannya!” ucap Mas Akmal sambil terus menatap wajahku.Aku menjilati jemariku dan langsung menghent
Read more
Part 57
Salim masih saja berdiri mematung sambil memegangi pipinya. Wajahnya memerah padam dan mata pria itu terlihat berkabut. Aku melenggang masuk kemudian menutup rapat pintu kamarku. Menumpahkan air mata, menikmati luka yang terasa mengiris-iris sanubari.‘Ah, Mas. Tolong cepat buka mata kamu. Tolong bawa aku pergi menjauh dari orang-orang yang membenciku. Aku tidak sanggup kalau hidup terus-terusan seperti ini, Mas!’ Ratapku dalam hati.Lamat-lamat terdengar suara azan magrib berkumandang. Gegas aku mengambil wudu, menggelar sajadah, bertafakur diri memohon ampun atas segala salah serta khilaf yang selama ini aku lakukan. Juga meminta supaya Allah lekas mengangkat penyakit yang sedang diderita oleh suamiku.Selesai melaksanakan ibadah wajib tersebut, aku langsung mengajak Saquina pulang ke rumah Ibu dan pamit kepada wanita berusia enam puluh tiga tahun itu untuk menemani Mas Kenzo di rumah sakit. Ibu sempat melarang, tapi aku tetap memaksa u
Read more
Part 58
Tidak lama kemudian Salim kembali membawa sebungkus nasi goreng. Dia lalu duduk bersila di depanku, membuka bungkusan nasi tersebut dan mengangsurkannya kepadaku.“Ayo dimakan, Bunda. Biar dedeknya cepet besar, cepet lahir. Duh, pasti dia lucu dan tampan seperti saya. Saya sudah tidak sabar menimang-nimang dedek, mengazaninya dan kita hidup bahagia.” Oceh Salim seperti orang sedang ngelindur.Aku lekas menyendok makanan itu dan menyuapnya ke dalam mulut.“Jangan liatin saya terus, Salim. Saya makan jadi nggak nafsu kalau dilihatin seperti itu!” Protesku, karena putra Mas Kenzo terus saja memperhatikanku.“Oh, iya. Sorry. Silakan dimakan. Saya nggak bakalan liatin lagi!” Jawabnya sambil membuang muka. Namun, ekor matanya terus melirik ke arahku.“Kamu mau?” Aku menyodorkan sesendok nasi ke mulutnya.Salim menoleh dan membuka mulut.“Enak, Bun!”“Ya sudah, kita makan berdua. Lagian kamu bukannya be
Read more
Part 59
Tanpa terasa buliran-buliran kristal mulai meluncur dari ujung netraku.‘Ya Allah, Mas. Aku siang dan malam menamani kamu, bahkan rela menahan rasa lemas serta mual hanya karena ingin selalu bersama kamu, tapi, kenapa justru almarhumah istri pertamamu yang kamu cari. Apa kamu tidak tahu betapa hancurnya perasaanku ketika kamu menyebut nama dia, Mas?’“Mana Naumi, Dek. Mas kangen!” ujarnya lagi.Aku melepas genggamanku dan beranjak keluar dari kamar Mas Kenzo. Rasanya jantung ini seperti sedang diremas-remas. Sakit tak terkira, perih menusuk sukma.“Astaghfirullahaladzim! Astaghfirullahaladzim!” Aku mencengkeram ujung hijabku sambil menahan nyeri di dada.“Bun!” Salim memegang bahuku.Aku menoleh sembari menghapus air mata.“Sabar. Tolong jangan menangis. Hati aku ikut tercabik kalau melihat Bunda menangis!” ucapnya lagi sambil menatap sendu netraku.“Kenapa kamu tinggalkan Ayah sendirian, Lim?”
Read more
PREV
1
...
45678
...
24
DMCA.com Protection Status