Lahat ng Kabanata ng Disia-siakan Keluarga, Diratukan Ibu Mertua: Kabanata 21 - Kabanata 30
162 Kabanata
Teror (2)
Paginya saat semua orang sudah berangkat bekerja dan Hana sudah menyelesaikan hafalannya, mendadak ponselnya kembali berdenting.Hana meletakkan bukunya, lalu meraih ponsel dan membukanya dengan malas-malasan. Bibirnya menggumam, ‘Dari kemarin kerjanya ganggu mulu.’[Dasar sundal!]Sekujur tubuh Hana merinding. Tangannya bahkan bergetar hebat, takut membaca pesan teror tersebut.“Ning mau makan sekarang?” tanya Nina yang kebetulan naik untuk mengambil baju kotor anak-anak.Hana menggeleng. Ditunjuknya toples makanan.Nina tidak menjawab lagi dan menunduk sopan sebelum akhirnya pergi. Hana kembali meraih buku fiqih tentang shalat dan lanjut membacanya.“Permisi, Ning. Ada paket buat Ning Hana.” Mendadak Latifah naik dan mengangsurkan sebuah benda seukuran novel ke depan Hana.Hana seketika mengelap tangan dengan tisu, kemudian menerimanya dan bertanya ramah, “Dari siapa, Mbak?”“Saya gak tahu, Ning. Tadi dikasih satpam yang jaga di depan.”Hana diam sejenak, lalu meraih cutter dari lem
Magbasa pa
Menemani Arkan Menghadiri Acara Penting
Satu bulan kemudian...“Yee, jalan-jalan!”Hana tertawa saat Keira memasuki bangku belakang dengan riang. Di bangku tengah, ada Zara yang sibuk bekerja. Sementara di luar, Arkan dan Faris bolak-balik mengambil barang dari teras menuju mobil.“Kei, jangan lompat-lompat. Kalau masih berisik, mendingan kamu tinggal di rumah aja,” omel Zara tanpa mengalihkan pandangan dari laptop.Hana terkekeh, lalu kembali bersandar dan melanjutkan hafalannya. Di luar, santri-santri yang baru kembali dari sekolah siang sesekali melirik ke arah mobil. Tak lama, Naura masuk dan ikut duduk di sebelah Keira.“Tadi aku jajan dulu,” tutur Naura tanpa diminta. “Ada yang mau?”“Mbak mau.” Zara menjulurkan tangan, namun Naura membuka plastik dan meletakkannya di meja yang membatasi antara kedua bangku. Gadis itu lalu bersandar sambil memainkan ponselnya.“Tadi Umi nitip pesan supaya Hana nanti jaga makan. Jangan jajan sembarangan.” Naura kembali berkata.Hana mendecak. “Gak bisa cobain bakwan malang dong nanti.”
Magbasa pa
Menemani Arkan Menghadiri Acara Penting (2)
“Setiap orang punya keahlian, Mbak.” Hana tertawa. “Pilihannya ada dua; dia mau mengembangkan dan memanfaatkannya jadi sumber penghasilan atau dibiarin layu dan mati. Aku yang pertama, Mentari yang kedua.”“Kalau punya semangat, dia bisa jadi Antoni Gaudi abad 21. Atau Michelangelo versi perempuan. Tapi dia lebih suka santai dan dilayani. Ya aku bisa apa.” Hana tertawa lagi. Di dalam hati, dia memuji diri sendiri yang sudah lebih tenang saat bercerita tentang keluarganya. Mungkin ini semua karena kesabaran Arkan yang begitu besar terhadap dirinya.Pukul setengah empat sore, satu jam pertama setelah perjalanan, Arkan membelokkan mobil ke sebuah pom bensin. Zara dan Faris meloncat turun, pamit hendak ke kamar kecil yang berada di minimarket tak jauh dari tempat pengisian bensin.“Kamu mau dibeliin sesuatu?” tanya Arkan setelah menepikan mobil. Di belakang, Naura dan Keira adu mulut sejenak sebelum turun berdua dan berlari menuju minimarket.“Kita udah punya banyak makanan di belakang.”
Magbasa pa
Tiba Di Malang
“Sayang, bangun. Kita udah sampai."Hana membuka mata. Hal pertama yang dilihatnya adalah senyum lembut yang terbit dari bibir suaminya. Wanita itu tersenyum kecil, berusaha menegakkan tubuh meski akhirnya mendesis.“Ngilu,” bisik Hana sambil memegangi pinggang. Sejak usia kandungannya memasuki bulan keempat, pinggangnya mulai berdenyut ngilu setiap saat. Hana sudah berusaha meminimalisirnya dengan melakukan pekerjaan rumah yang ringan, tapi pada akhirnya dia dilarang oleh Salwa dan dirinya hanya bisa puas dengan mengerjakan pekerjaan ringan di kantor humas asrama.“Mau Mas bantu jalan?” tanya Arkan lembut. Satu tangannya terulur, memijat bahu istrinya dengan lembut.“Kakiku masih ada.” Hana menolak dengan halus. Dilepasnya safety-belt dan membuka pintu mobil, kemudian turun dan bersandar di pintu.Hal kedua yang dilihat Hana begitu turun adalah sebuah halaman seluas setengah lapangan bola. Beberapa mobil box dan mobil bak terparkir rapi, berikut tembok-tembok rendah dengan sulur tanam
Magbasa pa
Diskusi Pekerjaan
“Sebelum ini Hana pernah kuliah?” tanya perempuan paruh baya yang duduk di seberangnya ketika makan malam.Namanya Nur Laila, biasa dipanggil oleh semua orang dengan sebutan Umi Laila. Usianya yang baru menginjak awal enam puluhan sama sekali tidak memperlihatkan bahwa dirinya sudah begitu tua.Hana menggeleng, menjawab sopan, “Mboten , Umi. Gak sempat lebih tepatnya karena saya langsung kerja.”Diam-diam matanya melirik Arkan, namun pria-nya itu ikut melirik dan balas tersenyum. Satu tangan besarnya terulur dan mengusap kepala Hana dengan lembut.Semua itu tak luput dari pandangan keluarga Abdurrahman yang ikut tersenyum.“Kerja apa, Nduk?” tanya Kyai Zain Abdurrahman, ayah Tasha. Di sekeliling mereka, anak-anaknya—dua laki-laki beserta istri masing-masing dan satu perempuan dengan suami bersama anak-anak mereka—juga Tasha yang duduk di sebelah ibunya, ikut menatap ingin tahu.Hana sekali lagi melirik Arkan, lalu menjawab malu, “Nulis buku, Abah.”“Berarti sama kayak Tasha ya?” tanya
Magbasa pa
Bertengkar Dengan Ayah
Salah satu kitab kuning yang paling dikuasai Arkan adalah Ta'limul Muta'alim, dan itulah yang diisinya siang ini. Suara bariton pria itu terdengar menggelegar di aula besar saat berdiskusi dengan kedua kakak laki-laki Tasha, sebagian didominasi semangat karena ini adalah kajian kesukaannya, dan sebagian lagi bahagia karena bisa tampil didampingi istri yang sangat dia cintai.“Mas Arkan kalo tampil emang selalu senyum-senyum gitu ya?” bisik Hana pada Keira yang duduk di sebelah kirinya.“Cemburu, Bu?” goda Zara. Haura, Kania, Luna, serta Tasha terkekeh mendengar pertanyaan blak-blakan tersebut.Hana tidak menjawab. Mata bulatnya fokus menatap Arkan yang berdiri di podium, sesekali mengulum senyum saat Arkan meliriknya secara sembunyi-sembunyi.Sesekali Hana mencatat poin penting dari kajian yang dilakukan suaminya, lalu kembali menyimak sambil sesekali berdiskusi dengan Naura. Getaran di saku gamis sama sekali diabaikannya, lebih karena tahu siapa yang menghubunginya tanpa henti sejak
Magbasa pa
Diskusi Bahasa
“Setelah disini, rencananya mau kemana?” tanya Kyai Zain saat makan siang.Arkan melirik Hana, namun istrinya sibuk menekuni piring makanannya.“Rencananya saya mau ajak semua orang ke Batu Night Spectacular, Abah. Saya sudah janji sama Hana bakalan ajak dia jalan-jalan,” ucap Arkan sopan.Tak jauh darinya, Naura mengangguk-angguk dengan tampang puas. Kontras dengan ekspresi Keira yang sebal.“Arkan ini sayang istri banget ya. Sebelum shalat dzuhur tadi saya lihat pertunjukan di depan aula.” Kakak pertama Tasha, Ayash, menceletuk ringan.Semua orang tertawa, sementara Arkan menahan senyum dan sekali lagi melirik Hana. Dilihatnya pipi gembil itu memerah, membuat Arkan gemas ingin menciumnya.Semua itu juga tak luput dari tatapan Kyai Zain dan istrinya, juga anak-anak dan menantu mereka. Sejak kemarin, mereka gemas sekaligus bahagia melihat interaksi manis pasangan tersebut.“Saya yang udah nikah sepuluh tahun sama Haura ngerasa kalah saing sama yang baru nikah satu tahun,” goda Ayash la
Magbasa pa
Teror (3)
Hal pertama yang dilihat Hana adalah langit-langit kamar berwarna putih bersih.“Aku dimana?” tanyanya lirih.“Kamu baik-baik aja?”Hana menoleh. Terlihat Zara mendekat dan duduk di pinggir ranjang. Wanita itu berusaha bangun, namun Zara segera menahannya.“Aku kenapa, Mbak?” tanya Hana lagi. Kepalanya berdenyut nyeri—vertigonya kambuh lagi karena berusaha mengingat apa yang terjadi tadi.Zara tidak menjawab. Diliriknya ponsel yang diletakkan di meja nakas, lalu melirik Hana.“Kamu pernah berantem sama orang lain?” tanya Zara lembut.Hana menggeleng.“Aku takut, Mbak. Awalnya didatangi orang gak dikenal waktu sendirian di rumah, terus dikirim paket nyeremin, diteror lewat chat, diawasi waktu kita berhenti di pom bensin. Awalnya kukira mataku yang salah, tapi ini serius, Mbak. Aku ngerasa ada yang ngikutin kita semua.”“Sssh, jangan panik.” Zara segera maju dan memeluknya. “Jangan sampai kamu stres dan nanti berpengaruh ke bayimu. Kamu harus tenang, Dek.”Bibir mungil kemerahan itu sege
Magbasa pa
Kemarahan Arkan
“Kamu pernah punya masalah sama orang di luar sana, Han? Jujur!” ucap Arkan tegas saat hanya ada mereka berdua di kamar.Hana menunduk, takut untuk menjawabnya. Bagaimana kalau Arkan marah dan memutuskan untuk memprovokasi peneror itu?“Han!”Hana menatap mata suaminya lekat dan berkata, “Yang benci aku banyak. Yang gak suka aku juga banyak. Mas udah tahu soal itu.”“Kamu punya pikiran siapa yang neror kamu sampai kayak gini?” tanya Arkan lagi.Hana mengedikkan bahu.“Apa yang tertulis di chat itu beneran?” Arkan menunjuk ponsel Hana yang berada di tangannya.Hana sontak mendengus. “Mas tahu gaji aku sebagai penulis gede banget. Ngapain aku nadahin tangan ke laki-laki yang bahkan waktu itu belum jadi suamiku?”“Tapi kenapa disini dia bilang kamu morotin laki-laki?” balas Arkan tak mau kalah.“Mas lebih percaya pesan gaje itu daripada aku?” tanya Hana kaget.Iris hitam Arkan tidak menyorotkan emosi sedikitpun saat berkata, “Mas begini karena sadar kalau Mas belum mengenal karakter kamu
Magbasa pa
Curhat Pada Zara
Sampai malam, Hana tetap membisu. Di meja makan, pasangan itu pintar bersandiwara mesra, meski hanya Keira dan Naura yang mengetahui bahwa hal itu palsu. Sorot mata Hana masih memancarkan luka, sementara Arkan terus berusaha menghindari kontak mata dengan istrinya.“Acara tadi siang hebat sekali, Gus,” puji Ayash. “Kapan-kapan kita bisa buat acara semacam ini lagi?”Arkan mengangguk. “Bisa. Mas Ayash atur saja waktunya, insya Allah nanti kami ke sini lagi.”Zara dan Faris yang menyadari nada ganjil tersebut bertatapan, lalu menatap kedua adik kembar mereka.“Nanti aja,” bisik Keira lirih.“Hana kenapa diam aja? Sakit, Nduk?” tanya Bu Nyai Laila lembut.Hana menggeleng. “Cuma kecapekan, Bu. Gak apa-apa.”“Oh, wajar. Baru pertama kali pergi sejauh ini ya?” tanya Haura.“Enggak, Mbak. Cuma mungkin karena keadaan sekarang yang agak lain,” balas Hana sambil mengelus perutnya.Semua orang mengangguk-angguk paham.Selesai makan malam, mereka berkumpul di ruang tamu dan mengobrol. Hal ganjil
Magbasa pa
PREV
123456
...
17
DMCA.com Protection Status