All Chapters of Teror Pendakian Jalur Selatan Rinjani: Chapter 31 - Chapter 40
67 Chapters
Bab 31 (Petunjuk)
Bang Ochi duduk pada batang cemara yang telah tumbang dan mengering. Ia berpikir sambil memperhatikan tenangnya air danau Segara Anak. Semua tampak tenang, datar, dan tak ada pusaran air ataupun riakan besar seperti yang baru saja ia lihat. Semua pendaki di camping ground tampak santai memancing, seolah tak pernah ada apa-apa. "Apakah mungkin tidak pernah terjadi apa-apa di tengah danau itu? Atau mungkin juga bangsa jin telah menipu pandangan kami?" Bang Ochi bergumam lirih. "Aneh," lanjutnya kemudian."Saya udah tanya, mereka nggak ada yang lihat rombongan kita, Bang," Fadly datang dengan raut wajah lelah, napasnya agak tersengal."Sebentar," tutur Bang Ochi. Ia berusaha keras memikirkan segala keanehan yang menimpa tim itu sejak awal ketika Bang Ron terjatuh."Kenapa, Bang?""Fadly ... tolong ceritakan saya, apa sebenarnya yang pernah tim kalian lakukan sejak awal berada di Rinjani?" tanya Bang Ochi penasaran. "Saya tidak meragukan hal-hal di luar nalar bisa terjadi dan dapat meni
Read more
Bab 32 (Misteri Terungkap?)
Suara gemeretak dalam mulut Jingga terus terdengar. Beberapa patahan tulang dijatuhkan lagi dari mulutnya. Matanya menatap misterius ke arah Bang Ochi yang masih kebingungan di posisi paling belakang.Tim terus melangkah menuju camping ground tanpa menyadari apa yang dilakukan bocah perempuan itu atas gendongan ayahnya, kecuali Bang Ochi."Ayo buka carrier, keluarkan logistik. Bagi tugas untuk bikin makan siang. Keluarkan apa yang ada!" perintah Pak Junet setiba di camping ground Segara Anak."Di carrier saya masih cukup banyak logistik, dan tim saya juga masih lumayan, tapi lauk sepertinya nggak cukup banyak," ucap Bang Ipul sambil membuka carriernya."Di ransel saya ada mie instan, telur, sama sosis. Kita bisa masak ini jadi tambahan. Walaupun nggak cukup banyak, paling tidak perut kita terisi dulu," sambung Pak Junet.Mendengar uncapan Pak Junet, beberapa orang pendaki menghampiri."Abang-abang, rombongan kami mau turun, titip ini ya, lumayan untuk tambah-tambah," ucap salah seoran
Read more
Bab 33 (Kakinya Terbalik!)
Mata Pak Junet tampak mengawasi. Ia hendak memberi tahu Bang Ochi siapa yang mengambil tulang sesaji dan siapa pemiliknya. Namun, tiba-tiba saja Bang Ipul menghampiri mereka."Kapan rencana nikah, Chi?" tanya Pak Junet tiba-tiba mengalihkan pembicaraan. Bang Ochi langsung paham maksud Pak Junet. Ia tidak ingin informasi ini menyebar sebelum ada kepastian."Anu ... ee ... akh ... hir tahun mungkin, Pak," jawab Bang Ochi asal agar Bang Ipul tak curiga."Ah, kelamaan, Bang Chi!" Suaranya bernada mengejek."Wah, bahas apaan? Ada bau-bau yang mau nikah ini," sela Bang Ipul."Eh, Bang Ipul. Ini, Bang ... Pak Junet usil banget pertanyaannya." Bang Ochi berusaha menyembunyikan pokok masalah sebenarnya."Besok kita berangkat turun jam berapa?" tanya Bang Ipul."Jam sembilan pagi, cukup lah. Kita cuma butuh waktu sekitar tiga jam, paling lama mungkin empat jam udah sampe di pintu hutan," jawab Pak Junet yakin.Bang Ipul hanya mengangguk, lalu kembali ke rombongan bersiap mendirikan tenda."Pak
Read more
Bab 34 (Pemilik Jimat)
Refleks Bang Ochi meraih pundak Fadly, lalu menariknya. "Lari!" pekiknya.Mendengar suara gaduh, Pak Junet menghampiri. "Ada apa ini? Jangan bikin gaduh, ini sudah malam!" ujarnya dengan nada keras.Situasi di Pos 3 berubah mencekam."A-anu, Pak. Bule, kakinya kebalik!" jawab Fadly dengan napas tersengal memburu oksigen."Kenapa, sih, selalu saja ada gangguan sama rombongan kalian, heran saya!" sergah Pak Junet.Bang Ochi menoleh ke arah para penyintas. "Pak, buka saja semua. Saya rasa sekarang waktunya,” usulnya agar Pak Junet menungkap semua.Pak Junet melihat ke arah Bang Ochi, lalu mengangguk ringan."Ibnu, kemari!” panggil Pak junet. “Coba jelaskan kami, kenapa bisa ada tulang monyet di sling bag punyamu?" lanjut Pak Junet bertanya dengan tegas.Sontak semua mata mengarah pada Ibnu. Diah, Zahra, dan Fadly membeliak tak percaya apa yang baru saja terlontar dari mulut Pak Junet.Ibnu terdiam, lalu melihat ke arah teman-temannya.Fadly mendekat, lalu tiba-tiba melayangkan hantaman k
Read more
Bab 35 (Penghuni Beringin)
Suara pemikat lawan jenis dari rusa timor terdengar memekik di kejauhan memecah heningnya pagi. Embun yang menggantung pada ujung ilalang mulai menguap serupa asap tipis menari-nari di bawah sinar yang hangat. Setelah gelap malam bergeser, kini pagi menyapa bersahaja, membersitkan segaris cahaya melalui celah dahan cemara gunung.Bersama segelas kopi di tangan kanan, Bang Ochi melangkahkan kaki menuju titik terbaik untuk menghangatkan tengkuk dari dingin yang membelai."Udah bangun, Bang?" sapa Ibnu. Ia duduk di atas batu sambil mengamati hamparan ilalang yang menguning. "Eh, Bro. Sehat?" Bang Ochi balik menyapa."Alhamdulillah, lebih baik ini ketimbang ciuman jelatang," kelakarnya sambil mengelus pelipis yang masih biru menonjol.“Jelaslah,” balas Bang Ochi sambil sedikit tertawa."Untuk sampai pintu hutan, butuh berapa lama, Bang?""Paling lama empat jam kalau jalan santai gak berhenti," jawab Bang Ochi sambil sesekali menyeruput segelas kopi di tangannya.“Lumayan jauh, ya, Bang.”
Read more
Bab 36 (Mereka Mendaki Kembali)
Jingga meronta ingin lepas dari gendongan Arum. Berrkali-kali ia mencakar wajah ibunya dan menarik jilbab hingga terlepas. Situasi berubah panik, wajah bocah perempuan itu berubah pucat dan dan sangat ketakutan melihat orang-orang di sekitarnya."Jingga mau pulang!" teriak Jingga histeris. Suaranya berubah sangat mengerikan.Jingga terus memberontak dari gendongan ibunya hingga Arum terjatuh. Bang Ipul segera menghampiri istrinya, tetapi Jingga terlepas dan berlari ke arah rerimbunan semak untuk sembunyi.Semak belukar yang rapat dan cuaca yang mendung membuat pandangan mereka agak kabur. Bang Ipul pun segera melepas carrier dari punggungnya, lalu berlari ke arah semak mengejar anaknya.Situasi bertambah rumit karena Jingga bersembunyi entah di mana. Tak ada suara sedikit pun darinya. Arum terduduk lemah tak berdaya. Jalur Pos 2 Senaru bertambah ramai karena banyaknya pendaki penasaran dengan apa yang terjadi.Satu jam kemudian tim SAR penjemput tiba di Jalur Pos 2 Senaru. Pak Junet
Read more
Bab 37 (Jangan Menyekutukan Tuhan!)
Jalur Selatan Rinjani. Petugas terus menarik tali dengan lebih cepat. Semakin tinggi tandu terangkat, semakin kencang pula tandu berayun tertiup angin. Rasa khawatir dan penasaran memaksa Alit melangkah cepat menuju bibir tebing. Unyil dan teman-temannya segera bangkit dan menyusul Alit karena wajahnya tampak tak tenang. Di tebing bawah sana, posisi jenazah, kini berada di titik jatuhnya Bang Ron, letter Z."Ya ampun, berani banget tim evakuasinya, sampe berayun gitu. Ih, merinding aku, Baaang," celetuk Dini saat melihat perjuangan tim evakuasi."Saya juga, Din," balas Unyil."Bang ... eh, Abang, siapa namanya?" panggil LurisAlit menoleh mendengar panggilan itu. "Ya?""Gimana Bang Ochi di bawah sana, baik-baik aja, 'kan?" tanya gadis berambut panjang itu."Bang Ochi baik-baik aja," jawab Alit apa adanya."Kok, Bang Ochi nggak naik? Tadi, Abang naik pake tali. Pasti sama Bang Ochi kan di bawah?" tanyanya lagi."Bang Ochi gak naik pake tali, dia sama Pak Junet balik lewat jalur Senaru
Read more
Bab 38 (Kekasih Bang Ron)
Alit menyandarkan tubuh lelahnya pada tiang penyangga di samping jasad Bang Ron. Malam semakin larut, dingin semakin menusuk, dan mata terasa berat. Karena lelah, ia pun terlelap.Alit terbangun di saat orang-orang masih tertidur dengan posisi duduk sambil bersandar satu sama lain. Sleeping bag mereka tampak lembab, bahkan basah karena tempias air hujan yang terbawa angin.Hujan masih belum reda. Awan kelabu masih enggan pergi. Ilalang, tumbuhan strawberry hutan, dan dahan-dahan pepohonan tampak merunduk menahan guyuran air hujan yang turun dari semalam.Pagi itu sungguh dingin dan terasa beku karena angin tak henti membelai mereka. Satu persatu, mereka membuka mata, tetapi tubuhnya enggan melepas lilitan sleeping bag yang menyelimuti."Belum reda hujannya, kapan bisa pulang kalau gini terus," gumam Luris terbangun."Kita terabas saja kalau masih begini. Sepertinya, hujannya bakalan awet," sahut Pak Najam dengan mata masih menutup, lalu merenggangkan badan."Jam berapa Ris?" tanya Ali
Read more
Bab 39 (Kondisi Jeko)
"Aargh, tolong ... kaki saya ... kaki saya sakit sekali, Pik!" teriak Jeko di dalam salah satu ruang rumah sakit.Jeko tak kuasa menahan rasa sakit di dalam kakinya yang telah diperban. Di dalam gulungan perban itu ia merasakan lukanya seperti digerogoti sesuatu. Terlihat, kedua tangannya sangat ingin membuka lilitan perban itu."Dokter ... tolong, Dokter! Kaki teman saya kenapa?!" teriak Opik meminta pertolongan dari pintu kamar sehingga suara itu menggema karena kerasnya.Tak lama, dua orang perawat datang dengan tergesa-gesa karena suara panik dari Opik."Suster, tolong periksa kaki teman saya. Kasian dia kesakitan! Buka saja perbannya," pinta Opik panik."Maaf, Mas, kami tidak mungkin melakukan tindakan tanpa persetujuan dokter yang menangani teman Anda." Seorang perawat senior memberikan pemahaman kepada Opik dan Jeko."Tapi ... tapi kaki saya sakit sekali, Sus, tolong saya, arrgh!" teriak Jeko mengerang."Maaf, kami tidak bisa lakukan itu karena melanggar kode etik.""Kalau tid
Read more
Bab 40 (Isi Tas Jeko)
Di salah satu sudut taman yang minim pencahayaan, Jeko duduk hampir bersila. Batu besar itu diangkat berkali-kali ke arah kakinya."Jeko, hentikan!" teriak Opik sambil berlari menghampiri sahabatnya. Ia hendak menghentikan apa yang dilakukan Jeko."Hahah, mati kau! Mati kau ... hancur kepalamu, Setan!" teriak Jeko puas. Jeko tak sadar telah menghancurkan kakinya sendiri hingga tak berbentuk. Opik terlambat, kaki sahabatnya itu telah hancur dan nyaris terputus dari tempatnya akibat hantaman itu. "Stop, Jeko! Hentikan, jangan lukai dirimu sendiri! Itu kakimu, Jeek." Dengan erat, Opik menangis memeluk sahabatnya. Ia sangat prihatin dengan kejadian itu."Tolongin, cepet tolongin!" ucap satpam kepada dua perawat yang ikut mencari.Jeko terus tertawa puas seolah tak merasakan sakit sedikit pun. Sementara itu, Opik terus mendekap dan berusaha menghalangi kedua tangan Jeko. "Jeko, itu kakimu, Jek ... stop, itu kakimu," tangis Opik di samping telinga Jeko.Tiba-tiba Jeko terdiam, lalu tatap
Read more
PREV
1234567
DMCA.com Protection Status