All Chapters of Iparku Menjadi Ibu Susu Anakku: Chapter 31 - Chapter 40
86 Chapters
31. Mengelola Rasa Kecewa
Entah berapa menit waktu berlalu. Lisa membiarkan Mario menumpahkan air matanya di pelukannya. Persepsi lingkungan kita terlanjur membentuk gambaran yang umum kalau lelaki itu tak boleh menangis. Lelaki yang menangis dianggap sebagai lelaki lemah. Mario adalah lelaki kedua yang Lisa lihat menangis sehebat ini. Lelaki pertama yang ia lihat menangis seperti ini adalah mendiang papanya. Papanya menangis dengan lemah ketika mamanya alias oma Lisa meninggal. Ya, sekuat-kuatnya lelaki, ia tidak akan menyimpan air matanya untuk hal yang layak ditangisi. Entah itu untuk rasa kehilangan yang hebat, rasa tersakiti, atau rasa kecewa yang besar. Bisa juga gejolak rasa bahagia menuangkan tangis sebagai bentuk ekspresinya. Lisa tahu pundaknya mulai basah ketika Mario mengangkat wajahnya dari rangkulan tangannya yang bersimpati menguatkan. Dilihatnya wajah Mario begitu kacau. Ia memang tampan dan kharismatik, tapi jangan bayangkan mukanya tetap indah dipandang seperti aktor utama dalam film ya
Read more
32. Gelap Total
Lisa menolehkan kepalanya perlahan ke arah Mario. Ia menyuruhnya untuk menelpon suaminya? Untuk apa? Lisa tak mengerti. "U--untuk apa, Mas?" Lisa bertanya dengan gugup. "Bilang sama dia kalau kamu nggak pulang malam ini. Bilang kalau kamu di rumah sakit nemenin Marsa atau apalah. Kamu buat alasan. Kamu jangan pulang ya. Temani aku. Aku stress. Aku kalut. Aku nggak bisa sendirian." Mario mulai berkata dengan nafas sesak dan terburu-buru. Lisa mengangguk cepat. Ya, ia akan tetap di sini. Cemas juga ia kalau meninggalkan Mario yang terpuruk sendirian. "Ar--, maksudku Dimas nggak perlu kutelpon. Tadi sudah mengabari kalau dia sedang bersama bossnya. Bossnya nggak suka dia terlalu sering menerima telepon, kecuali panggilan darurat. Tenang, Mas. Nggak usah cemaskan suamiku." Lisa berbohong. Padahal ponselnya tadi ia matikan karena Aryo menelponnya. "Oke. Terima kasih, Lis. Tolong tahan aku kalau mulai muncul ide gila di kepalaku. Aku ingin menemui Daniel dan mematahkan satu tangannya
Read more
33. Telepon Darurat Dini Hari
Tring! Aneka foto yang terlihat kecil-kecil dari thumbnail tersapu pandangan Lisa. Layar ponsel itu ia tatap dengan nanar. Lisa menelan ludahnya dengan gugup. Ia tahu tindakannya telah melanggar privasi. Dari lahir ia bersama kakaknya, mereka selalu punya batas. Perihal isi dompet dan ponsel itu masuk ke ranah pribadi yang sensitif. Tapi ini lain situasinya. "Ayo, Lisa. Buka saja. Kamu membuka untuk mencari tahu, mewakili Mario. Bukan untuk menghakimi, kan? Buka saja." Lisa lalu menggerakkan tangannya dan mulai menjelajah. Dilihatnya foto studio yang tadinya hendak ditunjukkan Mario. Ah, begitu manis dan terlihat harmonis. Ibu, ayah, dan bayi perempuan yang lucu. Tapi tunggu... Mata Lisa melihat satu foto yang agak lain. Bertiga juga. Ada Risa, Marsa, tapi yang satunya bukan Mario. Ya, ini Daniel. Lisa menutup mulutnya dengan tangan. Ia mengenali latar belakang foto ini sebagai kamar bayi Marsa. Barang-barangnya sama, aksesorinya sama. Hanya saja tata letaknya berbeda. Lisa me
Read more
34. Maaf, Istri Anda...
"Saya akan datang." Suara Mario terdengar tanpa emosi. Entah apa yang ada di kepalanya saat mengatakan itu. Tapi tak ada sedikitpun nada panik terdengar di sana. Tut! Panggilan itu Mario matikan secara sepihak. Bahkan seolah ia tidak tertarik untuk mendengar lebih lanjut apa yang dikatakan pihak rumah sakit itu soal kondisi Risa sekarang. Masih mengenakan celana panjang dan kaos santai yang ia pakai kemarin sore, Mario berjalan dengan gontai sambil menggenggam ponselnya menuju kamar Marsa. Ia yakin Lisa tidur di sana semalam. Dan benar saja. Ia lihat adik iparnya itu meringkuk tanpa selimut. Rambutnya tersibak ke belakang, memperlihatkan lehernya yang mulus dan garis wajah yang cantik itu. Andai saja ia tak sekurus ini, pasti makin sempurna penampilannya. Mario duduk di lantai seolah bersimbah di depan Lisa yang masih tertidur. Pikirannya tak jelas entah ke mana. Diguncang-guncangannya pelan pundak Lisa untuk membangunkannya. "Lisa... Lisa... . Bangun, Lisa," panggil Mario pelan
Read more
35. Untuk yang Terakhir
"Pak Mario, sebelum istri Anda dipindahkan ke ruang jenazah, untuk terakhir kalinya mungkin Anda ingin menemuinya." Dokter itu keluar dari ruangan khusus dan menemui Lisa dan Mario di luar. Mario menggeleng. Lisa menatap tak percaya. Sebegitu sakit hatikah Mario pada kakaknya? "Jam berapa akan dipindahkan, Dok? Kami bebas masuk ke dalam?" Lisa yang mengambil alih pembicaraan. "Jam 6 nanti. Harap Pak Mario mengurus dokumen dan pemulangan jenazah ke rumah duka. Nanti perawat akan membantu, Pak." Dokter itu berkata pelan lalu berlalu pergi. Hening. Posisi mereka masih sama. Berdiri di depan dinding kaca sambil mengamati tubuh Risa yang terbaring tak bernyawa. Sekujur tubuhnya ditutup kain putih. Alat-alat medis itu kini sudah dicabut. "Mas, temui kak Risa. Setidaknya demi Marsa. Mas nggak ingin Marsa bertemu ibu kandungnya untuk yang terakhir kali? Nanti kalau dia sudah besar..." "Kamu aja yang nelpon suster Ami. Kalau memungkinkan, biar anak itu dibawa ke sini." Mario berkata da
Read more
36. Pemakaman yang Sepi
"Oek...oek..." Begitu mendengar nama Daniel disebut dengan nada yang penuh dendam oleh Mario, Marsa menangis meraung-raung. Apa ia tahu Daniel adalah ayah kandungnya? Apa ia merasakan kalau Mario yang menimangnya sedari bayi dan menangisinya saat ia sakit itu membenci ayah kandungnya? Marsa yang tadinya tidur dengan tenang tiba-tiba terbangun. Suster Ami mengambil alihnya dari gendongan Lisa. "Susunya ada di mobil. Jadi gimana Pak Mario? Sebenarnya Marsa sudah cukup kuat untuk dibawa datang ke pemakaman. Misalkan dia mau dibawa pulang dan dirawat di rumah pun sebenarnya pihak rumah sakit sudah mengizinkan. Keadaanya membaik dan kembali normal setelah mendapat donor ASI. Cuma Anda harus datang dulu dan tandatangani surat pencabutan berkas rawat dan banyak prosedur lain. Saya harus bagaimana, Pak?" tanya suster Ami dengan Marsa yang masih menangis meraung-raung di gendongannya. Mario dengan wajah kakunya lalu menatap suster Ami dengan tatapan mata yang tajam dan serius. "Bawa Mar
Read more
37. Jangan Pernah!
Air mata Mario yang tadinya bercucuran itu kini mendadak berhenti. Mario menatap Daniel juga yang kakinya terpincang-pincang berjalan ke arahnya. "Mau apa dia?" Tangan Mario mulai mengepal. Lisa yang menatap adegan itu merasa harus waspada. Bagaimanapun makam kakaknya masih basah, jangan sampai terjadi pertikaian di sini. Rasanya kurang pantas. "Mas, kendalikan dirimu." Lisa berbisik dan membimbing Mario berdiri. Terlihat celana bagian lututnya berlumuran tanah. Sepatu hitamnya yang awalnya mengkilat juga jadi kotor sekali. Mario tak peduli. Bahkan rambutnya yang acak-acakan ia biarkan saja. Tapi bagian yang terpenting, ia memasang kembali kacamata hitamnya. Kacamata hitam itu sempurna untuk menutupi sebagian air mukanya. Lisa berdiri di samping Mario dengan tegang. "A--aku dari rumah sakit." Daniel tampak terengah-engah. Nafasnya terasa mau putus. Lisa merasa seperti orang lain di antara mereka berdua. Tapi ia tahu ia harus tetap ada di sini. Ia tak boleh pergi. Mario menatap
Read more
38. Rencana untuk Marsa
Mario meletakkan tangannya di kap mesin mobilnya. Seolah kalau ia tak berpegangan begitu tubuhnya akan roboh. Nafasnya terengah-engah seperti habis berlarian. Ya, nyatanya ia habis berlari dari sakit hati. Ia habis lari dari dirinya sendiri yang ingin mengayunkan kepalan tangannya ke muka Daniel. Ia lari untuk menghindarkan dirinya dari berbuat lebih buruk lagi. Lisa hanya mendampingi pria itu tanpa kata-kata. Ia menunggu sampai Mario bicara sendiri. Sungguh, ia tak perlu ditanya. Tak perlu disuruh sabar. Tak perlu diberi saran macam-macam. Cukup temani saja tanpa banyak tanya dan cakap. "Daniel pasti mengira aku semarah tadi karena dendam padanya soal kecelakaan itu. Suami mana yang tak marah istrinya meninggal karena naik mobil yang dikendarai orang ceroboh!" Mario mulai sedikit tenang. Kini ia berbalik badan dan sedikit menyandarkan tubuhnya di bagian depan mobilnya. Lisa berjalan menghampirinya. "Apa rencana kamu soal Marsa, Mas?" Lisa bertanya pelan. Mario menatapnya dengan
Read more
39. Umpatan Sakit Hati
Hening. Tangan Lisa memegang dengan kaku setir mobil milik Mario yang ia kendarai itu. Tidak ada musik apapun yang terputar di sana, membuatnya semakin gugup hingga suara nafasnya terdengar begitu jelas. "Marsa berhak tahu siapa ayah kandungnya, Mas," ucap Lisa. Dalam lubuk hati terdalamnya, inilah pendapat pribadi Lisa. Marsa berhak untuk kejujuran itu. Mario lalu menatap Lisa dengan tetapan sengit. Ia merasa Lisa tidak membelanya, tidak berada di sisinya. Lisa menyadari itu. Dilihatnya lampu merah masih menyala. Ia lalu menoleh ke arah Mario dengan tatapan bersalah. Perkataannya tadi seolah-olah menyiratkan kalau ia lebih membela Daniel daripada dirinya. Pantas Mario terlihat kesal. "Mas, maksudku entah apapun keputusan Mas terhadap situasi ini, Marsa yang paling berat terkena dampaknya. Dia berhak untuk tahu setelah ia dewasa nanti. Semalam diam-diam aku membaca seluruh chat, melihat isi galeri, dan menyelidiki semuanya lewat ponsel kak Risa. Karena aku tahu kamu tidak akan
Read more
40. Janji Aryo
Dengan baju yang masih kotor terkena noda tanah di pemakaman, Lisa berada di ruangan itu bersama Suster Ami. Suster Ami menatapnya dengan tatapan sedih sekaligus bingung. Ia tahu ia hanya perawat biasa dan tidak ada hak untuk ikut campur dengan masalah yang terjadi antara Mario, Lisa, dan entah siapapun itu dalam keluarga mereka. Tapi hati perempuan tua yang keibuan itu begitu peka. Ia tahu semuanya tidak berjalan baik-baik saja. Makannya wajah Lisa murung begini. "Bu Lisa jangan terlalu stres, ya. Saya kadang takjub dengan keadaan Ibu yang begitu berat. Kemarin Ibu kehilangan bayi, dan sekarang kehilangan kakak kandung. Tapi ASI Bu Lisa masih mengalir deras. Lebih dari cukup untuk Marsa beberapa hari ke depan. Mungkin ini keajaiban untuk bayi itu, Bu. Saya ingat betul saat pertama kali pak Mario membawa Marsa ke sini. Oh, tangannya begitu kurus. Badannya kecil, lemah, dan seolah tidak akan bertahan. Nafasnya putus-putus dan seluruh badannya ditempel alat-alat untuk membuatnya be
Read more
PREV
1234569
DMCA.com Protection Status