Semua Bab Tertawan Pesona Mantan: Bab 51 - Bab 60
128 Bab
51. Di Angkringan
Aku mengerjapkan mata berulang kali. Sadar jika setan dan bala tentaranya nyaris berhasil mengepung kami dalam kemaksiatan. Segera kutarik tangan dari genggaman Mas Alan.Lelaki tampan di depanku ini seperti mengerti dan juga mulai sadar jika dirinya telah terhipnotis bujuk rayu Dasim, setan yang punya tugas menghancurkan pernikahan anak cucu Adam. Mas Alan meraup wajahnya dengan kasar. Kalimat istigfar lirih kudengar dari bibirnya yang tipis. Aku pun melakukan hal yang sama, beristigfar dalam hati dan mengatur napas sebaik mungkin.“S-sorry, Kal. Mas terbawa suasana.”Aku mengangguk dan segera menelepon bagian food and beverage. Meminta dibuatkan cokelat panas kesukaan untuk menenangkan hati dan pikiran.Jika biasanya keakrabanku dan Mas Alan dulu akan membuat kita tertawa haha-hihi tanpa beban, tetapi berbeda dengan saat ini. Statusku adalah seorang istri. Aku harus menjaga batasan bercengkerama dengan lawan jenis, sekalipun itu masih terbilang family. Apalagi jika tadi ada seseoran
Baca selengkapnya
52. Siapa yang Cemburu?
Ya, hal yang sama juga sedang kupikirkan. Kenapa Nindi tidak dengan Mas Alan? Bukannya kemarin malam mereka sudah go publik hingga perkenalan dengan keluarga? Kenapa sekarang Kak Nindi malah jalan dengan pria lain dengan begitu mesra?Berbagai pertanyaan mulai berkecamuk dalam hati. Bukan, bukan aku cemburu. Mas Vino pasti berpikiran yang sama denganku.“Beneran itu Nindi?”Aku mengangguk. Tak lama setelah itu keduanya masuk ke sebuah mobil dan hilang dari pandangan.Aku segera merogoh dompet dan mengeluarkan pecahan uang warna merah. Menarik lengan suami tanpa meminta uang kembalian pada pemilik angkringan.“Mbak, jujule?” (Mbak, kembaliannya?)“Kersane, Pak, kagem njenengan mawon,” ucapku sopan pada seorang lelaki cukup usia.(Enggak pa-pa, Pak, buat Anda saja.)Melihat wajahku yang mungkin sudah tak enak dipandang dan tak mau didebat, Mas Vino hanya diam.“Cepat, Mas, ikutin mobil itu!”Suamiku hanya mengangguk seperti kerbau yang dicucuk hidungnya.“Punggungmu aman, kan, Mas? Atau
Baca selengkapnya
53. What? Soulmate Too Late?
Seminggu setelah perdebatan di kamar hotel kala itu, Mas Vino mengutarakan keinginannya pada mama dan papa untuk segera pulang ke Semarang dan membawa serta diri ini. “Kapan tepatnya, Nak?” tanya Papa. “Jika Papa dan Mama enggak keberatan, lusa kami berangkat.” Aku hanya menyimak tanpa mau mendebat atau menambahi. Biarkan, toh memang diri ini sudah sepenuhnya tanggung jawab suami. “Tentu saja Papa enggak keberatan. Kalila memang sudah menjadi tanggung jawabmu setelah ikrar suci pernikahan terucap dan disahkan.” Mas Vino tersenyum. “Makasih, Pa, Ma.” Mama pun hanya tersenyum walau aku bisa menangkap raut sedih dari wajahnya. Pasti Mama akan merasa kesepian. Ah, memang harusnya punya anak enggak hanya satu, apalagi anak perempuan pasti akan dibawa suaminya suatu saat nanti. Untuk masalah pekerjaan, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Toh, Jogja-Semarang bukanlah jarak yang terbilang jauh. Kami kembali ke kamar usai berbincang di ruang keluarga. Semenjak perdebatan di kamar hotel
Baca selengkapnya
54. Di Apartemen Mas Alan
Dadaku sudah panas sedari tadi, ditambah ucapannya yang menunjukkan betapa murahannya dia. Namun, aku masih bersikap tenang, tak ingin terpancing emosi. Usai mengucapkan kalimat menjijikkan itu, Nindi pergi menenteng tas branded-nya.Aku beristigfar lirih, menormalkan irama jantung yang berdetak cepat saat bayangan di lab semasa SMA terlintas kembali.“Mbak Kalila baik-baik saja?”Aku hanya mengangguk untuk menjawab pertanyaan Salma.“Maaf, Mbak, apa dia mantannya Pak Vino?”“Bukan, tapi dia perempuan yang sudah bikin aku sama Mas Vino salah paham sampai akhirnya kita terpisah cukup lama.”“Maksudnya ... Mbak Kalila sama Pak Vino dulunya memang pacaran?”Aku mengangguk.“Owalah, tertawan pesona mantan, Mbak? Baru tahu aku.”Aku tersenyum dan mencubit kecil punggung tangan Salma. Tidak banyak yang tahu masa laluku dan Mas Vino kecuali orang-orang terdekat saja. Dan Salma baru tahu hari ini. Aku menengok jam di pergelangan tangan. Sudah hampir Magrib.“Sal, bisa temani aku ke apartemenn
Baca selengkapnya
55. Khilaf (PoV Alan)
Entah angin apa yang membuat Kalila datang ke apartemenku. Terkejut? Sudah pasti. Bahagia? Tepat sekali. Ini kali pertama kerabat yang sudah kuanggap layaknya adik itu datang tanpa teman. Biasanya dia berdua dengan asistennya, pernah juga sama mamanya. Namun, kali ini kenapa datang sendiri? Berani sekali dia menghampiri kandang Singa yang sudah lama mengincar kelinci?Aku terus mengingatkan diri untuk selalu menjaga Kalila. Kami dibesarkan bersama-sama, walau saat itu usiaku sudah dewasa dan dia masih beranjak remaja. Ketulusan Om Nazeem dan Tante Mirna tak akan kusia-siakan. Mereka adalah orang tuaku, jadi Kalila adalah adikku.Akan tetapi, kebersamaan kami yang setiap waktu sering berinteraksi memunculkan rasa aneh dalam diri ini. Senyumnya, tingkah manjanya, kecerdasannya, serta wajah ayunya berhasil membuatku menyimpan rasa yang berbeda. Ya, aku mulai menyukainya, jatuh cinta.Kalila dewasa begitu memesona. Terlebih saat dia diangkat menjadi direktur utama Grand Adiwilaga Hotel an
Baca selengkapnya
56. Masih Shock
Aku berlari ke arah toilet dan membasuh wajah dengan air dari kran wastafel. Menghapus air mata dan menghilangkan jejak-jejak kekurangajaran Mas Alan di sana. Bisa-bisanya dia mencuri ciuman dariku. Bisa-bisanya dia nekat mengungkapkan isi hatinya kepadaku.Kutatap lamat-lamat wajah di kaca. Mengembuskan napas dan mengelap wajah ini dengan tisu. Jangankan bermain api, didekati api pun aku enggan. Setia itu mahal. Jangan pernah ajari aku tentang pengkhianatan. Wanita mahal tak akan mau disentuh lelaki yang bukan mahram.Semua kekagumanku kepada Mas Alan selama ini lenyap seketika. Tidak ada yang melarang jatuh cinta, tetapi mengertilah dan sebaiknya mundur jika cinta itu akan merusak pasangan halal yang tengah berbahagia. Kenapa Mas Alan masih nekat bilang cinta dan ... berani-beraninya dia menyentuh apa yang tidak halal untuknya?Segera aku menelepon Salma.“Ya, Mbak?”“Kamu ambil mobil, ya, Sal. Aku tunggu di depan lobi. Kita ke masjid terdekat dulu, aku mau salat Magrib.”“Oh, oke,
Baca selengkapnya
57. Pengakuan Mas Alan
Mas Vino mengurai pelukan dan menangkup kedua pipi ini dengan tangan kekarnya. Menghapus air mata yang menjejak bak air hujan di jendela kaca.“Sudah, Sayang. Enggak apa-apa. Anak kucingnya sudah dikubur,” ujarnya lembut dengan menampilkan senyum.Untung kalimat pengakuanku tadi hanya terucap dalam hati saja. Aku tidak akan mengadu pada siapa pun tentang keberanian Mas Alan selain kepada Tuhan. Biarlah rahasia ini kusimpan rapat-rapat. Jika mampu, akan kupendam sendiri hingga akhir hayat.Bukan ingin melindungi Mas Alan, tetapi aku tak mau jika papa dan mama akan membencinya. Dia hidup sebatang kara. Kami adalah keluarganya. Mungkin dengan nomornya yang sudah kublokir akan sedikit menamparnya, bahwa adik manisnya ini bukanlah wanita kebanyakan.“Mmm, kalau gitu saya pamit dulu, Bu Kalila, Pak Vino,” ujar Salma. Panggilannya sudah kembali ke mode formal, mungkin tidak enak dengan Mas Vino.Aku menoleh. “Makasih, Sal. Maaf, enggak jadi nganterin kamu pulang.”“Enggak pa-pa, Bu. Saya sud
Baca selengkapnya
58. Vino Terlalu Aktif
Di sinilah aku saat ini. Masih di bawah kolong langit yang sama, tetapi di daerah yang berbeda. Sudah tiga hari aku hidup seatap dengan mertua setelah Mama, Papa beserta Pak Narto ikut mengantarkan aku dan suami ke kota Lawang Sewu. Sepasang tangan memeluk hangat pinggangku dari belakang. Aku menoleh hingga hidung bangir itu langsung bertabrakan dengan hidungku. Senyum kami merekah seketika.“Betah, kan, tinggal di sini?”Aku mengangguk dan kembali menghadapkan wajah ke depan. Kini, dagu Mas Vino ia tempelkan di atas bahuku sebelah kanan. “Eh, hampir lupa. Aku belum tahu nomor rekeningmu.”Keningku berkerut. “Buat apa?”Mas Vino melepas pelukan dan mengambil ponselnya. “Catat nomor rekeningmu, Yang!” perintahnya dengan menyodorkan HP pintarnya.Tanpa berlama-lama, langsung kuketik nomor rekeningku. Beberapa saat Mas Vino tampak mengutak-atik ponselnya hingga terdengar sebuah notif dari ponselku di dekat sofa balkon.Aku mendekat dan meraih benda pintarku. “150 juta?” Sebuah nomina
Baca selengkapnya
59. Calon Adik Madu?
"Aku mau keliling. Boleh?” “Boleh, dong. Minta temani karyawati, ya? Biar sekalian bisa nunjukin kamu tentang apa saja yang ada di sini.” “Hmm, boleh.” Aku berjalan lebih dulu saat Mas Vino memanggil salah satu pekerjanya untuk menemaniku. Pemandangan di sini tak kalah indah dari Jogja. Segar dan memukau. “Hai!” sapaku ramah pada seorang wanita cantik yang mulai mengikutiku langkahku. Dia hanya menunduk sopan menjawab salam perkenalanku. “Sudah lama kerja di sini?” “Alhamdulillah, masuk tahun kedua, Bu.” “Betah berarti, ya?” “Alhamdulillah, Bu.” Aku melihat sebuah area di mana banyak binatang dan spot-spot bermain untuk anak-anak. “Di sini ada mini zoo-nya juga, ya?” tanyaku. “Benar, Bu.” Aku hanya mengangguk-angguk dan tersenyum saat melihat beberapa anak ditemani orang tua mereka sedang memberi makan kelinci dan merpati. Ada juga yang tengah berselfie dengan anggota keluarganya di spot-spot foto yang tersedia. Belum lagi wahana kolam renang yang menjadi musabab suara ana
Baca selengkapnya
60. Badanku Kenapa?
Senyumku perlahan memudar sesaat setelah gadis ayu itu mengucapkan kalimat menohok yang terasa meremas segumpal daging dalam dada ini. Raut wajah mertua Ratu tampak pias. Jelas sekali mereka menyayangkan perkataan salah satu dari putrinya.“E-eh, maaf Nak Kalila. Si Gendis ini memang suka bercanda. Iya, kan, Pak?” Istri Om Warman terlihat tak enak hati.“Gendis, kalau bercanda tahu tempat, Nak,” tambah sang bapak memperingati.Gadis ayu itu hanya mengembungkan pipinya. Sementara kakaknya tetap menatapku dengan aura permusuhan. Ada apa dengan mereka?“Gendis kalau bercanda sama Vino memang begitu, suka kebablasan. Tapi emang cuma guyon, kok. Enggak perlu dipikirkan.”Aku berusaha tenang walau hati mulai berang. Dalam perjalanan pulang, kami saling diam. Sedikit pun Mas Vino tak ingin memulai percakapan. Entah karena ucapan si Gendis memang tak perlu dipikirkan atau Mas Vino menyimpan sesuatu yang memang belum diceritakan.Sebisa mungkin aku menekan emosi. Namun, entah kenapa tubuh dan
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
45678
...
13
DMCA.com Protection Status