Все главы Dijatah Lima Juta: Глава 21 - Глава 30
57
Lila yang malang
"Bagaimana Ma? Apa Mama masih menyangkalnya?" tanyaku, tersenyum sinis. Merasa ada bantuan yang datang, mama mas Umar yang tadinya gugup sekaligus takut. Seketika menatapku garang. Beliau bahkan beberapa kali mendesah kesal. "Ini ada apa sebenarnya Ma? kenapa Dila bisa ada di sini?" tanya mas Umar, terlalu penasaran dengan apa yang terjadi. "Mana Mama tau. Tanyakan saja sama janda ini! Datang ke rumah orang pagi-pagi buta, lalu marah-marah tidak jelas. Apa setelah dicerai Umar, otak kamu sedikit bergeser dari tempatnya?" cibir mama mas Umar. Memang hebat sekali mama mas Umar ini. Aku akui, dia memang hebat memainkan peran. Andai saja dia seorang artis, mungkin dia akan bisa menipu banyak orang dengan citranya. Atau malah jadi pemain sinteron yang terkenal, karena terlalu hebat memainkan peran. "Aku tidak seperti itu Ma! Bahkan aku bahagia sekali dan sangat bertambah waras setelah bercerai dengan putra Mama. Aku ke sini karena Mama
Читайте больше
Gengsi dan gaya hidup
Emosi mas Umar sepertinya meledak mendengar kata-kataku. Tangannya dengan cepat terangkat meraih kerah piyama Lila. "Apa semua itu benar La? Kamu benar bermain gila di luar sana? kenapa La?" teriak mas Umar di depan wajah Lila. Mendapat teriakan seperti itu dari kakaknya. Tentu saja Lila merasa ketakutan. Tanpa menjawab atau menjelaskan. Ia malah menjatuhkan tubuhnya dan bersujud di kaki Umar sambil menangis meraung-raung. "Berdiri kamu La! Kamu ini kenapa? Jadi yang janda ini katakan benar? apa kamu sudah gila?" bentak mama mas Umar, menarik bagian belakang piyama Lila. "Aku minta ampun, aku tidak berniat melakukan itu!" Tangis Lila terdengar sangat menyedihkan. Ada rasa tidak tega melihat gadis muda itu meraung. Tapi mau bagaimana lagi? Aku sudah mencoba menahannya. Tapi dia malah semakin menjadi-jadi mengataiku. Terima saja balasannya! Aku bukan Dila yang dulu lagi. Aku tidak akan tinggal diam, jika ada orang lain berani mengin
Читайте больше
Ancaman Lila
Aku mendongak melihat ke arah samping. Siapa pria yang begitu familiar dan sudah menyebutku kumat? "Apa maksud and..." Kata-kataku terhenti, saat menyadari pria yang kini tengah tersenyum ke arahku. Mataku terbelalak. Bisa-bisanya aku bertemu dia di tempat seperti ini. "Firman," pekikku. "Hahaha... Iya, ini aku Dil. Kamu kenapa? Kamu pasti mau marah kan tadi?" tebak Firman, tertawa. Wajahku memerah. Aku memang akan memarahi orang yang sudah berani mengataiku tadi. Tapi semuanya sirna, saat mengetahui Firman lah orang itu. "Hem, sedang apa kamu di sini Fir?" tanyaku, terdengar ketus. "Jangan marah dong Dil! Aku kan cuma bercanda. Aku sedang menemani..." "Mas! Bantu aku dong!" Belum selesai Firman bicara, seorang wanita muda dengan tubuh langsing dan tinggi semampai lebih dulu memotongnya.Wajahnya terlihat cantik, dan juga putih bak porselen. Sangat serasi jika berdampingan dengan Firman.
Читайте больше
Kiriman uang
Terdengar suara melengos dari seberang telepon. Keadaan hening sejenak, sebelum akhirnya suara melengking dari mama mas Umar memekakkan telinga. Dengan cepat aku menjauhkan ponsel dari daun telinga. "Tidak mungkin Lila mengusik kamu! Lila itu gadis baik-baik. Dan, soal ancaman itu Bisa saja kamu mengada-ada ingin menjatuhkan Lila. Kamu memang tidak suka kan sama Lila? Kamu tidak menyukai keluarga kami. Dasar janda licik!" Aku terperangah mendengar tuduhan mama mas Umar. "Dulu aku suka dengan keluarga kalian. Tapi sekarang tidak lagi. Aku akui, aku memang kesal dan marah. Tapi aku tidak sejahat dan selicik itu! Aku tidak mungkin mengada-ada soal pesan ancaman itu. Kalau Mama tidak percaya, bagaimana kalau kita menceknya ke kantor polisi langsung? Mereka tentu saja bisa memecahkan masalah ini dengan mudah, apa pesan itu hasil rekayasa ku atau bukan?" tantangku tidak terima dituduh. "Dan satu lagi, Lila itu bukan gadis yang baik. Apa ada
Читайте больше
Ada apa dengan janda?
Hari ini aku mulai kembali kerja. Waktu liburku habis sia-sia karena harus mengurusi masalah yang dibuat oleh mama mas Umar dan adiknya. Cukup lama aku menyalakan motor, tapi motorku tak kunjung menyala juga. "Kalau seperti ini terus, bisa-bisa aku terlambat nanti. Lebih baik aku tunggu angkot saja di depan," batinku, dengan cepat menutup dan mengunci pintu rumah. Sama seperti hari biasanya, sudah jadi kebiasaan para ibu-ibu untuk berkumpul di depan teras salah seorang tetangga. Aku berjalan tergesa-gesa melewati kumpulan ibu-ibu itu. Hanya anggukan dan senyuman yang aku lemparkan untuk mereka yang menyapaku. "Kenapa jalan kaki mbak Dila? Motornya ke mana?" tanya salah seorang ibu. "Biasa lah Bu Mini, paling mbak Dila dijemput calon gebetan baru. Kan statusnya janda, jadi diantar jemput deh," sindir ibu yang berbadan tambun. Aku tidak menanggapi kata-katanya. Tidak penting dan hanya membuang waktu saja. "Mogok Bu. Kalau b
Читайте больше
Membuat perhitungan
Beberapa staf satu divisiku mulai mendekat. Mata mereka menatap dalam ke arahku. Dipandangi seperti itu, nyaliku seketika langsung menciut."Ada apa?" tanyaku gugup. "Benar kamu janda?" tanya seorang pria, teman satu divisiku. Tanpa bisa menjawab, aku hanya mengangguk tanda mengiyakan. "Wah, kalau benar janda. Bisa dong Abang mendekat?" ujar pria yang aku ketahui bernama Imran. Amel langsung memukul pundak Imran keras. "Ingat anak istri di rumah Ran! Dasar buaya cap kaleng!" celetuk Amel. Aku terkekeh mendengarnya, sedangkan yang dipukul malah nyengir tidak jelas. "Masa sih kamu janda Dil? Em, maksudku, secara kan usia kamu kelihatan masih muda begitu. Kapan nikah dan cerainya?" tanya Vilia, teman divisi yang duduk di seberangku. Aku tidak menjawabnya karena Firman tiba-tiba saja masuk ke ruangan kami. Melihat Firman datang, teman-temanku langsung bubar dan duduk di kursi mereka masing-masing.
Читайте больше
Lila kena batunya
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Entah keberuntungan dari mana, sepulangnya aku dari kantor. Aku memutuskan pergi ke minimarket, dan di situ aku melihat seorang pria dan wanita paruh baya saling bergandengan tangan mesra. Ya, tidak salah lagi. Itu pria yang sama, kekasih Lila--adiknya mas Umar. Melihat mereka dari kejauhan, aku menyeringai memikirkan rencana pembalasanku. "De, tunggu di sini sebentar. Mas mau angkat telpon dulu!" ujar pria itu, menjauh. Senyum kemenangan terbit di wajahku. Dengan langkah pasti aku mulai mendekati wanita paruh baya itu. "Permisi Bu," sapaku, mengulas senyum ramah. Wanita paruh baya itu menoleh ke arahku. Keningnya saling bertaut, melihat orang asing sepertiku. "Iya, ada apa ya?" tanyanya. Sebelum melancarkan aksiku, aku menengok mengamati sekitar. Dalam hati ini terus saja berdoa, semoga suami perempuan itu tidak cepat kembali. "Ada apa Mbak?" tanya wanita itu lagi, penas
Читайте больше
Debt collector
Untuk sepersekian detik semuanya terdiam, kini rasa syok dan terkejut sudah berlalu. Melihat putrinya ditarik paksa oleh istri sah sang kekasih. Mama mas Umar gegas merangsek maju menarik tangan Lila yang satunya. "Lepaskan! Apa maksud kamu menarik dan menjambak anak saya, hah? Dasar wanita tidak waras," maki mama mas Umar, berapi-api. Istri sah kekasih Lila tidak mempedulikan makian yang keluar dari mama mas Umar. Ia terus berjalan menjauh sampai hampir tiba di pintu pagar halaman. Lila yang ditarik paksa terus menjerit dan memaki. "Diam! Sekarang saya akan membuat kamu merasa malu karena sudah berani jadi duri di rumah tangga saya. Dasar jalang sialan!" umpat istri sah yang aku ketahui bernama Karmila. Mas Umar berlari mengejar sang adik, sedangkan Liana seperti biasa hanya menjadi penonton atas kekacauan di keluarga itu. "Lepaskan adik saya! kita bisa bicarakan baik-baik Bu!" ucap mas Umar, kini sudah merentangkan kedua tangan
Читайте больше
Lamaran Firman
Semua tugas atasan sudah aku kerjakan. Beberapa hari ini Firman jarang sekali terlihat. Entah aku yang tidak melihat keberadaannya, atau dia yang memilih menghindar jika melihatku. Awalnya aku merasa acuh dan menganggap itu tidak penting. Tapi, di sudut hatiku merasa ada yang aneh dengan menghilangnya Firman. Seperti ada sesuatu yang hilang. Mungkin hilang dalam artian teman. "Dil, sudah waktu pulang nih. Kamu mau di sini aja?" tanya Amel membuyarkan lamunanku. Aku menggeleng cepat. Mana mungkin aku mau di sini sendirian. Suasana kantor yang sudah sepi, membuat nyaliku menciut juga. "Eh, tunggu aku Mel! Aku beres-beres sebentar," pintaku, gegas membereskan semua meja kerjaku. Kami berdua berjalan beriringan keluar ruangan. Hari ini hari pertamaku lembur di kantor ini. Saat keluar dari kantor, langit yang tadinya masih terang, kini sudah berubah jadi gelap. Bintang-bintang bertaburan menghiasi langit yang cerah. "Dil, a
Читайте больше
Penjelasan Firman
"Ehem, Dil," Suara panggilan Firman membuyarkan keheningan yang tadi sempat tercipta. Aku merapatkan ponsel ke arah telinga dan menggenggamnya sedikit erat. "Ya," jawabku singkat. Hening... Suasana kembali hening seperti semula. Firman menghentikan kata-katanya. Tapi, aku juga enggan memulainya. "Maaf," ucap Firman lagi. Begitu singkat kata-kata yang keluar dari mulut kami. "Maaf? Karena apa?" tanyaku, mengernyitkan keningku. "Maaf karena aku datang ke rumah orang tua kamu tanpa memberitahu kamu dulu," ujar Firman, ada nada penyesalan yang aku dengar dari sini. Kali ini aku terdiam. Firman mengakui semuanya. Ia datang ke rumah orang tuaku tanpa pemberitahuan, setelah semuanya terjadi, baru memberitahuku. Ada sedikit rasa kesal juga, sekaligus bahagia. Bukan bahagia karena sudah dilamar. Bahagia karena Firman seorang pria gentleman. Jarang sekali aku menemui pria seperti dia, bahk
Читайте больше
Предыдущий
123456
DMCA.com Protection Status