“Mas, kamu tuh ngurus bisnis yang di mana lagi sih, Mas?” tanya Sarah.
Dimas yang baru pulang, sedikit mengerutkan keningnya. Tumben istrinya ingin tahu perihal bisnisnya. Dulu, saja saat masih di ujung kehancuran, Sarah tak mau tahu. Dia memilih bekerja di tempat lamanya dengan gaji yang menggiurkan. Meski sebenarnya Dimas memang melarangnya, karena gengsi tak mampu membayar mahal. Dimas memilih membayar karyawan muda yang baru lulus, yang belum mengenal banyak uang, hingga gajinya tak terlalu mahal.
“Mas, apa boleh aku pindah kerja di tempatmu saja. Aku malas sekantor sama Adit. Kamu tahu kan, dia masih saja mengangguku,” adu Sarah.
Dimas manatap Sarah lekat. Benarkah Aditya masih menganggunya? Bukannya justru saat Sarah pendarahan, Aditya yang pertama datang menolongnya?
Sejak Sarah di rumah, memang Dimas sudah jarang bicara berdua dengan Aditya. Mereka hanya bertemu di ruang makan saja. Itu pun hanya bicara s
“Bu Sarah, Pak Dimas sudah di ruangan. Silahkan jika hendak menemui. Ruangannya di lantai 17,” tukas resepsionis dengan sopan. Gadis itu mendekat ke sofa dimana Sarah duduk sambil membungkukkan badannya. Setelah mengangguk dan mengucapkan terimakasih, Sarah melangkah ke lift. Wanita itu tetap saja tak dapat menutupi kegundahannya. Berulang dia menghela napas. Dia harus mampu bersikap biasa saja jika ingin mengungkapkan kecurigaannya. Namun, tetap saja dia berharap, kecurigaannya tak berkenyataan. Dimas adalah pria yang baik, meski Sarah sering merasa bosan dengan kebaikan yang cenderung berlebihan. Memang, akhir-akhir ini, Dimas sering keluar dan sangat sibuk. Alasannya adalah mengembangkan bisnis. Meski kenyataannya sekarang jauh lebih baik. Beberapa kali memang Dimas mengajak Sarah pindah rumah, tak lagi tinggal dengan orang tua Dimas yang sempit. Di rumah orang tua Dimas, tidak ada p
Baru dua hari Aditya pindah ke apartemen baru yang di sewanya. Lokasi apartemen itu tak jauh dari kantor Aditya. Namun, tetap harus dengan motornya jika tak ingin berkeringat, meskipun dengan jalan kaki juga tak jauh. Ternyata, meskipun di rumah jarang ngobrol karena Aditya kerja dan Intan kuliah. Paling hanya sore mereka ketemu, dua hari ditinggal, membuat Intan merasa sepi. Tak ada lelaki yang dapat diledeknya. Meski dingin kayak kulkas dan sulit memaksakan pendapat padanya, tetap saja Intan merasa ada yang hilang. Hari itu, seharian Intan mencoba menghubungi Aditya, namun tak ada balasan sama sekali. Pesannya hanya contreng satu. Ditelepon juga tidak diangkat. Intan mendesah kesal. Kemana saja sih, Mas? Percuma saja punya ponsel bagus, kalau pesan tidak dibalas, telepon tidak diangkat, dengus Intan. Bahkan, Intan baru ingat jika dia tak tahu nama kantor ataupun lokasi di mana Aditya bekerja. Selama ini, dia hanya percaya saj
Sarah menatap kertas di tangannya tak percaya. Sementara, Mita tak berani merebutnya takut robek. Mita heran, selama ini tak ada pegawai yang lancang mengambil berkas pegawai lain saat dia sedang mengerjakannya. Itu adalah berkas laporan status perkawinan Aditya yang sedang dibukukan oleh Mita. Aditya baru saja memberikan copy buku nikah untuk mengubah status administrasinya di kantor, setelah menimbang kebenaran apa yang dikatakan Intan. Bahwa menikah itu tak boleh di sembunyikan, meski dia masih enggan juga membuka statusnya pada teman kantornya. Dengan bergetar, Sarah meletakkan kembali kertas itu ke meja Mita. “Aku nitip ini buat Pak Hanafi,” ujar Sarah sambil meletakkan berkas dokumen miliknya di meja Mita. Ia segera cepat berlalu. Hatinya kacau. Sarah benar-benar tak menyangka jika Aditya telah menikah. Bahkan, tanggal pernikahannya lebih dulu dari tanggal pernikahannya. Yang lebih Sarah tak habis mengerti, mengapa gadis ingusan itu yang lebih dipilih Aditya dibandin
Bu Handoyo menghela napasnya. “Kenapa Mbak Sarah, Ma?” tanya Intan kemudian. Meskipun hatinya kesal, namun di hadapan mertuanya, Intan tak ingin menunjukkan kemarahan. Karena Sarah pun juga menantu Bu Handoyo. Posisinya sama. Apalagi akhir-akhir ini, Bu Handoyo sudah menampakkan penerimaannya terhadap Sarah. Itupun juga atas andil Intan. “Entahlah, Ndhuk. Mungkin ada salah paham dengan Mas Dimas. Biar saja,” tukas Bu Handoyo. Wanita yang sudah makan asam garam kehidupan, tidak heran dengan perlakuan orang kaya yang suka menuduh, bersahabat hanya karena harta. Itu pula yang membuatnya dulu keberatan saat Aditya dekat dengan Sarah. Takut kalau kelak di kemudian hari, Sarah hanya akan mengungkit kontribusi hartanya dalam rumah tangga mereka. “Ya sudah, kamu jadi ke tempat Masmu atau tidak?” Bu Handoyo tiba-tiba mengingatkan menantunya saat sebuah taksi yang dipesan Intan sudah berhenti di depan rumah. Meski dada wanita puruh baya
Akhirnya bergegas Intan mengetuk pintu. Belum ujung buku jarinya menyentuh pintu, tiba-tiba pintu terbuka.Tampak pemuda dengan baju yang kancingnya tak beraturan sedang membuka pintu.Intan menatap Aditya penuh curiga, seraya mengerutkan dahinya.“Aku lagi mau mandi. Baru buka baju sudah ada orang ngebel nggak sabar,” gerutu Aditya sambil melebarkan pintu, menyuruh Intan masuk. Lelaki itu lalu bergegas kembali ke dalam, sementara Intan menutup kembali pintu.Intan menarik nafas lega. Senyum mengembang di bibirnya.Ternyata Mas Adit sendirian. Benarkan apa kataku, dia tak akan berani macam-macam, guman Intan dalam hati.“Kenapa sih, pake nyusul segala? Kan Aku sudah bilang, kalau weekend nanti aku pulang,” ujar Aditya kesal seraya masuk kembali ke kamar mandi.Intan mengerutkan keningnya lagi. Berpikir keras.Bukannya tempo hari dia bilang, kal
“Mas, tahu nggak sih. Mbak Sarah kemarin marah-marah ke mama.” Intan membuka percakapan seraya membuat omelet di dapur mini milik Aditya. Untungnya Intan ingat membeli telor di supermarket sekalian roti tawar. Biasanya Aditya hanya akan makan di kantin kantornya sembari minum kopi. Pantas saja dapur bersih. Bahkan, perlengkapan perang saja hanya ada pan buat bikin omelet dan pan untuk mie instan. Itupun masih kinclong karena jarang digunakan. Aditya duduk di kursi yang ada di minibar, yang posisinya bersebalahan dengan Intan yang tengah memasak omelet. Lelaki itu menyesap kopi buatan Intan. Sejak pindah ke apartemen, dia sudah tak lagi minum kopi buatan rumah. Tak dipungkiri, kopi buatan Intan memang istimewa. Takaran kreamer, kopi dan gulanya yang pas, meski tidak dibuat dengan coffeemaker seperti di salah satu stand di kantinnya. “Kenapa marah?” timpal Aditya seraya meletakkan sendok bekas adukan kopi di piring kecil yang menjadi alas cangkir kopinya. Intan meletakkan piring
Pagi itu Sarah sudah duduk di kursi kerja Aditya. Dia sengaja datang sebelum Aditya datang. Banyak rencana ada di kepalanya. Salah satunya, yang akan dikerjakan hari itu. Rahasia besar Aditya harus terbongkar di depan teman-temannya. Sarah ingin, kepercayaan teman-teman Aditya mulai pudar. Hari itu adalah hari terakhir bagi Sarah ke kantor sebelum dia pindah ke kerja di kantor milik keluarganya. Keputusannya sudah bulat. Dia tak ingin kehilangan apa yang telah menjadi miliknya. Dan ini adalah saat yang tepat untuk menemui Aditya. “Sarah?” Mata melebar Aditya saat masuk ke ruangannya. Bibirnya bergumam saat menyadari siapa yang tengah duduk di kursi kerjanya. Hampir semua mata menatap ke arah Aditya. Sebagian dari mereka menanti apa yang akan terjadi. Sarah yang terlihat tak sabaran, dan Aditya yang baru masuk ruangan. Tak seperti biasanya, pemuda itu datang lebih siang. Hari itu, dia harus mengantar Intan ke stasiun, meski sebenarnya Intan bisa disuruh berangkat sendiri. Jika bi
“Kena kamu, Mas!” guman Sarah sambil berjalan mendekat ke posisi Dimas yang sedang berdiri sambil bersedekap di meja kerja Hana, salah seorang staf keuangan. Sesekali badannya condong ke arah computer di depan Hanna dan telunjuknya menunjuk ke layar computer itu.“Mas….!” panggil Sarah saat posisinya sudah dekat di mejaHana.Dimas hampir saja terlonjak kaget karena tak menyadari kedatangan Sarah. Namun, segera di dapat mengendalikan dirinya. Begitu juga dengan Hana. Gadis itu tak tahu siapa yang tiba-tiba mendekati atasannya.“Kamu datang?” tanya Dimas retoris.Sarah menatap Dimas dan Hana bergantian. Pandangannya tajam, seolah penuh selidik. Namun, Dimas segera menyadari situasi. Agar tidak menimbulkan kehebohan, buru-buru dia ajak Sarah ke ruangannya.“Hana, ikut kami,” perintah Dimas pada stafnya. Dimas tak ingin ada prasangka antara Sarah dan Hana.