All Chapters of RAHASIA IBU: Chapter 21 - Chapter 30
90 Chapters
Bab 21
Aku sudah menceritakan pada Bik Inah bahwa akan berhenti bekerja beberapa hari lagi. Perempuan paruh baya itu pun mengerti alasanku. Bik Inah akan menjadi perantara untuk menyampaikan pada Nyonya Jovita. Aku tak tahu bagaimana Kevin menjelaskan pada mereka. Semua tampak biasa-biasa saja, bahkan mereka tak pernah bertanya bagaimana keadaanku. Baik Nyonya Jovita ataupun Tuan Amar, tak ada yang meminta maaf atas kejadian kemarin. Memang bagi sebagian orang meminta maaf itu adalah hal yang paling sulit, padahal dengan maaf bisa menghapus dosa. “Wulan, ada lowongan pekerjaan di pabrik, syaratnya lulusan SMA. Berarti kamu bisa daftar, Lan,” ucap Dewi memberitahukanku melalui telepon. Aku memang memintanya mencarikan lowongan pekerjaan di pabrik mana saja. Walaupun tak satu pabrik dengan Dewi, setidaknya kami bisa berdekatan. Aku tak pernah menceritakan pada Dewi apa yang kualami selama ini. Lagi pula, ia tak kenal dengan Ayah. Dulu Dewi adalah teman berbagi duka, sekarang aku punya Pak
Read more
Bab 22
Kumanfaatkan hari-hari terakhir di rumah ini dengan menatap Ayah sepuasnya, dan mencuri gambarnya. Dengan pura-pura sedang bermain handphone, kuambil foto Ayah saat memakai pakaian kerja hingga memakai celana pendek dan kaos oblong. Pesonanya begitu luar biasa. Ia terlihat tampan, dengan kulit putih dan bersih. Pantas saja Ibu dan Nyonya Jovita mencintainya.Kutatap laki-laki yang turun dari tangga dengan dada bergemuruh. Aku bahagia bisa menatap wajahnya yang telah lama kurindukan, tetapi aku juga kecewa ketika mengetahui fakta ia tak sebaik cerita Ibu. Setelah keluar dari rumah ini, aku akan mengajak Ibu untuk melupakannya, tentang cinta, dan juga janji yang tak akan pernah ditepati.“Wulan, besok Ibu akan berangkat ke Tangerang menemuimu. Beberapa hari ini perasaan Ibu tak enak. Ibu takut terjadi apa-apa. Hanya Wulan yang Ibu punya,” ucap Ibu di ujung telepon.“Iya, Bu. Besok Wulan akan berhenti bekerja. Nanti Wulan jemput Ibu di stasiun. Kita akan menginap sementara waktu di indek
Read more
Bab 23
Aku semakin cemas. Jika ia membuka galeri itu lebih jauh, maka foto Ibu akan muncul di sana. Namun tidak, ia hanya melihat foto yang aku ambil sebulan terakhir.Nonya Jovita tampak tak suka, kemudian menghampiriku. “Kamu menyukai suami saya?” Aku menggeleng.“Lalu, kenapa kamu simpan foto suami saya? Jawab!” Aku menatap laki-laki itu, kemudian kembali menunduk. Tak lama sebuah cekalan tangan meremas daguku dan memaksa untuk mendongak menatap perempuan itu.“Kamu mencintai suami saya?”Aku menggeleng.“Lalu, kenapa foto-foto suami saya ada di sini?”Aku hanya terdiam. Perlukah aku jujur? Jika itu aku lakukan, pasti akan membuat kaget semua. Apakah Tuan Amar akan mengakuiku sebagai anak, atau malah menyerangku dengan tuduhan palsu?Tangan perempuan itu mengepal, emosinya begitu terlihat menatapku tajam. Plak! Sebuah tamparan melayang, kemudian dilanjutkan dengan jambakan pada kerudungku. “Beraninya kamu ambil foto suami saya! Untuk apa? Atau jangan-jangan ... kamu ingin guna-guna sua
Read more
Bab 24
Seorang laki-laki paruh baya sudah berada di kantor polisi sebelum aku datang. Ternyata dia adalah pengacara Nyonya Jovita. Jantungku berdegup kencang, ketika mendengar laporan itu sudah masuk dan perintah penyidikan pun dimulai. Aku dijerat dengan pasal 335 tentang perbuatan tidak menyenangkan. Petugas mulai menginterogasi dengan memberondong beberapa pertanyaan. Lidahku kelu, ketika mereka mempertanyakan alasan mengapa aku mengambil foto Tuan Amar tanpa izin. Aku hanya bisa menunduk dengan mulut terkunci. Walaupun Tuan Amar tak pernah menganggapku anak, tetapi aku berusaha untuk menyelamatkan kebahagiaannya dengan tidak mengungkap identitas dan alasan perbuatanku itu. Bayangan terkurung beberapa bulan dan dinginnya penjara mulai menghantui. Di usia yang masih remaja, haruskah aku merasakan hidup sebagai seorang tahanan?“Kenapa diam? Jawablah. Semakin saudari bungkam, maka akan menyulitkan saudari sendiri,” ungkap seorang petugas. Pengacara Nyonya Jovita tak henti menatapku. Laki-
Read more
Bab 25
“Wulan.” Suara Ibu bergetar memanggil namaku. Perempuan yang kurindukan itu datang, kemudian memelukku erat. Tangisku pecah menatap buliran bening yang mengalir di pipinya. Pak Arya dan Pak Sandi meninggalkan kami berdua. Mereka mendatangi petugas dan pengacara Nyonya Jovita. Aku tak tahu apa yang mereka bicarakan. “Kenapa bisa begini, Nak?” tanya Ibu dengan tangis tak terbendung. Perempuan itu mengambil ujung rambutku yang pendek dengan tangan bergetar, kemudian beralih mengusap air mataku yang jatuh tak henti. Ibu membuka tas yang ia bawa, kemudian mengeluarkan sebuah kerudung dan memakaikannya padaku. “Ibu sudah makan?”Perempuan itu mengangguk, dan kembali memelukku. “Siapa yang melakukan ini semua, Nak? Kenapa wajahmu terluka, dan rambut terpotong? Kesalahan apa yang telah Wulan lakukan?” Aku menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Genggaman tangan Ibu terasa hangat dan menenteramkan. “Ibu masih mendoakan Ayah?” Ibu melepas pelukan. Dahinya mengernyit mendenga
Read more
Bab 26
Pak Arya memegang pundakku. Aku memeluknya, layaknya seorang anak yang mengadu pada ayahnya. Aku menangis keras, tak kuhiraukan di mana aku berada dan berapa banyak tatapan mata yang melihat. Aku hanya butuh tempat bersandar untuk mencurahkan semua kepiluan ini. Pak Arya mengusap punggungku lembut, seperti mengalirkan kekuatan agar aku bertahan dan kuat menghadapi ujian kehidupan. Puas mencurahkan semua, aku melepaskan pelukan dan mengusap air mata di pipi. Tatapan Ibu tampak sendu dengan tangis tak terbendung, sementara dia, orang yang enggan kupanggil ayah hanya menatap tanpa berani berbuat apa-apa. Aku lemah, tubuh seperti tak bertulang. Pak Arya segera membopongku ke mobil diiringi Ibu. Hati kami sama-sama hancur. Hanya saja, Ibu sudah 18 tahun mempersiapkan diri. Pak Arya duduk di depan mengendarai mobil, sedangkan aku dan Ibu duduk di belakang. Sepanjang jalan, kami menangis bersama mengeluarkan sesak. Laki-laki itu hanya diam, seperti memberikan waktu bagi kami untuk menang
Read more
Bab 27
Setelah makan malam, kami duduk di ruang keluarga. TV layar datar menyala, menampilkan film asing yang tak berselera untuk di tonton. Aku tak suka menonton televisi, apalagi Ibu, karena selama ini sibuk dengan pekerjaan rumah tangga. Pak Arya pun kulihat tak menikmatinya, bahkan ia lebih tertarik menatap wajah Ibu ketimbang TV itu. Selama ada aku di antara mereka, suasana akan hangat karena celotehku. Namun begitu kutinggal saja sebentar ke kamar mandi, mereka berdua kembali terdiam seperti dua orang asing. “Bagaimana lukanya, Wulan?” tanya Pak Arya memecah keheningan.“Sudah membaik, Pak.”Laki-laki itu mengangguk. “Besok kita rapikan rambut Wulan, biar kelihatan tambah cantik.” Aku mengangguk. Entah kenapa bayangan kekejaman Nyonya Jovita kembali teringat. Pak Arya berkali-kali ingin memperkarakan kasus ini, tetapi aku menolak, walaupun tak ada iktikad baik dari mereka untuk meminta maaf.Tiba-tiba handphone Pak Arya berdering. Ia melihat layar yang menyala itu, kemudian beralih m
Read more
Bab 28
“Seandainya aku bisa mengetahui masa depan, tak akan pernah aku izinkan kamu pergi, Mas. Atau ... setidaknya aku akan ikut, dan kita jalani kehidupan bersama dalam suka dan duka. Namun aku salah, dan terlalu berharap banyak. Kini aku baru sadar, ternyata aku telah kehilangan suami sejak lama,” kata Ibu sambil terisak.Tuan Amar hanya terdiam, mendengar kepedihan Ibu. Sedangkan Nyonya Jovita tak peduli, bahkan ia tampak gelisah seperti bosan berada di sini.“Aku minta maaf padamu atas kelancangan Wulan masuk ke dalam keluarga kalian. Ini murni hanya kerinduan seorang anak pada ayahnya. Maaf, jika kehadirannya telah membuat masalah. Mulai hari ini, kami tak akan mengganggu hidupmu lagi, Mas.” Ibu menangis tersedu. Beberapa kali, ia mengusap air mata yang jatuh. Sementara laki-laki itu hanya menunduk tanpa ada jawaban. Aku tak tahu, apa yang ia pikirkan.“Maukah kamu mengabulkan permintaan terakhirku, Mas?” tanya Ibu di antara tangisnya.Tuan Amar mengangkat kepalanya, dan menatap mata
Read more
Bab 29
Aku duduk, kemudian menyandarkan kepala di lengan Ibu. Perempuan itu membalas dengan menggenggam erat tanganku. “Wulan baik-baik saja, kan?” Pak Arya bertanya.Aku mengangguk. Rasanya sekarang lebih tenang. Mungkin, karena selama ini aku sudah kehilangan sosok yang aku impikan, sehingga hati ini tak perlu berlarut-larut memendam kesedihan. “Kenapa Ibu meminta kata talak pada Pak Amar? Ibu bisa saja mengajukan gugatan perceraian ke KUA, karena suami Ibu telah meninggalkan Ibu selama 18 tahun berturut-turut tanpa ada kabar dan memberi nafkah,” ujar Pak Arya menatap Ibu. “Ia telah melanggar taklik talak. Bahkan, dalam taklik talak saja meninggalkan istri selama dua tahun berturut-turut sudah bisa diproses atau digugat ke pengadilan agama.”Ibu tersenyum. “Saya awam masalah itu, Pak. Yang saya pikirkan hanya bertahan, karena menginginkan rumah tangga yang bahagia.”Pak Arya menghela napas. “Itu adalah janji laki-laki, Bu. Kadang pihak perempuan lupa di saat sang suami membacakan taklik
Read more
Bab 30
Hari Ini Pak Arya meluangkan waktunya untuk membawaku mengobati luka di wajah, dan memperbaiki rambut yang terpotong tak beraturan akibat ulah Nyonya Jovita. Aku menyayangi laki-laki itu. Perhatiannya melebihi seseorang yang seharusnya bertanggung jawab memberikannya. Mobil berhenti tepat di sebuah klinik kecantikan. Kedatangan kami disambut hangat karyawan di sana. Mereka sudah mengenal Pak Arya, bahkan beberapa karyawan tampak heran melihat laki-laki itu datang dengan membawa dua perempuan. Beberapa dari mereka memandang kami heran, tetapi tak ada yang berani bertanya.Pak Arya meminta perawatan untuk kami, tetapi Ibu menolak dengan halus. Sementara aku tak punya alasan untuk menghindar, karena memang butuh. Ibu dan Pak Arya menunggu di kafe yang berada di sebelah klinik ketika aku dalam perawatan.Seorang dokter memeriksa lukaku. Katanya, sudah membaik. Ia memberikan paket krim perawatan wajah. Tak hanya itu, rambutku dirapikan. Potongan tak beraturan yang disebabkan Nyonya Jovita
Read more
PREV
123456
...
9
DMCA.com Protection Status