Status Talak di FB Suamiku의 모든 챕터: 챕터 41 - 챕터 50
104 챕터
Pecah Ketuban
"Lagi mencari wanita yang mampu mengambil hati ibu dari Mbak Lita, khususnya dari Mbak Nia. Nggak mau ntar dapat istri macam Mbak Nagita. Jadi ... harus melewati seleksi yang ketat," ungkap Khanif dengan mengedipkan mata ke arah ibunya."Jangan kebanyak milih, akhirnya jadi perjaka tua," seloroh ibu.Kemudian Khanif melangkah ke arah kereta dorong. Aku melarangnya. Namun, dia berdalih aku membutuhkannya. Di luar prediksi terlihat Mas Gilang dan Nagita. Mereka juga sedang memilih-milih kereta dorong."Nagita beli perlengkapan bayi juga, Bu," ujarku pada ibu. Telunjukku mengarah ke arah Mas Gilang dan Nagita."Cepet kali." Hanya dua kata itu terlontar dari mulut ibu.Dari kejauhan, aku melihat Khanif menegur Mas Gilang. Dia juga menunjuk ke arah kami. Nagita segera melangkah mendekat. Ekspresinya jangan ditanya sama sekali tidak bersahabat."Mas lihat ibu, lebih milih nemenin mantan mantunya belanja dari padaku," ujar Nagita seraya menarik-narik lengan Mas Gilang. Tak ubah bak gaya anak
더 보기
Test DNA
"Tenang, kok lebih panikan kamu dari Nia," ujar ibu seraya menarik hidung putra bungsunya."Ntah, Bu. Nggak tega lihat Mbak Nia nggak berdaya gitu. Sakit, ya, Mbak?" tanya pelan. Dia mengambil teh hangat dan diminumkan pelan. Andai rumah tanggaku dengan Mas Gilang masih utuh. Tentunya dia sangat bahagia. Namun, sayang. Napsu menghancurkan ini semua."Tenang, rileks! Jangan ada beban pikiran. Fokus melahirkan. Setelah ini baru kita pikirkan hal lainnya," ujar ibu. Air mataku merembes. Jemari tua ibu menyekanya perlahan."Hari perpisahanku dengan kalian semakin dekat. Aku tidak tak akan pernah bisa melupakan kebaikan kalian ....""Sssttt! Berdoa pada Allah, agar bayi yang sebentar lagi kamu lahirkan mengalir darah keturunan Sentawibara," ucap ibu pelan. Sangat pelan, hanya aku dan Khanif yang mampu mendengarnya.Aku dipindahkan ke ruang rawat inap. Pembukaan sama sekali tidak berjalan. Bayinya pun sama sekali tidak bergerak. Khanif sibuk mengurus segala sesuatunya."Mau sesar atau ope
더 보기
Kritis
"Apa maksudmu menuduhku sekeji itu? Aku tidak melakukan seperti yang kalian tuduhkan." Suara Nagita melemah."Tes kesehatan apa lagi? Kenapa masalah kalian nggak habis-habis?" Mas Lukman mengusap wajahnya kasar."Tes kesehatan yang aku perlihatkan pada kalian waktu itu. Di kertas itu ditulis aku mandul. Makanya aku yakin kalau anak dalam kandungan Nia bukan anakku. Terlebih lagi 12 tahun berumah tangga Nia tidak pernah hamil ....""Selama kita berobat, tidak pernah ada tes yang menyatakan kamu mandul," potongku cepat. Terpaksa berbicara walau kondisi sangat lemah."Itulah, makanya aku tanya sama wanita ini. Apakah dia menukar hasil tesnya?""Ya Allah, Mas. Hari ini kamu sadar. Kalau pun iya Semua tidak berarti apa-apa lagi." Khanif terlihat geram dengan apa yang berlangsung di depannya."Bu, tolong suruh mereka keluar," pintaku pada ibu.Aku kembali larut dalam kesedihanku. Memikirkan nasib putriku yang belum jelas keadaanya. Aku tidak peduli Mas Gilang mau mengakui atau tidak. Yang t
더 보기
Meninggal
"Ibu akan menghubungi Gilang," sahut ibu. Tangannya mengusap lembut pundakku.Suara pintu terdengar, kami serempak melihat ke arah pintu. Khanif muncul dengan mengulas senyum. Ibu segera menyuruhnya menghubungi Mas Gilang. Namun, beberapa kali di coba. Nomornya tidak bisa dihubungi."Cek darah saya, Dok. Kebetulan saya juga O-." Mendengar ucapan Khanif memberi sedikit angin segar dalam pikiranku."Sus, tolong antarkan Bapak ini ke lab. Lakukan segera pengecekan darah. Kalau cocok segera lakukan sesuai petunjuk." Dokter memberi perintah. Wanita yang ditunjuk sang dokter mengarahkan Khanif keluar."Tenangkan diri Ibu. Kalau Ibu sedih kasihan bayinya. Dia akan merasakan sedih juga. Ikatan batin Ibu dan anak itu kuat, Bu. Semangat, jangan lupa terus berdoa kepada Allah. Yakin lah, setiap hal yang terjadi dalam hidup tidak lepas dari campur tangan Sang Pencipta." Nasehat sekaligus motivasi yang baik dari wanita cantik yang tubuh sintalnya dibalut jas putih kebanggaannya.Aku tidak sabar me
더 보기
Penyesalan
"Tidak, apa-apaan kamu?" Aku mendorong tubuh Khanif menjauh dari bayiku."Annisa sudah tidak bernyawa, Mbak," sahut Raka. Dia melangkah mendekatiku. Memberi pemahaman, jika Annisa sudah meninggal."Bohong! Anissa tidak meninggal. Tidak!" Aku bangkit dari tempat tidur tanpa peduli nyerinya luka operasi."Mbak Mau kemana?" tanya Raka dan Khanif berbarengan.Aku tidak menjawab. Meraih tubuh Annisa yang kaku, seluruh tubuh yang membiru. Melangkah tertatih-tatih menuju pintu keluar. Kakiku belum sembuh sempurna."Bertahan, Nak. Mama akan membawamu ke rumah sakit," ucapku seraya mencium keningnya pelan."Nak, sini biar ibu gendong," ucap ibu pelan. Wajahnya penuh dipenuhi bulir-bulir bening."Bu, bawa Annisa ke rumah sakit. Ayo!" Aku menarik lengan ibu."Khanif, cepat!" Ibu memberi perintah dengan nada tinggi. Khanif dan Raka bak orang linglung. Terdiam dengan pandangan kosong."Cepatan, tunggu apa lagi?!" teriak Ibu dengan suara parau.Khanif melajukan mobil keluar dari halaman rumah ibu.
더 보기
Perdebatan tiada akhir
"Aaarrrrggghhh! Pergi! Kamu tidak mengakuinya, dia bukan anakmu.Kondisi ruangan semakin kacau. Mas Lukman dan Ali berusaha mengajak Mas Gilang keluar. Namun, dia tetap keras kepala. Aku juga tidak mau mengalah, tetap pada pendirianku."Jangan bertingkah seperti orang gila," desis Nagita pelan."Aku memang Gila. Aku gila karena anakku mati. Aku Gila, Nagita!" jeritku. Lita segera menarik Nagita pergi dari hadapanku.Aku melangkah mengikuti Mbak Aisyah membawa Annisa untuk dimakamkan di depan rumah ibu. Aku tidak akan membiarkan Mas Gilang melihat wajah putriku. Hati cukup sakit dengan penolakannya kala Khanif memintanya untuk melihat kondisi Annisa.Setelah acara pemakaman selesai. Mas Gilang kembali berulah dengan Nagita. Mereka bertengkar di rumah Ibu."Nagita, bersikap baik pada suamimu," tegur Mas Lukman."Gimana caranya aku bersikap baik. Kalau Mas Gilang tidak pernah baik padaku," sergahnya cepat."Mbak, gimana caranya Mas Gilang baik sama Mbak. Kalau kelakuan Mbak busuk. Untuk
더 보기
Jangan Sok Polos
"Mas, semua udah terlambat," lirihku pelan."Maafkan, Mas! Maafkan Mas yang tidak bisa memahamimu selama ini. Maafkan Mas yang tidak mampu menuruti inginmu. Maafkan Mas yang menalakmu sepihak ...." Mas Gilang memeluk kakiku."Terlambat, Mas. Terlambat!" jeritku. Kutendang tubuhnya menjauh dariku.Tidak ada yang mendekat. Semua seakan memberi waktu untuk kami saling melepas penyesalan dan beban di dada."Sadar, kita impas, Nia. Impas. Kamu mengkhianatiku, wajar Mas curiga dengan ayah biologis bayi yang kamu kandung. Mas minta maaf, Nia. Tatap aku, Nia!" Mas Gilang berusaha meraih wajahku. Namun, kutepis segera."Jangan menyentuhku lagi. Kita bukan mahram," dengkusku kesal."Gilang, jangan paksa Nia. Dia butuh waktu," ujar Mbak Aisyah."Tidak bisa. Nia tidak boleh seperti ini. Jangan sampai dia depresi. Gilang tidak sanggup melihatnya." Sekian bulan aku ditinggalkan, dihina, dicaci dan dimaki. Baru kali ini, raut kekhawatiran akan diriku terpahat di wajah tampannya."Mas, tolong mengert
더 보기
Ayo Rujuk!
"Ayolah, Nagita. Aku rasa tidak perlu lagi kuulang kesalahan besarmu. Semua berawal darimu bukan dariku." Aku melangkah ke arah pintu. Membuka daun pintu lebar-lebar agar dia keluar dari kamarku."Diam!" Nagita mengancung sebuah belati ke hadapanku. Kilatan putih yang keluar dari belati di tangannya membuat jantungku seakan lepas dari tempatnya.Dia semakin mendekat, hingga tubuhku terbentur dinding pembatas. Kutarik napas dalam, melepasnya pelan."Kalau kamu tidak mau keluar dari rumah ini. Lebih baik, kamu mati di tanganku ....""Kamu pikir dengan membunuhku kamu akan bahagia bersama Mas Gilang? Akan disayang oleh keluarga Mas Gilang? Tidak, Nagita. Istighfar, gunakan logika kamu. Yang ada kamu akan membusuk di penjara. Mas Gilang akan membencimu. Begitu juga keluarganya." Nagita terdiam, keningnya berkerut seperti memikirkan sesuatu."Aaarrgh apa bedanya dengan sekarang. Suamiku tidak pernah menganggapku ada. Dia tidak peduli keadaanku, bahkan bayi dalam kandunganku. Dia menyiksaku
더 보기
Pergi
"Mas, gimana caranya Mas rujuk sama Mbak Nia. Talak tiga, Mas." Khanif mulai bersuara. "Iya, Khanif benar. Talak tiga. Terus aku mau kamu bawa kemana? Aku sedang hamil, Mas." Nagita melayang protes pada suaminya. "Nyesal kamu, Mas! Nyesal. Makanya sebelum bertidak. Otak di pake jangan disimpan di dengkul." Ali terlihat sangat geram. "Gilang. Jangan sampai karena cinta iman kamu tergadaikan. Mas yakin kamu tahu hukum agama. Suami yang menalak istrinya dengan talak tiga tidak bisa rujuk kembali, kecuali wanita itu menikah dengan lelaki lain. Seperti firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 230 yang artinya 'Jika dia mentalak istrinya (talak tiga) maka tidak halal baginya setelah itu, sampai dia menikah dengan lelaki yang lain ...' maka tidak semudah itu Gilang," terang Mas Lukman. "Gilang akan mencari lelaki lain untuk menikahi Nia sementara waktu. Setelah itu, Gilang akan rujuk dengan Nia," ujar Mas Gilang. Raut wajahnya sangat serius. Nagita semakin tak tenang. "Gilang, jangan gi
더 보기
Kamu Alasanku Kembali
"Tidak. Mbak akan pergi. Terima kasih untuk kamu yang selalu ada saat Mbak terpuruk. Setelah ini, kembali lanjutkan kuliah kamu. Setelah itu menikah lah. Berikan ibu menantu. Umur udah mau kepala tiga, masih saja betah sendiri." Aku mengulas senyum padanya. Kutangkupkan tangan di dada sebagai salam perpisahan untuknya. "Ka, bantu Mbak beres-beres. Ambilkan tas dan koper di kamar. Kita pulang malam ini," ucapku pada adik kesayanganku. Dia tidak membantah. Bergegas membantuku berdiri. Keadaan belum stabil. Luka operasi masih nyeri, bahkan bernanah. Aku memilih diam, tidak ingin yang lainnya panik. Setelah sampai di Jogja, aku akan berobat lebih baik lagi. "Tidak bisa kamu menunggu sampai besok pagi, Nak?" tanya Ibu pilu. "Tidak, Bu. Lebih cepat lebih baik untuk semua. Ini untuk kebaikan kita semua. Kuurai senyum manis. Padahal, hati enggan beranjak dari sini. Semua baju sudah kumasukkan dalam tas dan koper. Aku akan memulai hidup baru. Mencari kebahagia yang tidak lagi ada di sini.
더 보기
이전
1
...
34567
...
11
DMCA.com Protection Status