"Mas, semua udah terlambat," lirihku pelan."Maafkan, Mas! Maafkan Mas yang tidak bisa memahamimu selama ini. Maafkan Mas yang tidak mampu menuruti inginmu. Maafkan Mas yang menalakmu sepihak ...." Mas Gilang memeluk kakiku."Terlambat, Mas. Terlambat!" jeritku. Kutendang tubuhnya menjauh dariku.Tidak ada yang mendekat. Semua seakan memberi waktu untuk kami saling melepas penyesalan dan beban di dada."Sadar, kita impas, Nia. Impas. Kamu mengkhianatiku, wajar Mas curiga dengan ayah biologis bayi yang kamu kandung. Mas minta maaf, Nia. Tatap aku, Nia!" Mas Gilang berusaha meraih wajahku. Namun, kutepis segera."Jangan menyentuhku lagi. Kita bukan mahram," dengkusku kesal."Gilang, jangan paksa Nia. Dia butuh waktu," ujar Mbak Aisyah."Tidak bisa. Nia tidak boleh seperti ini. Jangan sampai dia depresi. Gilang tidak sanggup melihatnya." Sekian bulan aku ditinggalkan, dihina, dicaci dan dimaki. Baru kali ini, raut kekhawatiran akan diriku terpahat di wajah tampannya."Mas, tolong mengert
"Ayolah, Nagita. Aku rasa tidak perlu lagi kuulang kesalahan besarmu. Semua berawal darimu bukan dariku." Aku melangkah ke arah pintu. Membuka daun pintu lebar-lebar agar dia keluar dari kamarku."Diam!" Nagita mengancung sebuah belati ke hadapanku. Kilatan putih yang keluar dari belati di tangannya membuat jantungku seakan lepas dari tempatnya.Dia semakin mendekat, hingga tubuhku terbentur dinding pembatas. Kutarik napas dalam, melepasnya pelan."Kalau kamu tidak mau keluar dari rumah ini. Lebih baik, kamu mati di tanganku ....""Kamu pikir dengan membunuhku kamu akan bahagia bersama Mas Gilang? Akan disayang oleh keluarga Mas Gilang? Tidak, Nagita. Istighfar, gunakan logika kamu. Yang ada kamu akan membusuk di penjara. Mas Gilang akan membencimu. Begitu juga keluarganya." Nagita terdiam, keningnya berkerut seperti memikirkan sesuatu."Aaarrgh apa bedanya dengan sekarang. Suamiku tidak pernah menganggapku ada. Dia tidak peduli keadaanku, bahkan bayi dalam kandunganku. Dia menyiksaku
"Mas, gimana caranya Mas rujuk sama Mbak Nia. Talak tiga, Mas." Khanif mulai bersuara. "Iya, Khanif benar. Talak tiga. Terus aku mau kamu bawa kemana? Aku sedang hamil, Mas." Nagita melayang protes pada suaminya. "Nyesal kamu, Mas! Nyesal. Makanya sebelum bertidak. Otak di pake jangan disimpan di dengkul." Ali terlihat sangat geram. "Gilang. Jangan sampai karena cinta iman kamu tergadaikan. Mas yakin kamu tahu hukum agama. Suami yang menalak istrinya dengan talak tiga tidak bisa rujuk kembali, kecuali wanita itu menikah dengan lelaki lain. Seperti firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 230 yang artinya 'Jika dia mentalak istrinya (talak tiga) maka tidak halal baginya setelah itu, sampai dia menikah dengan lelaki yang lain ...' maka tidak semudah itu Gilang," terang Mas Lukman. "Gilang akan mencari lelaki lain untuk menikahi Nia sementara waktu. Setelah itu, Gilang akan rujuk dengan Nia," ujar Mas Gilang. Raut wajahnya sangat serius. Nagita semakin tak tenang. "Gilang, jangan gi
"Tidak. Mbak akan pergi. Terima kasih untuk kamu yang selalu ada saat Mbak terpuruk. Setelah ini, kembali lanjutkan kuliah kamu. Setelah itu menikah lah. Berikan ibu menantu. Umur udah mau kepala tiga, masih saja betah sendiri." Aku mengulas senyum padanya. Kutangkupkan tangan di dada sebagai salam perpisahan untuknya. "Ka, bantu Mbak beres-beres. Ambilkan tas dan koper di kamar. Kita pulang malam ini," ucapku pada adik kesayanganku. Dia tidak membantah. Bergegas membantuku berdiri. Keadaan belum stabil. Luka operasi masih nyeri, bahkan bernanah. Aku memilih diam, tidak ingin yang lainnya panik. Setelah sampai di Jogja, aku akan berobat lebih baik lagi. "Tidak bisa kamu menunggu sampai besok pagi, Nak?" tanya Ibu pilu. "Tidak, Bu. Lebih cepat lebih baik untuk semua. Ini untuk kebaikan kita semua. Kuurai senyum manis. Padahal, hati enggan beranjak dari sini. Semua baju sudah kumasukkan dalam tas dan koper. Aku akan memulai hidup baru. Mencari kebahagia yang tidak lagi ada di sini.
JogjaUdara pagi begitu dingin. Mungkin saja efek hujan yang sedari tadi malam menguyur kota kelahiranku. Aku beringsut dari ranjang. Menuju jendela kamar yang berbatas dengan alam yang penuh pesona.Kusibak tirai kamar yang sudah berdebu. Aku tersenyum pelan.Kedua adik lelakiku terlalu sibuk. Sampai lupa mencuci tirai jendela. Berharap sinar matahari memberi cahaya kehidupan. Namun, mentari masih betah bersembunyi di balik awan hitam.Cuaca hari ini mendung. Aku memilih kembali meringkuk di atas ranjang. Kupeluk erat guling dalam pelukan. Tidak ada hal yang kulakukan untuk sementara waktu selain beristirahat memulihkan kondisi.Suara pintu diketuk terdengar dari arah luar. Sedetik kemudian, wajah Raka menyembul di balik pintu."Mbak, siap-siap, ya. Raka mau membawa Mbak ke rumah sakit. Kita cek kondisi luka operasi, Mbak," ujar adikku."Nggak usah, Mbak sehat kok. Beli saja obat di apotik," pintaku dengan mengulas senyum."Jangan membantah. Mbak harus sembuh. Cepat berkemas!" Raka m
BandungSatu tahun kemudian"Mbak cepetan!" teriak Raka heboh dari balik pintu kamarku."Apaan sih? Sabar dong!""Gimana bisa sabar. Ini sudah jam delapan. Acara pembukaan restorannya tinggal beberapa menit lagi. Mbak ngapain di dalam?" Raka mendadak bawel."Mbak Nia. Nggak usah dandan berlebihan. Cepetaan!" Daffa ikut berteriak."Ya Allah! Heboh kali lah kalian," gerutuku seraya mempercepat gerakan tanganku yang sedang memasang hijab.Sejenak mematut diri depan cermin. Wajahku kembali sempurna setelah menjalani sekarangkai perawatan. Menghabiskan ratusan juta dalam kurun waktu hampir enam bulan."Mbak!""Ya Allah! Sabar!" teriakku.Kusambar tas atas ranjang. Aku tersenyum sendiri melihat tas yang sekarang tersangkut di bahu. Bukan barang branded seperti yang sering aku tenteng dulu. Ah! Kutepis bayangan yang seharusnya tidak perlu kubayangkan lagi.Kumelangkah ke arah pintu. Wajah dua lelaki tampanku terlihat cemberut."Lamanya," ketus Daffa."Harus terbiasa. Biar nanti saat punya i
"Khanif," gumamku pelan. "Yeeee! Horeee! Suprise!" Daffa dan Raka berteriak histeris di belakangku. Aku menatap ke arah mereka berdua. Wajahnya semringah. Lalu beralih pada Khanif yang hanya mengulas senyum sambil mengerak-gerakkan alisnya. "Ada apa ini? tanyaku bingung. "Tidak ada apa-apa. Hanya ini," jawab Khanif. Jawaban yang tidak mampu menjawab rasa penasaranku."Dari mana kamu tahu Mbak di sini?" tanyaku pelan. "Kemana pun kamu pergi. Aku selalu bisa menemukanmu." What! Khanif tidak memakai embel Mbak saat memanggilku. "Cieee!" Raka sibuk sendiri di belakangku. "Diam," desisku kesal. "Mbak jangan marah-marah lah," ujar Raka. "Kita sudah mendiskusikan ini sebelumnya. Tujuan kita pindah ke Bandung. Agar Mbak jauh dari mereka. Kenapa sekarang Khanif ada di sini?" tanyaku pada Raka dan Daffa yang salah tingkah. Aku melangkah menjauh. Tidak suka dengan lelucon di hadapanku."Kamu tidak sayang Ibu, Nak? Kamu ingin membuang Ibu? Kamu tidak rindu sama Ibu? Kamu tega menyiksa I
"Cincin Mbak? Mbak nggak punya cincin berlian, Nif. Jangan bercanda," tukasku. Ibu hanya mengulas senyum, saat netra kami beradu. "Iya, Cincin kamu," jawabnya lagi."Sejak kapan kamu berani panggil Mbak dengan sebutan kamu?" tanyaku dengan delikan mata. Hening sejenak. Tidak ada yang bicara. Ibu pamit keluar. Lapar menjadi alasannya. Meninggalkanku dengan Khanif. Jenak-jenak kebisuan tercipta. Entah kenapa aku merasa segan berdua dengannya. Satu tahun tidak berjumpa membuatku canggung dalam menghadapinya. Beruntung, dinding pembatas ruangan terbuat dari kaca. Jadi tidak akan jadi fitnah berduaan dengan lelaki bukan mahramku."Kamu nggak mau makan?" tanyaku mencairkan suasana. "Tidak lapar," jawabnya datar. Kuhela napas panjang. "Baiklah, kembali ke masalah cincin. Bagaimana ceritanya cincin berlian itu bisa ada dalam cake di meja kamu. Terus sekarang kamu bilang itu milik Mbak. Jawab yang jelas. Jangan membuat orang penasaran."Cincin itu milik kamu, Nia." Kepalanya didonggakkan k