Semua Bab Kuhibahkan Cincin dan Calon Suami pada Sepupuku: Bab 61 - Bab 70
133 Bab
Bab 34B
Di tempat lain, Pak Arfan sudah tak sabar menunggu kedatangan Nadira. Maka sejak pagi lelaki itu telah bersiap ke kantor, mengerjakan beberapa hal serta mengecek pekerjaan karyawan.Melihat matahari yang telah mulai tinggi, lelaki pemilik rambut ikal itu segera menghubungi karyawatinya yang diperkirakan telah tiba di Bandara Juanda."Nadira, apa kamu sudah sampai?" sapanya begitu sambungan telepon terhubung."Iya, Pak. Ini baru keluar dari bandara, masih nunggu taksi. Gimana, Pak?"Nadira melihat sekeliling, mencari nomer taksi yang ia pesan. Sementara Pak Arfan tersenyum lebar mendengarnya."Kamu langsung ke sini bisa? Saya mau lihat desain kamu," titah Pak Arfan, membuat Nadira menghela napas berat. "Baik, Pak. Saya segera ke sana." Melihat jam yang melingkari pergelangan tangan kiri, masih jam sebelas siang. "Nanti jam satu ya, Pak. Saya istirahat sebentar," ijin Nadira. Ada beberapa hal yang akan ia kerjakan sebel
Baca selengkapnya
Bab 34C
Sore hari, Nadira meninggalkan tempat kerja dengan hati gamang. Belum satu hari meninggalkan kota Medan, dan ia sudah rindu. Biasanya kalau pulang kerja, selalu disambut bau harum putu bambu dan putu mayang, sebelum akhirnya melangkahkan kaki menyusuri jalan yang dipenuhi pedagang.Sesekali ia membeli makanan tradisional yang menggugah selera itu, lalu memakannya rame-rame dengan teman kos maupun teman-teman yang tinggal di mess karyawan.Kembali mengayunkan langkah, menuju kos Bu Wulan, tempat tinggal yang juga ia rindukan. Adik dari Rudy itu berniat mampir ke indoapril lebih dulu, hendak membeli beberapa keperluan, juga stok cemilan.Saat sedang mengantri di kasir, tak sengaja ia bertemu mata dengan Mbak Putri, mantan tetangga kosnya dulu.Mbak Putri merangsek masuk, langsung menuju Nadira yang sedang menunggu belanjanya dihitung."Nadira, tunggu Mbak bentar, ya. Nanti kita ngopi di depan," ujarnya dengan berbisik.Sesungguhnya
Baca selengkapnya
Bab 35A
"Masa cuma segini, Ra?"Putri memberengut protes saat menerima selembar uang bergambar presiden Soekarno dari Nadira."Maaf, Mbak. Aku bisanya ngasih segitu buat uang saku anak Mbak, nggak usah dibalikin, oke?" Yang ditanya masih menatap selembar uang di tangan dan pemberinya bergantian. Tatapan matanya mengintimidasi, seakan Nadira telah melakukan kesalahan fatal."Mau, nggak? Kalau nggak mau, sini balikin," seloroh Nadira, sengaja menggoda temannya yang tak kunjung menjawab, masih memasang wajah jutek.Kini ia meraih botol pemberian Putri, lantas membuka dan mulai menyesap isinya. Rasa pahit berpadu manis yang samar, tertinggal di pangkal lidahnya.'Semoga nggak apa-apa. Sudah lama aku nggak minum kopi kemasan,' gumam Nadira dalam hati.Ya, demi kesembuhan lambung, ia mengurangi konsumsi kopi, mengganti dengan minuman yang lebih sehat seperti jus buah maupun sayur. Sesekali masih minum hanya demi mengobati kangen pada
Baca selengkapnya
Bab 35B
"Ra, tolonglah Mbak. Masa kamu nggak percaya sama Mbak, sih? Pinjami, ya, kali ini saja. Please."Pesan tersebut disertai emot nangis tiga biji, juga kedua tangan yang saling menangkup."Maaf, Mbak, bukan nggak percaya. Aku hanya menjaga hubungan yang sudah ada. Sudah terlalu banyak kasus karena hutang lalu jadi musuhan. Atau yang minjem lebih galak dari yang nagih. Apalagi track record kamu sudah tersimpan dalam memori, kalau bayar suka lama, mundur-mundur. Janji dua Minggu, taunya lima bulan baru dibayar. Itu pun harus ditagih terus, dan selalu kasih janji manis biar yang nagih jatuh iba. Capek, Mbak, kalau dengar cerita teman-teman soal kamu."Dibaca sekali lagi sebelum menekan tombol send. Ketikan panjang itu dihapus lagi oleh Nadira, lalu diganti dengan,"Maaf, Mbak."Send..Putri membanting ponsel ke atas kasur. Wajahnya ditekuk maksimal setelah membaca pesan dari Nadira."Sombong amat! Mentang-menta
Baca selengkapnya
Bab 35C
Hari telah beranjak petang, Nadira bersiap kembali ke Surabaya. Rangkaian acara pernikahan Mas Rudy telah selesai, dari akad hingga ngunduh mantu. Waktu cuti yang diambil juga telah habis, dan sekarang lah saatnya kembali pada dunia kerja.Berada di rumah selama beberapa hari, sering kali mendapatkan pertanyaan serta sindiran dari para tetangga mengenai dirinya yang masih betah melajang, sedangkan usia sudah seperempat abad lebih beberapa bulan.Panas juga telinga gadis itu, mendengar sindiran dari tetangga. Ya, meski berusaha tak mendengarkan, tetap saja kalimat-kalimat yang tak ingin didengar itu menyusup ke telinga dan menusuk ke hati. Memang benar lah adanya, kalau lidah itu tak bertulang, tapi tajamnya melebihi pedang.Hal lain yang membuat ia ingin segera meninggalkan rumah ialah hadirnya kembali sosok Damar. Beberapa kali lelaki itu berusaha menemui, saat tau Nadira ada di rumah untuk acara pernikahan sang kakak. Tentu saja kabar tersebut sampai ke telinganya. Bukankah orang tu
Baca selengkapnya
Bab 36A
POV NadiraAku sungguh tak habis pikir dengan kedatangan Fajar yang tiba-tiba serta membawa bunga sakura yang kupinta di dalam mimpi.Masih belum bisa berkata-kata saat akhirnya kami berdua diminta duduk di ruang tamu. Rasanya seperti sedang duduk di kursi panas saat semua orang berkumpul, termasuk kakak iparku."Sebenarnya, ibu lebih tenang kalau kalian segera diresmikan saja. Tapi, kakaknya baru saja menikah satu Minggu yang lalu," ibu bicara dengan menyorot wajah Fajar yang duduk di samping Mas Rudy.Segera diresmikan kata ibu?Astaghfirullah, aku bahkan belum membahas apa pun dengan Fajar, ini kenapa ibu seakan memberikan lampu hijau untuk kami? Apa ini karena perkataan beberapa saudara ibu, yang terus mempertanyakan kapan giliranku menyusul Mas Rudy ke jenjang pernikahan?Ah, membahas hal satu itu selalu menimbulkan rasa enggan. Perasaan merdeka lah yang jadi penyebabnya.Aku sendiri bertanya-tanya, kenapa
Baca selengkapnya
Bab 36B
"Orang tua kamu, apa tidak marah kamu pergi malam-malam hanya buat ngantar aku, Jar?"Pertanyaan itu akhirnya meluncur. Aku menatap Fajar lekat-lekat, yang kini duduk di belakang meja, lalu menyesap kopinya yang tinggal setengah. Lelaki di hadapanku kini justru tersenyum tipis.Adikku, dia sengaja pamit setelah menghabiskan sarapannya, membiarkan kami bicara berdua."Tidak, mereka sudah tau kalau aku mengantarkan calon menantunya," jawabnya pelan.Aku tertegun, lalu membuat kesimpulan sendiri. Jika demikian berarti orang tuanya sudah tau tentang Fajar yang ... ."Mereka ingin bertemu denganmu. Bagaimana menurutmu, Nad?"Aku tergeragap. Sampai pagi ini belum memutuskan untuk menerima Fajar, meski ibu dan kakakku terlihat sudah akrab dengannya. Tapi, mimpi dan bunga sakura itu, apakah benar itu satu petunjuk. Kenapa bisa pas momennya?Jujur saja aku takut. Takut kejadian dulu terulang lagi.Pernah dihianati, membuat aku benar-benar menutup hati, bahkan menganggap kalau semua laki-laki mu
Baca selengkapnya
Bab 36C
"Saya rasa kamu bisa ngajar mereka, gimana?" Mbak Linda terdengar bersemangat. Salma malah mengacungkan dua jempol tangan."Emm … ngajar, ibu-ibu?" Pertanyaanku membuat Mbak Linda mengangguk."Cuma tiga puluhan orangnya. Nggak lama, kok, cuma dua jam saja. Bisa kan? Hari Minggu pertama awal bulan depan. Masih ada waktu buat bikin persiapan. Sama buatin paketannya, ya?"Nah, kalau buatin paketan mah, oke. Tapi kalau ngajar dua jam buat tiga puluh lima orang, apakah waktunya cukup? Krik krik krik … ."Tapi, Mbak, saya belum pernah ngajar ibu-ibu."Aku masih berusaha mengelak. Sadar diri masih fakir ilmu soal rajutan, Ini aja bisa merajut tapi meraba-raba, dimirip-miripkan sama contoh foto dari pemesan.Mbak Linda menggeleng tak percaya. Tatapannya masih lekat sejak tadi."Siapa bilang. Wong kemarin saya lihat sendiri, kamu ngajarin bikin rante sama bikin bunga, terus anaknya tepuk tangan heboh karena langsung bisa," tutur Mbak Linda panjang pendek.Aduh … yang mana itu. Oh, iya. Mungkin
Baca selengkapnya
Bab 37A
POV FajarMelihat wajah ayu di depanku yang tengah tersenyum malu-malu, membuat ingatan ini kembali pada awal kami bertemu.Bukan kali pertama aku melihatnya saat ia datang dan duduk berhadapan dengan Sabil di ruang interview, tapi, tetap saja aku terpesona dengan hadirnya.Wajah itu menunduk, menunggu keputusan akan diterima atau tidak di percetakan ini. Ia tak bisa membuat desain, tapi bisa mengoperasikan Corel draw, meski bukan di tingkat mahir. Ia juga siap ditempatkan di bagian finishing jika memang tak ada lagi tempat sebagai operator.Sebegitu besar inginnya untuk diterima bekerja di sini. Dan aku mengerti alasannya."Oke, selamat bergabung. Bisa kerja mulai kapan, Mbak Nadira?" tanya Sabil, membuat ia menegakkan kepala, juga membeliakkan kedua mata. Lucu sekali melihat ekspresinya. Mata itu, yang kemudian membuatku jatuh rindu."Besok pagi jam delapan datang ke sini, bisa?" tanya Sabil lagi.Aku melihat
Baca selengkapnya
Bab 37B
Sejak hari itu, suasana menjadi berbeda sama sekali. Ada sesuatu yang hilang bersama perginya. Hatiku mencelos setiap kali mendapati tempat parkir yang biasa terisi dengan motor matic bertuliskan huruf kanji itu kini kosong. Juga bangkunya yang kemudian kubiarkan tak terisi. Meski telah merelakan ia akan meraih bahagia di tempat baru, nyatanya jauh di sudut hati ini masih berharap ia kembali dan mengoperasikan monitor itu lagi.Aku … jatuh rindu.Yang kulakukan berikutnya ialah membujuk Bunda, supaya diijinkan tinggal bersama Eyang di Surabaya. Kota yang kuketahui menjadi tempat kerja Nadira berikutnya."Kamu kan, punya tanggung jawab sama percetakan." Bunda memberi alasan penolakan."Ada Sabil, loh, Bun. Boleh, ya?" Menggapit lengan bunda, menyandarkan kepalaku di bahu wanita yang menyayangiku tanpa tapi."Bukannya Eyang juga minta supaya aku belajar mengelola hotel miliknya?" Lagi aku membujuk wanita yang menjadi cin
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
56789
...
14
DMCA.com Protection Status