All Chapters of Kuhibahkan Cincin dan Calon Suami pada Sepupuku: Chapter 51 - Chapter 60
133 Chapters
Bab 31A
.Mereka bilang aku pemilih dan kesepianTerlalu keras menjalani hidupBeribu nasehat dan petuah yang diberikanBerharap hidupku bahagia … .Berdiri telingaku mendengar lagu I'm single and very happy, yang dibawakan Oppie Andaresta. Tangan yang sedang memasukkan pakaian ke dalam tas, seketika terhenti, lalu mencari sumber suara. Baru teringat kalau sejak tadi televisi menyala tanpa diperhatikan. Memang lah saat seorang diri seperti ini, seringkali kunyalakan benda elektronik itu sebagai teman, biar nggak sepi-sepi amat. Tapi, kalau sedang khusyuk mengerjakan sesuatu kadang lupa juga, sih.Bibir ini juga jadi mengikuti lirik selanjutnya. 'I'm single and very happy', rasanya cocok dengan kondisiku saat ini. Alhamdulillah 'ala kulli haal.Ya, aku cukup merasa bahagia menjalani hidupku yang sekarang. Menjadi pribadi dan individu yang bebas merdeka hendak melakukan apa saja. Pelan tapi pasti, luka yang pernah kubawa saat datang ke kota
Read more
Bab 31B
POV Rudy"Telpon adikmu, Nang."Aku baru saja pulang dari sawah. Baru saja duduk di kursi teras setelah membersihkan kaki, lantas menyesap sebatang rokok, saat mendengar pinta ibu."Sebentar to, Bu. Aku tak ngrokok dulu," tolakku. Nggak enak amat lagi asik ngerokok malah disuruh. Baru juga duduk."Ayo, sekarang!" perintah beliau seperti tak sabar. "Ibu cuma mau dengar kabar adikmu. Bocah, kok, pulang enggak, nelpon yo jarang" keluh ibu, kemudian duduk di sampingku.Aku menghela napas, lantas menyentaknya. Terpaksa kuletakkan rokok di ujung bangku, lantas mengambil handphone di lemari.Gegas kucari nomer Nadira. Ia memang jarang menelpon, seringnya hanya kirim pesan. Aku pun sebenarnya rindu dengan suaranya. Namun, untuk menghubungi lebih dulu, aku merasa sungkan, sebab didera rasa bersalah yang besar.Entah bagaimana kabarnya sekarang. Sudah berbilang bulan ia tak pulang, sejak perdebatan dengan ibu tentang pernikahan.
Read more
Bab 31C
"Ini pasti gara-gara kamu suka makan sayap ayam, makanya terbang ke mana-mana. Habis ke Surabaya, ke Medan juga. Cah wadon, kok plencang-plencing."Ibu menggerutu, selalu begitu kalau bicara dengan Nadira. Kudengar tawa renyah dari seberang telepon."Ibu ada-ada saja. Apa hubungannya makan sayap ayam sama pergi ke Medan," lagi ia terkekeh."Yo ada. Lha itu, kamu nggak ingat pulang, malah mau pergi melebihi kakakmu yang laki-laki," protes ibu.Ah, ibu benar juga. Dia, adik perempuanku, panjang sekali langkahnya. Ia bahkan melampaui jarak yang pernah kutempuh sepanjang karirku merantau."Oh, ini pasti karena ibu berprasangka begitu, makanya sekarang terkabul. Ucapan itu doa, lho, Bu. Iya, kan, Mas?"Nadira masih terkekeh. Aku menggelengkan kepala. Bisa saja dia membalikkan ucapan ibu."Minta doanya ya, Bu, Mas. Doakan semoga perjalananku lancar, selamat sampai tujuan," pintanya kemudian."Iya, Nduk, ibu selal
Read more
Bab 32A
POV NadiraSekitar jam empat sore, aku tiba di bandara Kualanamu. Gegas menonaktifkan mode airplane pada ponsel. Pak Arfan telah berpesan supaya menghubungi beliau begitu sampai, supaya segera dijemput ke sini.Pesan dari Pak Arfan dan Ko Heru--teman Pak Arfan--berebut muncul di layar ponsel."Kamu dijemput Ko Heru, ya, Nadira. Harusnya Sony, tapi lagi ada acara dia," pesan Pak Arfan."Hati-hati, jangan sampai hilang di negri orang."Aku tersenyum membacanya. Bukankah ini masih di Indonesia?"Saya tunggu di dekat pintu keluar. Pakai baju kuning. Istri saya pakai baju merah," pesan Ko Heru.Aku menoleh ke arah pintu keluar, di mana para penumpang berebut jalan. Dadaku berdebar kencang, sebab ini akan menjadi pertemuan pertama dengan teman Pak Arfan. Bagaimana jika yang mengenakan baju warna merah dan kuning ada lebih dari satu orang?Tiba-tiba terlintas adegan sebuah film, di mana seseorang menjemput or
Read more
Bab 32B
Ko Heru sudah menyambutku, lalu memperkenalkan dengan sang adik yang bertugas menjaga toko. Berbincang sebentar, aku langsung menuju ke ruang desain, dimana Alma dan Sony berada. Mereka, tangan kanan perusahaan ini.Rasa grogi tentu ada, karena mereka berdua masih asing sama sekali. Meski aku telah lama memegang program yang akan kuajarkan, tetap saja rasanya berbeda saat memberikan penjelasan sambil mencari beberapa tool yang digunakan. Badan ini juga masih beradaptasi, belum merasakan panasnya Medan, hingga sweater yang telah kulepas, kukenakan lagi."Panas-panas kok, pakai sweater, Mbak?" tanya Bu Reni. Beliau lumayan lancar bicara bahasa Jawa, meski lahir dan besar di Medan. Jadi berasa ketemu tetangga saja. "Saya nggak tahan kipas angin, Bu," jawabku apa adanya.Beberapa orang tertawa mendengar jawabanku. Biarlah. Aku memang sensitif sama kipas angin, bisa langsung masuk angin nanti.Suasana kerja yang canggung m
Read more
Bab 32C
Keesokan harinya, perjalanan ke Lumbini menjadi bahasan di tempat kerja. Beberapa orang mengaku belum pernah ke sana, dan justru bertanya bagaimana cara untuk sampai ke tempat yang indah itu.Aku bercerita apa adanya. Tentang rasa kagum, tentang hawa sejuk, tentang apa yang ada di lokasi tersebut. Bibirku melengkungkan senyum, teringat seseorang yang kutemui sebelum meninggalkan Lumbini. Maksudku, pom bensin dekat sana saat aku numpang sholat, lalu menunggu redanya hujan yang kembali menderas."Kupikir tadi anak SMA."Celetukan itu membuat aku terjengit. Aku dikira anak SMA? Yang benar saja."Eh, kok anak SMA, sih?" protesku. Sosok yang duduk di depanku itu justru terkekeh."Lha iya. Udah kecil, pakai sepatu gitu, bawa tas ransel lagi. Kayak anak sekolah habis ikut kegiatan ekstrakurikuler. Tau, nggak?""Enggak," sambarku. Dalam diam memindai penampilan diri. Badanku memang kecil, sih. Dan pakai tas ransel ke mana-mana memang sudah kebiasaanku. Lebih nyaman dan enak saja kalau bawa ap
Read more
Bab 33A
Pagi-pagi sekali Mas Samsul sudah muncul di depan pintu kosku, setelah sebelumnya mengirim pesan kalau diutus Ko Heru. Gegas aku menyusul Sony yang sudah duduk manis di bentor."Mau jalan-jalan ke mana, Mbak Dira?" tanya Sony sambil cengar-cengir."Nah, nggak tau. Emang mau ke mana, sih, Mas?" tanyaku balik."Emang Wak Dira nggak dikasih tau sama si Bos?" Kali ini Mas Samsul yang bertanya."Enggak, Mas," jawabku. "Eh, iya, selain kita, sama siapa lagi nanti yang pergi?"Kenapa juga semalam aku nggak kepikiran buat nanya, ya? "Ya kita aja paling, sama Cici," jawab Mas Samsul.Tak terasa bentor yang membawa kami bertiga sudah sampai di depan ruko Ko Heru. Lelaki bermata sipit itu terlihat sedang mengecek mesin mobil saat aku turun."Nah, ini dia. Ayo, berangkat," ajak Ko Heru.Aku menyalami Kak Silvi dan Ko Heru bergantian, lalu masuk ke dalam mobil, menyusul Mas Samsul dan Sony yang sudah lebih dulu mas
Read more
Bab 33B
Jika saat berangkat tadi dapat menikmati pemandangan hijau, maka kali ini yang terlihat adalah berselang-seling antara gelap dan kerlip lampu jalan. Pun suara obrolan hanya sesekali terdengar, tak seperti saat berangkat tadi.Ya, aku memaklumi, mungkin badan sudah lelah seharian dalam perjalanan. Turun naik bukit pula..Sekitar jam sembilan malam aku baru sampai di kos. Kali ini diantar Mas Samsul dengan becak motornya. Bersama Sony juga."Met istirahat ya, Wak Dira?""Sip. Makasih Mas," jawabku dengan mengangkat jempol."Sampai ketemu besok," tambah Mas Samsul lagi, sambil dadah-dadah, lalu melajukan bentornya.Dia satu-satunya yang berangkat kerja naik bentor. Ya karena tuntutan kerja sebagai seksi sibuk memang. Kadang suka bawa anak-anak yang tinggal di mess buat berangkat atau pulang bareng. Suka diminta tolong membawa tabung gas dari toko buat masak di mess juga.Waktu baru datang ke sini, Mas Samsul mengajakku
Read more
Bab 33C
"Mbak, dari mana, sih, jam segini baru pulang?" tanya Rita yang sudah menunggu di depan pintu saat aku kembali ke kos di jam setengah delapan."Dari masjid," jawabku, sambil melepaskan sepatu."Masjid mana?" Kini ia ikut duduk, tepatnya berjongkok, di samping pintu kamarku.Aku menyebutkan tempat di mana masjid itu berada, lalu duduk di depan pintu kamar yang sudah kubuka. Suara lalu lalang kendaraan masih terdengar berseliweran di luar sana."Oh, yang waktu itu kita ke sana, ya?" gumam Rita sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.Aku mengangguk mengiyakan. Beberapa kali ia memang ikut, meski hanya duduk menunggu dan melihat."Kirain Mbak punya pacar di sini, makanya pulangnya malam terus. Bukannya suka cerita kalau pulangnya jam lima sore. Iya, kan?""Eh, kok pacar, sih?" tanyaku dengan alis nyaris bertaut."Ya, gimana, pulangnya selalu malam. Sudah berapa lama Mbak tingga
Read more
Bab 34A
Hari kedua tiba di Medan, Nadira mencari masjid terdekat dengan tempat tinggalnya.Gadis itu menelusuri jalan yang dipenuhi pedagang kaki lima di kedua sisinya, hingga tatapannya terhenti pada kubah dan menara masjid di kejauhan, lantas bergegas ke sana.Hatinya langsung merasa damai begitu kedua kakinya memasuki pelataran masjid yang megah itu. Sejak hari itu, ia menjadi sering ke sana setelah pulang kerja.Di sanalah ia bertemu dengan seseorang yang mirip dengan teman kerjanya saat di percetakan. Sabil.Rasa penasaran, membuat Nadira mencari tau, siapa sosok tersebut. Sampai kemudian, dia mengetahui kalau imam masjid yang selama ini membuat hatinya bergetar bahkan terisak karena bacaan surat pendek saat sedang berjamaah di masjid itu, adalah dia yang berwajah mirip dengan temannya.Fatih--nama pria itu–pun menaruh perhatian, karena Nadira hampir setiap hari berada di masjid sejak sore, bahkan sebelum adzan Maghrib berkumandang.
Read more
PREV
1
...
45678
...
14
DMCA.com Protection Status