Semua Bab SATE DAGING AYAH: Bab 21 - Bab 30
38 Bab
BAB 21
Malam Minggu memang waktunya buat para muda mudi menikmati malam panjang. Walau sampai sekarang ngga ada yang bisa mengukur seberapa panjangnya dengan malam-malam yang lain. Malam naas bagi para jomblo. Itu kata Euis.Tampak kedai Indah malam itu sangat ramai pengunjung. Aroma jagung bakar dan wedang jahe seolah ingin mengusir udara Lembang yang terkenal dengan hawa dinginnya. Pasangan muda-mudi terlihat asik mengobrol di atas tikar sambil menikmati menu jajanan yang ada di tempat Indah. Saung terbuka yang terletak di pinggir jalan raya memang sangat strategis. Di sini kita bisa melihat kecantikan kota Bandung malam hari yang seperti berada di lembah."Lihat putri kita, dia percis bunda waktu masih muda. Ayah jadi ingat awal kita bertemu." Indra meraih jemari istrinya."Iya. Dulu Ayah pembeli jagung bakar bunda yang paling setia. Ngga tahunya ada udang di balik jagung." Diah tersipu."Alhamdulillah kita sekarang bisa berada di sini. Setelah melewati waktu yang begitu panjang. Mung
Baca selengkapnya
BAB 22
"Jadi Ayah sama orang tua Kang Milan sudah saling kenal?" "Iya, Nak. Kami dulu pernah tinggal bertetanggaan. Ya Allah, ngga nyangka kita bisa bertemu kembali setelah sekian lama." Indra menepuk-nepuk bahu Pak Dahlan."Dunia ini memang sempit, ya, Teh." Bu Diah merangkul bahu ibunya Milan. Mereka benar-benar terlihat akrab."Terus terang saya masih belum percaya kalau ini teh beneran nyata. Soalnya tadi waktu dikasih tahu ada tamu, saya baru saja lelap," ucap Bu Diah sambil menepuk-nepuk pipinya."Beneran atuh, Teh. Tuh lihat suami kita, duduknya mani kaya pengantin baru.""Bunda mah syirik saja. Memangnya kalian berdua juga engga? ini Kita sampe lupa sama anak-anak kita." Pak Dahlan menggeser duduk memberi tempat untuk Milan."Indah, kenalkan, ini teman Ayah namanya Pak Dahlan dan itu istrinya, Bu Dian. Kami dulu sangat dekat cuman sayang Pak Dahlan di pindah tugaskan. Pindah ke mana waktu itu, Kang?""Waktu itu kami di pindah tugaskan di daerah Kuningan Jawa-barat. Coba dulu sudah a
Baca selengkapnya
BAB 23
"Sudah, sudah, nanti saja kita bahas ini kalau sudah di rumah. Milan kan lagi nyetir nanti perhatiannya terbagi," ucap Pak Dahlan."Bunda itu greget punya anak laki-laki kok seperti ngga jantan gitu!" gerutu Bu Dian."Bukan ngga jantan, Bun. Kurang apa coba selama ini putra kita sering bawa teman wanitanya ke rumah. Iya, kan, Mil?" Pak Dahlan membela putranya."Iya. Tapi mereka pada kabur. Itu karena anakmu itu ngga tegas!""Untung ngga tegas, kalau Milan nikah dari dulu berarti kita ngga bisa besanan sama Kang Indra," jawab Pak Dahlan ngga mau kalah. "Loh, kenapa yang ribut Ayah sama Bunda, sih! Yang mau nikah siapa yang ngebet siapa?!" ucap Milan."Sekarang gini aja, kamu itu suka ngga sama Indah. Ingat kamu sudah hampir kepala tiga!" Bu Dian mulai kesal."Ian butuh waktu buat meyakinkan perasan ini. Ngga bisa buru-buru ambil kesimpulan. Bunda sabar, ya." Milan menarik nafas. Dari sekian banyak perempuan yang berusaha mendekat baru kali ini ibunya begitu antusias. Sementara wanit
Baca selengkapnya
BAB 24
Semakin jauh meninggalkan jantung kota kembang, udara semakin terasa dingin. Halimun nampak masih menutup kawasan yang banyak menghasilkan berbagai jenis sayuran dan buah-buahan. Hamparan kebun teh dan petak-petak berbagai jenis tanaman sayuran membuat mata terasa segar. Pot dengan berbagai jenis bunga berjejer sepanjang jalan. Terutama tanaman kaktus yang beragam bentuk terlihat begitu manis. Apa lagi strawberry yang siap panen membuat siapapun yang melihatnya akan tergoda. Kalau ia punya banyak waktu mungkin sudah berhenti untuk membeli oleh-oleh buat sang Bunda. Namun saat ini ada yang lebih penting, menemui wanita yang semalam telah membuatnya hampir gila. Semalam, saat pulang dari kedai, Milan merasa malam yang begitu panjang. Sekitar tengah malam ia terbangun karena mimpi buruk dan mendapati tubuhnya bermandikan keringat. Setelah itu ia tak bisa lagi memejamkan mata. Wanita penjual sate itu terus membayangi di pelupuk mata. Bila dibandingkan dengan wanita-wanita yang
Baca selengkapnya
BAB 25
Jarak keduanya semakin dekat. Indah yang tadi begitu beringas perlahan menunduk seiring butiran bening yang menyusuri pipinya. Ia benar-benar tak sanggup menatap mata teduh pria di depannya. Melihat bahu Indah yang berguncang karena menahan isak, Milan pun merengkuh tubuh Indah ke dalam pelukannya. Tak perduli dengan kedua orang tua Indah yang berada di ambang pintu. Tangis Indah seketika pecah di dada bidang pria yang yang sedang memeluknya. Kedua orang tua Indah saling tatap. Mereka benar-benar tak mengerti. Pak Indra yang menarik nafas lega memberi isyarat pada istrinya untuk memberi ruang pada Indah dan Milan."Menangis lah. Keluarkan semua unek-unek yang ada di hatimu. Akang bersedia menjadi pendengar." Milan berbisik di telinga Indah yang kini mulai tenang. "Maaf!" Indah menengadahkan wajahnya yang basah bahkan di sudut mata matanya masih terus keluar air mata."Minta maaf untuk apa?" Milan mengusap air mata Indah dengan telunjuknya."Baju Akang basah." Indah merenggangkan
Baca selengkapnya
BAB 26
"Euis tahu, penderitaan Teteh lebih kelam dari apa yang pernah Euis alami. Apa Teteh ngga mau merasakan bahagia?" Euis mengembangkan telapak tangan Ibunya dan menautkan jemarinya."Bahagia? Apa masih ada kebahagiaan untuk seorang pendosa seperti Teteh?" tanya Indah."Tak ada manusia yang luput dari dosa, Teh. Soal besar kecilnya dosa seseorang itu hanya Allah yang berhak menilai.""Kamu tidak tahu siapa Teteh yang sebenarnya. Makanya bisa bicara seperti itu." Indah menyandarkan bahunya pada bahu Euis. Perlahan menarik nafas sambil berpikir apa Euis masih mau memanggil Teteh saat tahu semuanya."Siapa bilang Euis ngga tahu tentang Teteh? Sekarang lebih baik Teteh banyak istirahat. Jangan mikirin kedai dulu. Ingat pesan Om Milan." "Om Milan? Teteh jadi malu. Kemarin dia yang berusaha keras menenangkan Teteh. Entah kenapa tiba-tiba Teteh jadi ngga bisa mengendalikan diri." Wajah Indah mendadak bersemu merah."Ngga apa-apa, Teh. Kadang kita butuh orang untuk berbagi. Sudah saatnya juga
Baca selengkapnya
BAB 27
Hembusan angin lewat lewat ventilasi jendela membuat Indah terbangun dari tidurnya. Perlahan ia menarik selimut sampai ke bagian dada. Hujan yang turun sejak siang membuat udara semakin dingin. Euis tampak tidur pulas di sampingnya. Bu Diah dan Pak Indra sejak tadi pagi pamit ke rumah lama. Berhubung hujan deras mereka tidak pulang ke rumah Indah. Jarum jam dinding kuno di kamar Indah menunjuk di angka dua. Masih terlalu malam untuk memulai pagi. Beberapa kali Indah menguap, setiap kali habis minum obat ia selalu tak bisa menahan rasa kantuk. Perlahan Indah memiringkan tubuhnya menghadap Euis yang sedang mendengkur. Arhhhhh!Ampun!Indah yang baru terlelap sambil memeluk tubuh Euis kembali terjaga. Suara-suara penuh kesakitan itu begitu dekat di telinga. Bahkan terasa hangat seperti nafas yang sengaja ditiupkan di belakangq punggungnya. Indahhhh! Indah menajamkan pendengarannya. Suara serak dan berat yang memanggil namanya begitu dekat. Tengkuk Indah terasa menebal. Bul
Baca selengkapnya
BAB 28
"Tapi apa, Dok? Apa ada yang salah dengan nama saya?" Indah menatap lekat wajah Milan yang sedang mengamati namanya dengan wajah serius."Maksud Akang, namamu akan lebih bagus kalau digabung dengan nama Akang." Kali ini Milan berhasil membuat wajah Indah seperti kepiting rebus. "Pak Dokter kalau bercanda suka oper dosis." Indah mencoba mengimbangi candaan Milan."Oper dosis istilah kedokteran bermakna orang yang berlebihan mengkonsumsi suatu obat. Sementara Akang, belum minum obat tapi sudah oper dosis.""Ishh, Akang ini becanda terus. Kasihan pasien yang lain nunggu giliran." "Pekerjaan Akang ini paling enak. Jarang ada pasien. Jadi kita punya banyak waktu untuk ngobrol.""Tapi Indah ke sini kan mau berobat.""Kamu itu ngga sakit. Apa lagi kalau setiap hari bersama Akang." Mata teduh Milan menatap wajah Indah. "Akang sendiri tahu apa penyakit Indah. Untuk itu datang ke psikiater." Indah benar-benar bingung mau mulai dari mana karena dokter yang ia temui sudah tahu segalanya."Begi
Baca selengkapnya
BAB 29
Indah mengerutkan kening. Dia tanya apa, yang dijawab apa. Tapi ia akui bersama Milan yang suka bicara ngasal dan ngga nyambung membuat Indah lebih sering tersenyum. Bertahun-tahun hidup dalam ketegangan sampai lupa cara tersenyum. Setiap hari ketakutan selalu menyergap apa lagi kalau Danang di rumah dan ibunya sedang pergi. Mau tidak mau harus melayani nafsu bejadnya.Faiz, pria yang pertama kali mengajarkan ia tersenyum. Dengan lelucon konyolnya dan puisi-puisi yang membuat angannya melambung. "Neng, kalau si Jalu sudah besar dan montok kita jual. Uangnya kita pakai untuk jalan-jalan ke kampung bambu. Kita menyewa penginapan di sana,'' ucap Faiz saat mereka sedang menikmati terang bulan di teras rumah.Ternyata ucapan Faiz malam itu tak pernah bisa terpenuhi sampai sekarang. Setelah itu ia menghilang selama tiga hari tiga malam dan kembali dalam keadaan tak bernyawa. Hidupnya seakan berakhir saat itu juga. Tak ada gairah hidup karena sang pelita telah padam menyisakan gulita yang pe
Baca selengkapnya
BAB 30
"Maksud Akang, yes kita makan," jawab Milan sambil menatap tangan Indah yang melingkar di pinggangnya.Indah mengedarkan pandangan ke sekeliling restoran yang terletak di pinggir danau. Saung-saung kecil yang unik mengelilingi danau kecil sehingga sangat indah. "Kamu ternyata romantis juga, ya. Pinter memilih tempat," ucap Milan begitu mereka duduk sambil menunggu pesanan datang."Sssttt, makanan sudah datang. Ngegombalnya nanti lagi." Indah menyilang kan telunjuk di bibirnya."Bener, ya, nanti lagi." Milan tersenyum jail.Gurame bakar, ulukutek leunca, sambal terasi, lalapan, nasi liwet dan beberapa makan khas kuliner sunda begitu menggugah selera. Namun saat Indah sedang asik menikmati makan ...."Kenapa, Ndah?" Milan menatap Indah yang sedang mengeluarkan sesuatu dari dalam mulutnya."Kok, di makanan Indah ada cincinnya?" Indah mengamati benda mengkilap berupa cincin."Wahh, kamu beruntung." Milan seolah tak perduli dengan keheranan Indah. Ia asik dengan makanannya."Jangan
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234
DMCA.com Protection Status