Semua Bab Ratu Pinjol: Bab 51 - Bab 60
71 Bab
Bab.51: Pov Ibu
"Disti, ayo bangun ini sudah jam berapa?" mamanggil anak sulungku seraya membuka jendela kamarnya lebar-lebar. Disti bergeming, dia masih berbaring menggunakan selimut tebalnya. Bahkan kini selimutnya dia naikan ke atas kepala, sehingga menutupi seluruh tubuhnya.Aku memang harus bersabar menghadapi anak sulung yang satu ini. Berbeda sekali dengan adiknya Dinar, jam segini dia sudah bersiap berangkat ke sekolah menggunakan sepedanya.Tidak kunjung mendapatkan respon dari Disti, aku menarik selimutnya dan membuangnya ke lantai. Aku berkacak pinggang dan melotot ke arahnya."Bangun, ini sudah jam berapa? Nanti kqmu bisa terlambat ke sekolah. Apa kamu mau dihukum lagi oleh guru kalau sampai terlambat lagi?!!" bentakku kepada Disti.Kali ini bentakanku berhasil membuatnya terbangun dari pembaringannya. Dia mengucek kedua mata dan menatap ke arahku dengan tatapan marah."Ibu bisa nggak, banguninnya biasa aja? Kan bisa pake cara baik-baik. Kayak waktu bangunin si Dinar, Anak emas Ibu!" pro
Baca selengkapnya
Bab.52: Telepon dari Orang tak Terduga
"Mbak Dinar, kok diam saja? Siapa memangnya yang tega menitipkan orang tuanya ke panti asuhan?" tanya Bu Ustadzah lagi."Kakak saya, Bu Ustadzah" jawabku lirih.Akhirnya aku menceritakan semuanya tentang kak Disti. Termasuk kebohongannya selama ini kepadaku yang tidak berterus terang tentang keberadaan ibu. Andaikan dulu dia meminta untuk merawat ibu, pasti akan kulakukan walaupun kehidupan serba kekurangan, karena sudah menjadi tanggung jawab seorang setiap anak berbakti ke pada orang tua, sampai akhir hayatnya.Bu Ustadzah menarik nafas dalam dan menghembuskannya perlahan. Aku tidak tahu dalam hal ini bersalah atau tidak, karena telah membiarkan ibu yang telah melahirkan dititipkan ke panti jompo, dan dirawat oleh orang yang tidak ada hubungan darah sama sekali. Aku sangat mengkhawatirkan keadaan ibu. Apakah Ibu baik-baik saja selama tinggal disana? Aku pernah mendengar berita di televisi, ada oknum pengurus panti jompo yang menelantarkan pasiennya."Bu Ustadzah, apakah saya bersa
Baca selengkapnya
Bab 53: Pertemuan Kedua
"Ya, Syaiful. Saya sudah ada di dekat gerbang sekolah Dani. Saya ingin mengantar Mbak Dinar dan Dani pulang," ucap Mas Syaiful datar."Ooh, i-iya Mas" jawabku terbata.Mas Syaiful mengakhiri pembicaraan denganku.Jawaban Mas Syaiful terdengar sangat datar, tetapi berbeda denganku yang jelas sekali terdengar gugup. Aku tidak tahu, apa maksud Mas Syaiful datang menjemput. Aku tidak mau menduga-duga, khawatir jatuhnya akan menjadi suudzon. Namun aku tidak bisa memungkiri jika ritme jantung tiba-tiba berdetak tidak beraturan.Darimana Mas Syaiful tahu nomorku? Ah ... sudah pasti Bu Ustadzah yang memberikannya. Ada perasaan tidak enak dan canggung berhadapan dengan seorang laki-laki dengan statusku saat ini. Walaupun ada Dani bersamaku tetapi tetap saja merasa gugup. "Dani, ayo kita pulang," ajakku kepada Dani yang sedang terkantuk-kantuk di tempatnya duduk."Hemmm ... mobilnya sudah ada Bu?" tanya Dani."Iya, ayo," aku menarik tangan Dani dan memapahnya berjalan keluar dari area sekolah.
Baca selengkapnya
Bab.54: Kembali Berduka
Hatiku kembali berdebar, mendengar suara Mas Syaiful. Ada apa gerangan dia sudah berada disini pagi-pagi sekali? Apakah dia ingin membuktikan ucapannya, mengenai rencanya ingin belajar ilmu agama langsung kepada Bu Ustadzah? Dua kali bertemu dengannya, aku sedikit bisa menyimpulkan kalau Mas Syaiful adalah tipe orang yang suka memberi kejutan. Beruntung, untuk mencapai kamarku tidak perlu melewati ruang tengah. Sehingga aku bisa melenggang bebas masuk ke kamar. Biarkan saja aku berpura-pura tidak tahu dengan kedatangan Mas Syaiful, karena merasa tidak ada urusan dengannya. Berusaha fokus pada urusanku sendiri. Rencananya hari ini aku ingin menemui ibu yang berada di panti sosial yang alamatnya didapat dari Mas Syaiful. Aku mengenakan sebuah gamis berwarna coklat mocca, di padukan dengan sebuah khimar yang berwarna senada. Menyapukan bedak tipis ke wajah dan sedikit lipstik berwarna peach agar tidak terlihat pucat. Biasanya jika di rumah, aku jarang sekali berhias. Paling banter hany
Baca selengkapnya
Bab.55: Bertemu Ibu
"Coba tolong di cek sekali lagi, Mbak. Siapa tahu yang meninggal itu Ibu Murniasih yang lain," bantah Mas Syaiful tidak percaya dengan informasi yang diberikan wanita bertubuh gempal itu, sama halnya dengan diriku.Wanita itu kembali menatap layar komputer di depannya sekali lagi, lalu kemudian dia terlihat menghembuskan nafasnya seraya menggeleng."Maaf, Pak. Namun nama Ibu Murniasih di panti ini cuma ada satu, tidak ada Ibu Murniasih lain. Ibu Murniasih dengan penanggung jawab Ibu Disti kan?" timpal wanita bertubuh gempal itu dengan wajah penuh keyakinan.Tubuhku hampir luruh ke lantai jika saja Mas Syaiful tidak sigap menahan dari belakang. Kepalaku terasa sakit dan nafas tiba-tiba terasa sesak. Mas Syaiful membawaku duduk di depan meja kerja wanita bertubuh gempal tadi. Sementara Dani menunjukan wajah khawatirnya.Wanita dihadapanku itu terlihat panik, namun segera berinisiatif memberikanku air mineral dalam gelas. Mas Syaiful memberikan gelas air mineral yang sudah diberikan sedo
Baca selengkapnya
Bab.56: Keajaiban Allah Lagi
Teruntuk kedua anakku, Disti dan Dinar.Maafkan Ibu belum bisa menjadi orang tua yang baik selama ini untuk kalian berdua. Namun percayalah, Ibu menyayangi kalian tanpa membedakan satu dengan lainnya. Untuk Dinar, Ibu minta maaf kepadamu, Nak karena selama ini seolah telah melupakanmu. Itu semua karena Kakakmu yang selalu melarang Ibu untuk bertemu denganmu. Namun doa selalu terpanjatkan untukmu dan keluargamu di setiap sujud Ibu. Untuk Disti, Ibu sudah memaafkanmu. Walaupun kamu memperlakukan Ibu kurang baik, tetapi mungkin kamu melakukannya karena sedang khilaf. Ibu juga sudah memaafkanmu yang telah menitipkan Ibu ke panti ini. Walaupun terkadang rasa sepi menyerang, tetapi disini Ibu punya banyak teman untuk berbagi. Maaf kan Ibu karena tidak bisa mewariskan harta untuk kalian berdua. Satu-satunya harta peninggalan Ayah kalian sudah di jual oleh Disti untuk bisnis suaminya. Padahal tanah warisan keluarga Ibu yang berupa tanah kosong di kota juga sudah di jual untuk membiayai kulia
Baca selengkapnya
Bab 57: Tamu di Malam Minggu
"Ibu, Dani serius. Kok Ibu malah bercanda sih? ucap Dani seraya merengut."Iya deh, Ibu serius. Harga satu dollar itu sekitar empat belas ribu rupiah, Dani. Coba kamu hitung sendiri, jadi berapa?" ucapku menantang Dani. "Berarti 2000 dollar dikali empat belas ribu rupiah," gumam Dani, seraya jari jemarinya dia gunakan untuk berhitung.Aku tersenyum melihat Dani yang sedang sibuk berhitung. Sengaja aku tak membantunya, ingin tahu sejauh mana dia memahami dengan pelajaran berhitung yang sudah diajarkan."Empat belas kali dua hasilnya dua puluh delapan, ditambah nolnya ada enam Bu. Jadi berapa ya? Dani belum belajar nol yang jumlahnya sebanyak itu!" seru Dani bingung, seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal.Aku tak bisa menahan tawa, Dani baru kelas satu SD jadi belum belajar berhitung yang nominalnya jutaan."Hasilnya jadi dua puluh delapan juta, Sayang," jawabku seraya menyugar rambut Dani dengan penuh kasih sayang."Waaah, banyak sekali Bu. Itu artinya kita bisa beli rumah yang
Baca selengkapnya
Bab.58: Pinangan dari Mas Syaiful
Aku menganggukkan seraya melangkah menghampirinya."Kok diam saja, ayo duduk," tawar Mas Syaiful, ketika sudah berdiri di depannya.Aku merasa gugup karena hanya berduaan dengannya. Meskipun tempat Kami berdua berada di teras rumah, tetapi aku tetap merasa kikuk. Merasa tidak nyaman dengan statusku. Terlebih aku hanya berduaan saja dengan laki-laki yang bukan mahram. Namun ketika berada di ambang kebimbangan, Bu Ustadzah datang menghampiri kami dengan membawa sebuah nampan di tangannya yang berisi makanan dan minuman.Aku segera menyambut nampan yang di bawa Bu Ustadzah. Ada rasa sungkan, karena biasanya aku yang mempersiapkan jamuan jika ada tamu yang datang berkunjung. Bu Ustadzah kemudian duduk di samping Mas Syaiful."Ayo diminum dulu teh manisnya, biar kalian lebih santai," tawar Bu Ustadzah seraya tersenyum kepada kami berdua.Mas Syaiful membalas senyum Bu Ustadzah, seraya meraih secangkir teh buatan Bibiknya.Suasana hening, tidak ada yang berkata sepatah katapun. Sementara ak
Baca selengkapnya
Bab.59: Kembali Menjadi Milikku
Keesokan harinya aku dan Dani sedang bersiap bertemu dengan Pak Bonang, untuk bertransaksi mengenai pembelian rumah lama kami. Wajah Dani terlihat begitu semangat dan sumringah. Dia sudah tidak sabar untuk segera menempati rumah lama kami kembali. Salah satu alasannya selain merindukan kenangan kami dulu, dia juga ingin segera bertemu dengan sahabat baiknya, Kevin.Dani tidak memiliki teman di lingkungan rumah Bu Ustadzah, karena memang jumlah anak kecilnya sedikit dan tidak ada yang seusia Dani. Dia mempunyai banyak teman hanya di sekolahnya saja. Setelah selesai bersiap, kami pun berpamitan kepada Bu Ustadzah."Bu Ustazah, kami izin keluar dulu mau ada sedikit urusan." Pamitku seraya mencium punggung tangan beliau dengan takzim, pun dengan Dani."Iya, hati-hati ya Mbak Dinar dan Dani. Bawa motornya jangan ngebut-ngebut!" pesan Bu Ustadzah seraya tersenyum.Kami menjawab dengan anggukkan dan meninggalkan Bu Ustadzah yang menatap kepergian kami dengan senyum simpulnya. Aku bersyukur k
Baca selengkapnya
Bab.60: Bertemu Kak Disti
Mereka saling berpelukan, melepaskan kerinduan sebagai sepasang sahabat. "Apa kabar, Dani?" tanya Kevin kemudian seraya melepaskan pelukannya."Kabarku baik, Kevin" jawab Dani."Kamu kenapa pindah? Aku jadi kesepian tidak ada teman." Tanya Kevin seraya mengerucutkan bibirnya."Aku pindah karena rumah telah dijual, Kevin. Tapi sekarang Ibu sudah membeli rumah itu lagi. Sebentar lagi aku akan pindah kesini!" seru Dani seraya tersenyum."Benarkah? Hore ... Aku punya teman lagi," sorak Kevin senang.Aku dan Mbak Sherli tersenyum melihat tingkah putra Kami.Mbak Sherli mempersilahkan kami untuk masuk ke rumahnya, tetapi aku menolak dengan halus dan lebih memilih duduk di teras rumahnya."Jadi Mbak Dinar sudah resmi membeli kembali rumah yang dulu?" tanya Mbak Sherli penasaran."Iya, kami baru selesai bertransaksi dengan Pak Bonang," jawabku."Alhamdulillah. Semoga secepatnya Mbak pindah kesini, karena semenjak kepindahan Dani, dia terlihat kurang bersemangat. Semoga dengan kepindahan Mbak
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
345678
DMCA.com Protection Status