All Chapters of ISTRI LUGU MANDOR TAMPAN: Chapter 231 - Chapter 240
277 Chapters
231. Menikah Dengan Pembunuh
 Aku sangat bersyukur ketika akhirnya operasi ibu bisa berjalan dengan lancar bahkan pemulihan ibu bisa berlangsung dengan sangat cepat. Selama beberapa hari ini Mas Bara memberikan aku kompensasi untuk membersamai ibu. Dia memberikan aku ijin untuk tetap tinggal di Surabaya sementara dia harus kembali ke Ibukota untuk menyelesaikan pekerjaannya yang sempat tertunda. Namun ketika Mas Bara telah mengetahui kabar tentang keadaan ibu yang sudah membaik, suamiku itu kemudian segera menjemput untuk memintaku kembali ke rumah kami. Aku masih bisa menahan segalanya bahkan menuruti keinginannya untuk kembali ke Jakarta. Lagi-lagi dia tetap tak mengijinkan aku untuk menemani ibu kembali ke kampung halamanku. Ibu pulang ke desa dengan diantar oleh Mbak Murni juga Mas Rahmat yang selama bertemu dengan Mas Bara selalu mendapatkan pengabaian dan tatapan tajam dari suamiku. Bahkan
Read more
232. Merencanakan Untuk Pergi
 Aku masih tak bisa menenangkan hati bahkan hingga keesokan harinya. Bahkan mungkin aku menjadi tak kuasa untuk menengok kedua anakku yang harusnya pagi ini harus aku persiapkan segala keperluan mereka sebelum berangkat ke sekolah. Aku masih bingung untuk menelaah apa yang telah aku ketahui saat ini. Aku hanya bisa termangu bahkan sampai beberapa lama, di atas balkon, memandang luruh ke arah kejauhan dengan pandangan kosong sementara pikiranku terlalu carut marut. Aku terlalu menaruh ekspektasi terlalu tinggi pada sosok lelaki yang menikahiku, menyandarkan terlalu banyak pada pundaknya hingga aku melupakan tentang sebuah kekuatan besar lainnya yang harusnya menjadi tempat aku memasrahkan segalanya. Beberapa kali aku menggumamkan istighfar diselingi helaan nafas panjang demi bisa menghilangkan rasa sesak di dada. Aku terus berpikir tentang langkah apa yang harus aku l
Read more
233. Tertekan
Setelah menimbang beberapa saat dan melewati perjalanan yang cukup panjang akhirnya aku menghentikan mobilku di sebuah penginapan kecil yang aku yakin akan sulit untuk dilacak oleh suamiku. Aku membayar dengan uang cash karena aku yakin penggunaan kartu apapun dari dompetku selalu bisa dengan mudah dilacak oleh suamiku. Bahkan sejak awal aku sudah meninggalkan gawai yang biasanya selalu aku pegang. Semua alat komunikasi yang dimiliki Raka dan Raya juga sudah aku lucuti. Aku memang berniat untuk benar-benar menjauh dan menghirup aura kebebasan dari sosok suami yang terlalu dominan dan otoriter. Semakin aku jauh aku malah semakin teringat dengan segala dominasi Mas Bara yang mencekikku dan membatasi setiap pergerakanku bahkan yang terakhir dia benar-benar tak memperbolehkan aku untuk keluar rumah sama sekali tanpa didampingi olehnya. Aku menganggap semua ini sudah sangat keterlalua
Read more
234. Pulang Ke Desa
 Aku terperangah ketika mendengar pertanyaan anakku. Aku menjadi tergeragap hingga sulit untuk memberikan jawaban atas pertanyaan Raka yang terlalu lugas itu. Aku mendesah panjang sebelum kemudian membalas tatapan Raka yang terunggah tajam padaku. “Bagaimana kamu bisa berpikir begitu?” “Tentu saja Ma, lagian kenapa kita pergi pas seharusnya aku dan Raya sekolah? Bukannya liburannya sudah selesai, dan kita waktu itu menghabiskannya di Amerika? Terus kenapa Mama tetap memaksa mengajak kami pergi?” Raka kembali mencecarku dengan pertanyaannya yang kritis. Kecerdasan Mas Bara benar-benar menurun pada anakku termasuk juga dengan sifat keras kepalanya. Aku mengedikkan bahu sesaat, lalu berusaha mengulas segaris senyuman wajar untuk putraku yang seperti memendam kecewa padaku. “Karena aku ingin mengajak
Read more
235. Raya Jatuh Sakit
Aku mengernyit gelisah ketika mendengar kalimat ibu, seolah jika kedatangan kami bertiga sudah dia perkirakan. Aku menjadi ragu apa pada akhirnya ibu akan secepatnya mempertemukan kami semua dengan Mas Bara, sesuatu yang masih belum ingin aku lakukan. Aku tak langsung mendekat dan menghambur ke dalam pelukan ibuku. Padahal biasanya aku akan selalu mudah terbawa haru dengan setiap pertemuan kami yang memang tak bisa senantiasa tercipta. Setelah memberikan pelukan kepada anak-anakku ibu baru mengarahkan tatapannya yang lekat ke arahku. Senyumnya masih terurai meski tak selebar tadi. “Kamu tidak ingin memeluk Ibu, Rin?” Aku termangu sesaat meski kemudian aku tetap saja memeluk ibuku dengan sangat erat. Lega rasanya hatiku saat melihat ibu dalam keadaan sehat setelah beberapa waktu sebelumnya aku sempat melihat ibu dalam keadaan yang tak berdaya karen
Read more
236. Dokter Rahayu
 Mbak Murni kemudian segera meminta pada Iqbal putra pertamanya untuk segera memanggil seorang dokter. “Bal, tolong panggilkan Bu Dokter Rahayu ke sini, cepetan ya Le!” seru Mbak Murni tegas. Tanpa banyak bertanya anak pertama dari Mbak Murni itu langsung berlari untuk memanggil dokter yang namanya seperti cukup familiar di telingaku. Setelah itu Mbak Murni membantuku untuk membawa Raya berbaring di kamar. Aku menjadi kian cemas saat mendapati demam anakku yang semakin meninggi. Melihat saudaranya sakit dan tidak berdaya, Raka juga menjadi sangat khawatir. Tapi kemudian putraku malah menatapku dengan sangat tajam. “Semua ini salah Mama, Raya sakit gara-gara Mama,” ucap Raka sengit terus saja menyalahkan aku. Aku terhenyak terus disudutkan oleh anakku. Aku tak b
Read more
237. Bertemu Kembali Dengan Mas Hilman
 “Assalamualaikum Rindu!” Aku sontak menoleh pada asal suara dan menjadi terperangah meski bibirku tetap memberikan jawaban atas salam yang sudah terlontar. “Wa’alaikumsalam, Mas Hilman?!” Aku perlahan mulai bangkit dari dudukku dan menghampiri teman lamaku yang sebelumnya kami sempat bertemu saat aku masih tinggal di Jakarta. Lelaki itu kulihat sekarang mengulas senyumnya dengan sangat lebar padaku. Wajahnya terlihat terlalu sumringah saat melihat diriku yang sedang mematung memandangnya. “Aku sudah mendengar keberadaan kamu di desa ini dari adikku Rahayu, rasanya ini sebuah keajaiban melihat kamu lagi di desa ini.” Mas Hilman dengan sangat lugas mengungkapkan kebahagiaannya. Aku menanggapi dengan datar segala antusiasnya. Aku tetap harus menjaga sik
Read more
238. Kunjungan Kawan Lama
Sontak aku menoleh dan memandang resah ke arah Raka yang baru saja melontarkan tanya tentang sosok yang aku katakan sebagai seorang pembunuh.Aku terkesiap resah menjadi tak bisa berkata-kata. Walau bagaimanapun aku tak akan pernah bisa menceritakan pada mereka tentang apa yang terjadi sekarang, bahkan juga tak akan sanggup untuk mengatakan jika papa mereka sudah membunuh Mbah Kakung mereka.Aku hanya bisa mengernyit resah sembari menjatuhkan air mata, sampai kemudian ibu mendekati anak-anakku sembari mengulas senyumnya.“Bukan siapa-siapa sayang, mama kalian sedang menceritakan tentang teman masa lalunya, itu sama sekali tidak penting untuk diceritakan sama kalian.”Ibu terlihat sangat tenang saat menjawab pertanyaan Raka yang memang sangat kritis itu.“Oh iya sekarang kalian ucapkan salam buat Mbah Kakung, karena setelah ini kita akan pulang.”Ibu kemudian memeluk pundak anak-anakku, untuk digiring dan berdiri di dekat pusara bapak. Setelah mengucapkan salam kami kemudian berbalik
Read more
239. Tawaran Mengajar
                                                                                                                                                                      &
Read more
240. Kesarkasan Mas Rahmat.
Aku dan Mas Hilman langsung menoleh ketika mendengar suara teguran dari sesosok pria yang kini telah berdiri di hadapan kami.“Mas Rahmat!” sapa Mas Hilman sembari bangkit dan mengulurkan tangan untuk menyambut kedatangan kakak pertamaku yang setelah seminggu kedatanganku di rumah ini baru muncul dan menampakkan hidungnya di depanku.Mas Rahmat hanya memberikan tanggapan seperlunya saja pada Mas Hilman yang selalu saja menampakkan keramahannya pada sosok kakak pertamaku itu.Nyatanya Mas Rahmat sekarang lebih memilih untuk memindaiku dengan tatapan yang terlalu lugas.“Sungguh sangat mengejutkan melihat kamu berada di rumah ini? Apa kamu sudah mendapat ijin dari suami kamu yang selalu tak pernah menginginkan kamu mengunjungi desa ini? Atau jangan-jangan kamu pergi tanpa sepengetahuan suami kamu?”Mas Rahmat masih sama seperti sebelumnya selalu menampakkan sikap sarkasnya padaku.Aku hanya bisa menanggapi dengan helaan nafas panjang menjadi terlalu malas untuk menjawab semua pertanyaan
Read more
PREV
1
...
2223242526
...
28
DMCA.com Protection Status