Kesucianku yang nyaris terenggut nyatanya membawaku pada sebuah status baru. Mas Bara, pria yang bekerja sebagai mandor sebuah proyek di desaku, yang juga menolongku dari peristiwa mengerikan itu memintaku menjadi istrinya. Meski ragu karena kami hanyalah orang asing yang belum saling mengenal, aku pun menerima pinangannya karena tak lagi punya pilihan. Namun, gerbang pernikahan itu nyatanya menunjukkan siapa sebenarnya suami tampanku itu. Pria yang begitu lembut dan mesra memperlakukanku itu memiliki segudang misteri yang tak henti membuatku terpukau. Sampai tiba pada sebuah rahasia besar yang tak pernah aku sangka menggoyahkan keyakinanku padanya. "Kamu akan mempercayaiku kan, Rindu?" Pertanyaannya kali pertama setelah kami memadu cinta kembali terngiang. Mampukah aku kembali mempercayai pria dengan seribu rahasia ini? Cover (image and all element) supported & edited by: Canva Pro
View More"Kang kita mau ke mana?"
Aku tak dapat menahan tanya ketika pria dewasa berkumis tebal yang tak lain adalah Karso, kakak iparku sendiri, mendadak datang dan menyeretku dari makam bapak untuk mengikuti langkahnya."Nggak usah banyak tanya. Ikut saja!"Karso tetap saja memaksa sama sekali tak melepaskan cekalan tangannya. Pria bertabiat kasar yang selama ini suka mabuk dan judi itu, benar-benar terlalu kuat untuk aku lawan. Terlebih, sekarang tangan kiriku masih merasakan nyeri setelah menjalani operasi patah tulang usai kecelakaan di pagi buta tiga hari lalu yang merenggut nyawa bapakku.Aku masih terus memberontak, tetapi cekalan Karso pada tanganku begitu kuat, membuatku sulit untuk melepaskan diri. "Kang aku nggak mau ikut kamu!"Melihatku melawan Karso langsung menoleh ke samping dan menatapku tajam. "Katanya mau kuliah?!" Mata pria itu mendelik tajam ke arahku, membuat nyaliku sedikit ciut, terlebih ketika ia mengungkit cita-cita terbesarku. "Kalau mau kuliah, ikuti saja kataku! Kamu akan dapat uang banyak buat wujudin mimpimu itu!"Aku memang memiliki cita-cita untuk berkuliah di kota besar, kemudian menjadi guru. Namun karena didera masalah ekonomi, kuurungkan dulu rencanaku sembari mengumpulkan uang dengan membantu bapak bekerja di sawah milik orang lain.Saat pikiranku sibuk, rupanya Karso dengan mudah membawaku semakin jauh. Tidak sadar, kami sudah sampai di ujung jalan desa. Keningku mengerut, terlebih saat pendengaranku menangkap suara gemerisik daun yang terdengar aneh. Seperti suara daun yang dibuat oleh seseorang. Namun, saat aku menoleh, tak kulihat seorang pun di belakang kami.'Mungkin aku salah dengar.' Aku mulai mengabaikan prasangkaku, kembali memusatkan perhatian ke depan.Hingga tak lama kemudian, kami sampai di sebuah rumah papan yang cukup terawat, yang sebelumnya tak pernah aku tahu keberadaannya di ujung desa ini. "Kang ini rumah siapa?"Perasaanku semakin tidak enak sekarang. Apalagi gelagat Karso mulai terlihat berbeda, semakin memindaiku dengan tatapan lekat, sangat menyergap kuat. "Tunggu apalagi? Ayo masuk!"Kakak iparku semakin mendesak tak sabar. Dia mulai menarik pergelangan tanganku sembari menyeretku agar mau mengikuti langkahnya. Aku tak bisa melawan, bahkan dia kian kuat mendorong tubuhku agar aku bisa segera masuk ke rumah yang asing untukku.Saat di dalam, mataku menangkap sesosok pria bermuka bopeng yang sebelumnya sudah cukup aku kenal. "Juragan Mukti?!" Mataku membelalak saking kagetnya.Juragan Mukti adalah orang yang sempat melamarku beberapa hari sebelum bapak berpulang. Kala itu, lamarannya ditolak bapak mentah-mentah. Kini, kecurigaanku pun muncul. Apakah kecelakaanku dan bapak didalangi olehnya?Pria bertubuh besar itu malah terkekeh saat melihat kekagetanku. "Iyo, Cah Ayu. Ini memang aku."Pria yang awalnya sedang duduk santai sembari menikmati rokok cerutunya itu malah bangkit saat melihatku sudah berdiri di hadapannya. Dengan sangat kurang ajar pria kaya di desa kami itu malah menyentuh wajahku.Aku langsung menampik dan memalingkan muka yang membuat juragan itu menatapku nyalang. "Karso bilang kamu butuh uang?"Aku bergeming, masih enggan untuk menentang tatapan mesumnya yang sekarang bahkan sedang memindai seluruh tubuhku."Nggak usah malu-malu, Cah Ayu."Aku semakin meradang saat pria yang memiliki aroma tak sedap dan mulut bau tembakau itu kembali akan menyentuh wajahku. Aku kembali menampik tangannya, tapi kali ini dengan gerakan yang lebih lugas.Pria itu tampak makin tersinggung. Melihat perlawananku pada Juragan Mukti, Karso kemudian tak tinggal diam. "Jangan melawan, Rindu!" sergah Karso sembari menahan tanganku.Aku tak bisa memberikan perlawanan yang berarti setelah Karso mencekal tanganku. Keadaanku yang tak berdaya dimanfaatkan oleh Mukti untuk menggerayangi tubuhku.Aku berusaha berontak sambil berteriak keras sembari berteriak meminta tolong, berharap akan ada seseorang yang mendengar teriakanku. "Tolong! Siapa pun tolong aku!"Nyatanya kedua pria brengsek itu malah tergelak ketika mendengar jeritanku."Nggak ada gunanya kamu berteriak, Cah Ayu. Turuti saja aku. Kamu akan dapat bayaran mahal jika bisa memuaskanku."Aku semakin bergidik ngeri saat mendengar ucapan pria berwajah bopeng itu. "Karso cepat bawa Rindu ke kamar, aku sudah tidak tahan lagi. Kamu tunggu di luar. Aku akan berikan kamu uangnya setelah dia selesai memuaskanku."Mataku membelalak mendengar kalimat pria mesum itu. 'Jadi, Karso menjualku pada Juragan Mukti?'"Baik Juragan, puas-puaskan Juragan sama Rindu, biar aku yang jaga di luar.""Kang, aku akan adukan ini pada Mbak Murni!"Kupikir, ketika aku membawa nama kakakku, Karso akan takut dan berempati. Namun, Karso malah tertawa saat mendengar protesku. Bahkan setelah itu Karso membantu Juragan Mukti untuk menyeretku ke dalam kamar."Lepas!" Aku masih berusaha berontak, tapi lagi-lagi aku tak berdaya.Juragan Mukti berhasil mengurungku di kamar, dengan ia yang sudah menanggalkan pakaian atasnya."Saya mohon, Juragan, jangan lakukan ini." Aku menghiba dan memohon untuk dilepaskan.Namun, pria itu malah menarik gamisku dari belakang saat aku akan berlari menuju pintu."Mau ke mana, Cah Ayu?" Setelahnya, tubuhku dihempaskan ke atas ranjang untuk bisa ia kukung dengan sekujur tubuhnya yang besar."Argh!" Aku menjerit kesakitan bersama dengan rasa takut yang turut menyeruak.Pria itu mengabaikan dengan telak segala jerit tangisku. Ia semakin beringas bahkan mulai menyobek gamisku dan membuang kerudung yang aku pakai. Sebagian tubuhku mulai terlihat, membuat nafsu lelaki itu terunggah."Kulit kamu halus sekali, Nduk."Pria bopeng itu mulai meraba-raba tubuhku. Aku merasakan kengerian yang teramat sangat. Sampai kemudian dari luar sayup-sayup aku mendengar suara baku hantam dan teriakan kesakitan dari Karso. Perhatian Mukti menjadi teralihkan.Raut wajahnya yang semula penuh gairah, kini merengut tak suka. Namun, meski demikian ... Aku masih terkungkung di bawahnya, karena tangannya yang masih mencengkeram. Aku mulai menangis saat pria buruk rupa itu kembali melancarkan aksinya.Tak lama dari itu, terdengar dobrakan keras dari arah pintu, bersamaan dengan terbebasnya kungkungan di atas tubuhku. Kulihat, tubuh pria bopeng itu sudah berada di lantai dengan wajah menahan kesal dan sakit.Belum sempat melawan, Mukti dibuat tak berdaya dengan pukulan-pukulan dari seorang pria berpenampilan bersih itu. Aku terlalu terperangah dengan apa yang terjadi. Sampai akhirnya pria yang memiliki cambang halus di kedua rahangnya yang tegas itu mulai mendekatiku usai membuat babak belur lawan."Pakai ini untuk menutupi tubuh kamu." Pria itu kemudian melemparkan jaket kulit yang sebelumnya dia pakai. Aku segera mengenakannya dengan cepat, untuk menutupi tubuh bagian atasku karena gamis yang aku pakai sudah penuh sobekan. "Ayo sekarang kita pergi dari sini!" ajak pria bertubuh tegap itu pasti.Aku segera melakukan apa yang sudah ia katakan tanpa banyak bertanya. Saat aku berada di luar, barulah aku bisa mengenali pria penolongku yang ternyata adalah Pak Mandor. Aku memanggilnya demikian karena ia adalah seorang mandor yang mengawasi proyek jembatan dan bendungan di desa kami itu.Kualihkan pandanganku dari menatap Pak Mandor. Kini, tak jauh dari tempatku berdiri, kondisi Karso pun tak kalah mengenaskan. Kakak iparku itu sudah jatuh pingsan dengan beberapa luka lebam. Tak jauh berbeda dengan keadaan Juragan Mukti di dalam."Ayo, aku antar kamu pulang sekarang." Suara tegas pria itu membuatku tergagap dan segera mengabaikan kondisi Karso. "Biar dua pria itu aku yang urus."Kuikuti langkahnya dari belakang dengan pandangan berkaca-kaca. Tak terbayang, bagaimana nasibku jika ia tidak datang tepat waktu? "Pak Mandor sudah menyelamatkan saya. Terima kasih, Pak." Aku bergumam lirih ketika kami sudah berjalan menjauh dari rumah tempat aku disekap tadi.Pria yang memiliki aroma harum dan segar itu malah melirikku sesaat. "Aku melakukan ini tidak dengan cuma-cuma."Pria dewasa yang memiliki garis wajah yang tampan itu malah menatapku lekat, membuatku tergagap. "Ma-maksud Pak Mandor?""Aku meminta sebuah imbalan dari kamu.""Imbalan apa Pak?"Aku menatap pria itu gamang, menjadi penasaran dengan apa yang akan dikatakannya. Detik berikutnya, imbalan yang ia maksudkan sukses membuatku terkejut bukan kepalang."Menikahlah denganku."***“Diam, atau aku akan menembakmu seperti yang sudah aku lakukan pada Richard!” Aku terperangah saat mendengar pengakuan lelaki berwajah oriental itu. Pengakuannya jelas sangat mengagetkan aku. “Jadi kamu yang sudah menembak suamiku?!” sergahku tandas. Raymond malah tersenyum sarkas menanggapi. “Dia sendiri yang sudah memaksaku melakukan semua ini karena dia terlalu serakah,” tukas Raymond sengit. “Kamu gila!” Aku kembali memakinya dengan suara yang semakin kuat. “Tolong, tolong ....” Aku mulai berteriak ketika Raymond semakin kewalahan dan tak mampu lagi menutup mulutku. Pergerakan di pintu itu semakin intens bersamaan aku mendengar suara gebrakan yang sangat kuat beberapa kali. Raymond yang sedang menggila ini sudah menutup pintu dari dalam hingga sulit untuk dibuka. Pastinya orang-orang di luar ruangan sedang berusaha untuk mendobrak pintu itu. Sementara aku sendiri masih berjuang untuk membebaskan diri dari sergapan Raymond. Tapi beberapa detik kemudian kami malah dikejut
Aku menjadi terlalu kaget mendapati kedatangan Raymond yang sangat tak terduga.Tapi aku malah tak kuasa untuk menghalaunya yang membuat sosok itu terus mendekat dengan penuh rasa percaya diri.“Aku tak menyangka kalau dia mampu bertahan sampai sejauh ini setelah apa yang sudah dia alami,” ungkap lelaki itu sembari mengarahkan pandangannya pada Mas Bara yang sekarang hanya bisa terbaring tanpa kesadaran di atas brankar.Gelisah mulai menerjangku ketika aku mulai melihat tatapan adik dari suamiku yang kini malah memindaiku dengan sangat intens.Aku segera bangkit dan memasang sikap waspada.Setelah kemarin aku melihat sikap Raymond yang tampak berbeda begitu rapuh dan sedih tapi sekarang dia kembali menjadi sosoknya yang dulu, yang terasa licik menakutkan.“Bagaimana kamu bisa masuk ke dalam ruangan ini?”Selama ini mami melarang orang lain masuk menemui Mas Bara. Tak sembarangan orang boleh menemani Mas Bara. Hanya aku, oma dan mami yang memiliki akses untuk bisa memasuki ruangan. Kar
“Sekarang katakan saja apa kamu yang sudah membuat Richard seperti ini?” Abe malah melontarkan tuduhannya dengan terlalu lugas.Aku tak pernah menyangka jika sahabat terdekat suamiku itu akan mengungkapkan tuduhannya dengan sangat lugas pada Lina yang sebelumnya sempat kami bicarakan dan kami curigai.Lina membeliakkan mata, mengunggah kekagetannya yang terlalu ketara.Sejenak aku tak bisa mengartikan tentang ekspresi kekagetannya yang seperti itu.“Apa kamu yang sudah menembak Richard?”Abe kian menegaskan tuduhannya.Lina malah menanggapi dengan tenang hingga kemudian malah mencebik sarkas.“Jadi kalian sekarang mencurigaiku?”Aku dan Abe tak menjawab meski masih saja memberikan tatapan yang sangat lugas pada wanita yang sering mengunggah ekspresi sinisnya itu.“Aku merasa tak perlu untuk memberikan penjelasan apapun pada kalian,” pungkas wanita itu sembari langsung bangkit dari duduknya.Tapi sebelum melangkah wanita itu melemparkan pandangannya pada Abe yang sedang mengikuti perg
“Apa yang sedang kalian bicarakan?” Segera aku menoleh ke ambang pintu dan menjadi sangat kaget ketika melihat sosok yang sedang kami bicarakan telah berdiri di sana dengan memberikan tatapan yang terlalu tajam.Sempat aku merasa kalau dia sempat mendengar pembicaraanku bersama Abe tadi, yang kemudian menelusupkan rasa gelisah di dalam dada.“Kalian berdua terlihat terlalu dekat, dan aku yakin jika Richard melihat kedekatan kalian, dia tidak akan bisa menerima ini,” sindir wanita berbaju merah itu sangat sarkas.Dengan tatapan yang sama tajamnya aku mulai menentang sorot matanya. Enggan menampakkan ketundukan atas sikapnya yang selalu saja mengintimidasi.Sejak dulu Lina selalu mengunggah keangkuhannya terutama di hadapanku yang pastinya dia anggap sebagai saingan terbesarnya karena nyatanya memang hanya aku yang bisa mendapatkan hati Mas Bara sepenuhnya, sesuatu yang kini membawa kesadaranku kembali atas apa yang sudah aku dapatkan selama ini. Nyatanya memang tak ada yang paling ber
“Katakan padaku apa yang kamu ketahui tentang suamiku?”Aku segera mencecarnya dengan tak sabar, karena saat ini sekecil apapun informasi yang beredar sangat aku butuhkan karena aku benar-benar ingin menguak tabir misteri tentang penembakan suamiku yang sampai saat ini belum juga terungkap.Abe tampak memindaiku lebih lekat dan aku dengan tegas menentangnya tanpa keraguan.Lelaki bermata tajam itu kemudian menarik nafasnya sejenak sembari menautkan kedua tangannya di depan wajahnya yang lumayan good looking itu.“Sebenarnya sehari sebelum hari naas itu, aku dan Richard sempat bertemu di ruangan ini. Kami membicarakan banyak hal, terutama tentang dirimu dan segala penyesalannya.”Abe sengaja menghentikan kalimatnya kian intens memindaiku seakan ingin menebak apa yang ada di dalam pikiranku saat ini.Tapi aku memutuskan untuk membisu menunggunya melan
Sudah nyaris sebulan Mas Bara terbaring koma. Selama itu aku bertahan untuk tetap mendampingi walau keadaanku masih sering diserang mual dan rasa tak nyaman di perut.Tak ada alasan bagiku untuk menyerah karena saat ini prioritas utamaku tetap Mas Bara yang selalu aku yakini tetap bisa mendengar setiap kata yang aku ucapkan di telinganya.Bahkan setiap kali aku datang aku selalu membacakan ayat-ayat Ilahi, sebelum aku mulai mengajaknya mengobrol.“Mas, hari ini aku bawakan lavender, aromanya harum sekali. Kamu bisa menciumnya kan Mas?” tanyaku sembari mendekatkan bunga yang aku bawa di hidungnya.Aku selalu yakin jika Mas Bara selalu bisa merasakan apapun yang aku lakukan walau dia tak memberikan respon apapun. Bahkan tidak dengan kedipan mata, karena mata itu selalu terkatup rapat.Saat melihatnya tetap diam dan beku, hati ini mulai dirasuki kesedihan yang kian pekat
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments