Semua Bab ISTRI LUGU MANDOR TAMPAN: Bab 251 - Bab 260
277 Bab
251. Menjelajah Kenangan
“Katakan padaku Rin, apa yang harus aku lakukan untuk membuatmu bisa memaafkan aku?” Tatapan Mas Bara menjadi kian luruh ketika aku mulai menentangnya. Untuk sesaat aku bahkan tak bisa berkata apapun. Selama ini aku tak pernah melihat Mas Bara memohon seperti ini. Hatiku nyaris luruh tapi sebagian diri ini masih tak bisa menerima semua ini dengan mudah. Pada akhirnya aku memilih menghempaskan tangannya tanpa berkata apapun sembari mulai melanjutkan langkahku yang tertunda. Aku benar-benar tak ingin melibatkan diri dengan percakapan apapun, terutama saat Mas Bara berusaha untuk meluluhkan hatiku demi bisa membawaku kembali ke Jakarta. Ketika kami sampai di ruang tunggu dan aku melihat keberadaan Mbak Rina bersama anak-anakku, aku berusaha untuk menetralkan hati dengan tidak menampakkan segala keresahanku saat ini. Aku menyunggingkan senyuman pada w
Baca selengkapnya
252. Menjelajah Kenangan 2
Saat berada di dalam swalayan, Mas Bara meminta kepada Rina untuk mendorong troli yang akan menjadi tempat menampung belanjaan kami.Bahkan Mas Bara meminta sopir yang disewanya untuk ikut membantu acara belanja kami ini.Seperti biasa dia akan selalu memanjakan anak-anak dengan membiarkan mereka mengambil barang apapun yang mereka mau.Dengan cepat satu troli sudah terisi penuh dengan aneka snack dan kebutuhan anakku.Aku hanya memilih secukupnya karena aku merasa sebagian besar keperluanku sudah tersedia di toko milik Mbak Murni meski toko yang dikelola Mbak Murni yang bekerja sama dengan Mas Hilman adalah sebuah toko yang berafiliasi dengan sebuah aplikasi online yang lebih fokus menyediakan sayuran sebagai pemasok utama.“Kamu nggak mengambil apapun sayang?” tanya Mas Bara kemudian ketika aku hanya melihat anak-anak memasukkan beberapa batang coklat ke dalam troli.Aku hanya melirik tipis ke arah suamiku yang memang selalu memperhatikan apapun kebutuhanku.“Apa kamu nggak membutuh
Baca selengkapnya
253. Kegaduhan Di Sore Hari
 Rumah ini masih sama seperti bertahun-tahun silam. Bahkan terlihat bersih dan terawat dengan tanaman yang juga tidak banyak berubah di halaman depan. Hanya saja Pohon Mahoni di ujung halaman kini terlihat semakin menjulang dan tampak tua. Waktu berjalan dengan sangat cepat. Ketika pertama kali aku memasuki rumah ini aku masih seorang gadis belasan tahun dengan segala kepolosan yang mengikuti. Tapi kini saat aku kembali lagi aku telah menjadi seorang ibu dari sepasang anak kembar berusia tujuh tahun, dan aku juga tak sebahagia dulu setelah apa yang aku lewati dan ketahui. Aku masih termangu ketika telah memasuki kamar yang dulu pernah menjadi saksi kemesraanku bersama dengan Mas Bara. Banyak kenangan manis yang kami lewati bersama di ruangan yang dulu kuanggap begitu luas, sebelum Mas Bara memberikan rumah-rumah lain dengan kamar-kamarnya yang jauh lebih luas daripada ini. Perlahan aku m
Baca selengkapnya
254. Mengungkap Keburukan Yuni
Rasa cemas segera menjalariku saat mendengar suara Mas Rahmat yang terasa sangat penuh amarah itu. Tapi Mas Bara tetap terlihat tenang, bahkan dengan sangat percaya diri suamiku yang selalu terlihat berwibawa itu kemudian melangkah keluar dari kamar untuk menuju ke arah ruang depan. Meski Mas Bara sempat melarangku untuk keluar bersama anak-anak tapi aku tetap merasa harus melihat apa yang sedang terjadi sekarang agar aku bisa tahu dengan jelas apa penyebab kemarahan Mas Rahmat sampai datang melabrak ke rumah ini. Lagipula darimana dia tahu kalau saat ini kami berada di rumah ini. “Lepaskan aku, sialan!” sergah Mas Rahmat karena saat ini kami melihat kakak pertamaku sedang ditahan oleh anak buah Mas Bara yang ternyata juga menyertai suamiku untuk datang ke desa ini. Sekarang bahkan Rina datang mendekat untuk ikut melindungi kedua anakku yang nyatanya memang tak bisa untuk tahan untuk tida
Baca selengkapnya
255. Permintaan Maaf Yuni
 Aku mendekati Mas Bara ketika akhirnya Mas Rahmat meninggalkan rumah ini. Sepertinya kakak pertamaku itu benar-benar akan membuktikan ucapan kata-kata Mas Bara tentang istrinya. Walau aku masih belum tahu apalagi yang sedang dibuat oleh Yuni yang sepertinya memang selalu melakukan hal yang gila. “Mas, katakan padaku sebenarnya apa yang sudah kamu ketahui?” desakku menjadi sangat ingin tahu. Selalu saja Mas Bara mengetahui banyak hal, dan aku menjadi terlalu penasaran sekarang. “Sebentar lagi kamu pasti akan mengetahuinya,” jawab Mas Bara yang tampak enggan untuk berterus terang. “Kalau begitu aku akan mencaritahu sendiri, karena aku juga mengkhawatirkan Mas Rahmat, aku tak mau dia bertindak bodoh,” tegasku sembari membalikkan badan berniat untuk melangkah pergi. Tapi dengan cepat Mas Bara langsung mencekal lenganku menahanku untuk
Baca selengkapnya
256. Sprei Kenangan
“Aku mohon Mas, berilah aku kesempatan.” Yuni kembali memohon dengan merendahkan dirinya di depan Mas Rahmat yang kini mulai melirik ke arahnya. Sekilas aku melihat ada sorot kecewa di matanya, yang segera membuatku bisa meraba apa yang akan dikatakan oleh Mas Rahmat setelah ini. Yuni membalas tatapan Mas Rahmat yang menjadi kian tegas dan lugas dengan sorot penuh harap. “Yun, mulai hari ini kamu bukan istriku lagi, aku menceraikan kamu Yuni Lukita,” tegas Mas Rahmat terdengar sangat yakin. Kalimat yang terlontar dari bibirnya segera mengagetkan semua orang terutama Yuni yang sekarang bahkan mulai menyembah di kaki Mas Rahmat dengan menghadirkan tangisnya. “Mas, kamu jangan main-main, kamu sedang emosi, cabut kembali kata-kata kamu.” Yuni terlihat masih menampik, enggan untuk menerima apa yang sudah dip
Baca selengkapnya
257. Cemburu Yang Terpantik
Pagi-pagi sekali aku berniat untuk pergi ke rumah ibu, karena aku ingin mencari sayuran segar di toko milik Mbak Murni. Melihatku sudah rapi, Mas Bara langsung mendekati meski dia baru saja keluar dari kamar mandi. “Kamu mau ke mana Rin?” tanya Mas Bara penuh selidik. Aku hanya memandang lurus ke arah lelaki yang kini bercambang yang sekarang seingatku sedikit lebih kurus daripada sebelumnya tapi otot-otot di lengannya menjadi semakin terlihat liat dan kekar. Akhir-akhir ini aku memang sering melihatnya berolahraga. Bahkan tadi selepas subuh aku mendapati Mas Bara melakukan push up di dekat jendela kamar yang sudah dibiarkan terbuka. Aku mulai bisa menduga jika Mas Bara melakukan latihan yang sangat keras untuk melampiaskan gairahnya yang tak tersalurkan beberapa waktu ini. Nyaris dia tak pernah memaksaku untuk melayaninya. Dia selalu menunjukkan pengertiannya ketika
Baca selengkapnya
258. Teriakan Ibu
“Apa benar yang sudah dikatakan mereka, Rin?” Mas Bara kini mulai mendesakku. Aku bergeming memilih diam untuk beberapa saat. Nyatanya dengan cepat Mas Bara bisa mengendalikan dirinya. Alih-alih dia menumpahkan amarahnya Mas Bara kemudian menyunggingkan senyuman. “Mulai sekarang tak ada lagi yang bisa mendekati Rindu dengan leluasa, karena aku akan selalu mendampingi istriku.” Walau dengan menyuguhkan senyumnya Mas Bara ikut mengunggah ketegasannya. Bahkan sekarang dia malah memeluk pinggangku dengan posesif. “Ayo sayang kita kembali berjalan anak-anak sudah menunggu kita di depan.” Setelah mengulas senyumnya ketika akan undur diri, Mas Bara kemudian mengajakku melanjutkan langkah kami yang tertunda. Aku menjadi sedikit kurang nyaman ketika merasakan dekapan Mas
Baca selengkapnya
259. Percobaan Bunuh Diri Mas Rahmat
Tanpa menunggu lama Mas Bara langsung mengajakku ke kamar belakang untuk memastikan penyebab teriakan ibu. Sesampainya di sana kami melihat darah berceceran di kamar yang ternyata merupakan darah dari Mas Rahmat yang sedang mencoba melakukan bunuh diri dengan mengiris nadi tangannya. “Rindu, Masmu Rin, tolong dia Rin,” jerit ibu histeris sembari terus memeluk Mas Rahmat yang tubuhnya sudah tampak melemah. Mas Bara segera bertindak cepat menghubungi anak buahnya untuk menyiapkan mobil, baru setelah itu dia juga menelpon Rahayu, satu-satunya dokter di desa ini untuk memberikan pertolongan pertama sebelum dirujuk ke rumah sakit di kota. Untunglah saat ini Rahayu kebetulan sedang berbelanja di tokonya Mbak Murni jadi dia bisa segera memberikan pertolongan dengan peralatan seadanya. Baru setelah itu Mas Bara segera membawa kakak pertamaku itu ke rumah sakit. 
Baca selengkapnya
260. Memetik Buah Mangga
 “Bagaimana kalau aku yang mengambilkan mangga itu buat kalian?” Sontak aku menoleh pada sosok yang sekarang bahkan sedang melemparkan senyuman pada kami. “Mas Hilman!” sebutku dengan sedikit kaget. “Ayo Om, tolong ambilkan mangganya,” sahut Raka cepat tanpa segan. Rupanya Raka juga sudah tergiur dengan buah yang memiliki rasa asam dan manis itu. Raya juga ikut menanggapi dengan meloncat-loncat antusias. Tentu saja tanpa menunggu persetujuanku Mas Hilman segera memanjat pohon yang lumayan tinggi itu. Kami semua menanti di bawah untuk menangkap mangga-mangga yang akan Mas Hilman lemparkan. Setelah aku rasa semua ini cukup aku segera meminta kepada teman lamaku itu untuk segera turun. Bagaimanapun aku tak mau terjadi sesuatu kepada Mas Hilman walau aku tahu dia cukup mahir memanjat.&n
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
232425262728
DMCA.com Protection Status