Lahat ng Kabanata ng Merajut Kasih Yang Hampir Sirna : Kabanata 31 - Kabanata 40
80 Kabanata
Suudzon
B.32. Suudzon Hanya anggukan kepala yang mampu aku berikan untuk merespon ucapan Mas Alfi. Sungguh aku tidak yakin masih bisa bertahan jika kenangan masa lalu kembali terulang. Goresan luka lama belum sembuh total. Sungguh aku tidak siap untuk kembali terluka Untuk yang kesekian kalinya.Hanya anggukan kepala yang mampu aku berikan sebagai respon atas ucapan Mas Alfi.Aku memaksakan senyuman di bibir ketika melayani suamiku di meja makan. Aku tidak ingin terlihat banyak pikiran di depan anak-anak.Mas Alfi mengajakku untuk duduk di ruang keluarga Setelah kedua anakku pergi ke kamar mereka untuk beristirahat.Ternyata mas Alfi sekuat ini. Ia bahkan tidak ingin istirahat terlebih dahulu atau hanya sekedar membahasnya ketika di kamar saja seraya istirahat.Dilihat dari gelagat Mas Alfi sepertinya ini memang hal yang sangat penting dan mendesak.Aku mencoba sesantai mungkin agar tidak terlihat tegang oleh suamiku. Aku hanya akan menanti setiap untaian kata yang akan keluar dari bibir
Magbasa pa
rezeki nomplok
“Terserah kamu jika memang tidak ingin membantu aku.Lagian aku bekerja banting tulang juga untuk kalian. Aku ingin memberikan kehidupan terbaik untuk kalian. Namun, Jika kamu tidak merestuinya, aku akan mengurungkan niatku itu. Biarlah kita hidup pas-pasan seperti ini jika memang itu yang kamu inginkan,” ucap Mas Alfi.Setelah berkata demikian suamiku itu langsung bangkit dari duduknya menuju ke kamar. Ia bahkan tidak menoleh ke arahku.Tubuh ringkiku terkulai lemas di atas sofa. Apa aku keterlaluan?Apa salahnya Mas Alfi yang ingin mengalihkan kembali kepemilikan lahan kami ke atas namanya? Toh dulu juga atas namanya, bukan?Namun, untuk sekarang aku membiarkan dulu Mas Alfi menenangkan pikirannya.Tidak baik bukan mengambilkan keputusan secara tergesa-gesa?Aku membuang nafas kasar untuk menghilangkan sesak di kalbu.Aku menyusul suamiku ke kamar.Aku mendapati Mas Alfi sudah tidur dengan membalutkan tubuhnya menggunakan selimut. Ia mengungguniku, persis seperti anak-anak
Magbasa pa
masuk lubang yang sama
“Bagaimana mana? Siapa yang sakit?” Tanya Mas Farid perhatian.Aku menyimpan kembali ponselku ke dalam tas selempang yang aku gunakan.“Katanya, dia lagi di kantor,” jawabku jujur. Namun, hati Hati kecilku menolak pernyataan itu.“Mungkin mobilnya sedang dipinjam sama teman kantornya,” ucap Mas Farid lagi. Aku yakin dia hanya ingin menenangkanku saja karena semangat yang tadi begitu membara hilang seketika ketika aku mendapati mobil Mas Alfi berada di rumah sakit.Hanya anggukan kepala yang aku berikan sebagai respon, karena aku begitu mengenal suamiku. Bukannya dia pelit, tapi jika menyangkut kendaraan Ia memang tidak pernah mau meminjamkannya, meskipun kepada keluarganya sendiri, kira-kira sebutan apa yang cocok untuk Mas Alfi, itu terserah para pembaca.Aku menyeret langkahku mengikuti langkah mas Farid menuju kantin tempat di mana aku akan berjualan nanti.Tempatnya bagus, rapi, dan juga bersih. Seperti mimpi, Aku tidak menyangka jika aku bisa berjualan di tempat semewah ini.“
Magbasa pa
Ditampar kenyataan
MKYHS. Ditampar kenyataanMalam merangkak semakin larut, kesunyian begitu mendominasi. Namun, mataku enggan terpejam kan. Kejadian tadi sore di rumah sakit Berlian masih menari jelas dalam ingatan.Kebahagiaan yang beberapa bulan terakhir dapat aku rasakan, kini sirna sudah.Tidak bisa aku gambarkan lagi bagaimana rasanya sakit yang kini kurasakan.Dia yang sudah memohon maaf dengan kata yang penuh penyesalan, ternyata semua itu hanyalah kamuflase semata.Aku semakin yakin jika proyek yang konon katanya besar itu hanyalah tipu muslihatnya saja untuk mengalihkan semua aset ke atas namanya.Aku mengurungkan niatku untuk berjualan esok pagi, karena aku akan pergi ke kantor notaris Untuk membatalkan pengalihan kepemilikan rumah ke atas namanya.Jika dia bisa menipuku dengan begitu lihai, maka aku juga akan mengikuti alur cerita yang ia mainkan.Aku menyeka air mata yang dari tadi mengalir deras membasahi pipi. Aku tidak akan menangis lagi karena air mataku begitu berharga untuk mena
Magbasa pa
Bimbang
MKYHS. BimbangMalam menjelang, aku belum juga menghubungi Mas Alfi, Karena hati ini belum siap untuk berpura-pura bahagia di saat ia sedang terluka. Berpura-pura bahagia itu nggak enak guys.Aku harus latihan terlebih dahulu sebelum menghubungi Mas Alfi agar nanti aku tidak terbawa suasana. Aku harus bisa terlihat baik-baik saja di hadapannya dan memikirkan cara agar dia menceraikan aku.Aku harus mencari tahu terlebih dahulu di mana sekarang Mutia tinggal dan setelah itu aku akan memergoki mereka di saat sedang bersama. Aku yakin Mutia tinggal tidak jauh dari tempatku karena kemarin dia memeriksa kehamilannya di rumah sakit di kotaku.Bisa jadi juga Mutia tinggalnya agak sedikit jauh, mengingat itu rumah sakit paling elit di sini, makanya dia sengaja mengajak ke sana. Rubah betina itu kan tipe orang yang suka menghamburkan uang.“Astaghfirullah,” aku ber-istighfar agar pikiranku tidak berkelana kemana-mana.Aku mencari titik keberadaan Mas Alfi melalui ponsel. Inilah enaknya zama
Magbasa pa
Melabrak
Aku meminta izin untuk memarkirkan motorku kepada pemilik rumah yang kebetulan sedang menyirami tanaman hiasnya. Rumahnya terletak satu rumah selang dari rumah yang di tempati Mutia.“permisi, Mbak!” seruku, menegur wanita yang kuperkirakan usia ya sebaya denganku. Ia mematikan kran air, lalu beralih manatap ke arahku.“iya, ada yang bisa saya bantu, Mbak?” tanya wanita itu ramah.“Saya mau nanya, apa benar itu kediaman Mutia?” tanyaku hati-hati.“Iya, benar,” jawab wanita itu.“Apa Mbak ini saudaranya?” tanya wanita itu kemudian.“Bukan, Mbak,” jawab ku sambil menggelengkan kepala.“Saya ...” aku ragu untuk memberi tahunya.Wanita di hadapanku mengernyitkan keningnya, menanti jawaban dariku.“sebenarnya, saya istri sah dari pemilik mobil itu,” ucapku lirih.Wanita di hadapanku itu menutup mulutnya tidak percaya.“Saya ikut prihatin, Mbak,” ucap wanita itu tulus.“Makasih, Mbak,” jawabku menanggapi.“kenalkan, saya Weny,” wanita itu mengulurkan tangannya kearahku.Aku meny
Magbasa pa
singgel
Singgel Aku bertepuk tangan membuat atensi Mas Alfi dan Mutia yang sedang beradu argumen teralihkan ke arahku. “Wow. Aku salut sama proyek kamu, ternyata memang benar-benar besar,” ucapku menyindir. Namun, kalau dipikir-pikir perkataan aku itu memanglah benar, karena jalan untuk menghadirkan seorang bayi itu butuh proses yang cukup besar. “Putri,” beo Mas Alfi setelah terpaku sesaat. Tidak lupa pula Aku mengucapkan selamat kepada sang penjilat dan penghianat yang kini sudah bersatu. Aku melihat Mutia menyeringai dan memilih mendaratkan tubuhnya ke sofa. Sementara Mas Alfi menghampiriku. “Kenapa kamu bisa ada di sini?” tanya Mas Alfi sambil meneliti dari ujung kepalaku hingga ke ujung kaki. “Karena suamiku berada di sini. Sebagai seorang istri yang baik, aku akan selalu mengikuti kemanapun suamiku pergi,” jawabku santai. “Kamu enggak mempersilahkan aku masuk, Mas?” tanyaku. Aku terlihat begitu santai, sangking santainya bahkan aku tidak menyadari bahwa ada beberapa pasang mata y
Magbasa pa
kehidupan baru
“Kalau ingin bermimpi itu jangan tinggi-tinggi kali, entar kalau jatuh ke timpa tangga, kan sakit!” aku berucap dengan nada yang begitu menjengkelkan.“Kalau mau rumah mewah itu kerja cari uang, bukan kerja merusak rumah tangga orang! Jangan pernah bermimpi untuk menginjakkan kaki di rumahku, karena rumah itu akan selamanya menjadi milikku,” tegasku. “Hal itu juga berlaku untuk kamu, Mas,” imbuhku lagi.“Ibu-ibu dan bapak-bapak, kalian menjadi saksi atas perceraian aku dengan mas Alfi. Mantan suamiku sudah menalak aku di pagi yang berbahagia ini, terima kasih semuanya,” ucapku dengan sedikit menundukkan kepala ke arah para warga yang sedang menonton acara live kami di pagi ini.“kami akan menjadi saksi dengan sukarela, karena pelakor memang tidak bisa dibiarkan,” jawab salah satu ibu-ibu. Terpancar jelas aura kemarahan dari dirinya, mungkin beliau juga salah satu korban sepertiku. Hanya orang yang pernah mengalami yang tahu bagaimana sakitnya.“Setuju Bu Susi. Pelakor memang harus
Magbasa pa
Rubah betina
Tersadar dari lamunan dengan jentikan tangan Mas Fahri yang berada tepat di depan wajahku.Aku gelagapan. Mencoba melemparkan senyuman dan mengatur ekspresi senormal mungkin.“Aku baik-baik saja. Kebetulan sekarang aku lagi menjalankan program diet makanya badan ini terlihat jompo.” Akhirnya alasan itulah yang lolos dari bibir mungilku.“Badan kurus keronta seperti tiang listrik ini masih menjalankan diet? Ada-ada saja kamu ini!” Komentar Mas Farid menanggapi. Seolah mengerti tentang aku yang tak ingin berbagi cerita dengannya, pria itu balik kanan dan berlalu mencari tempat yang nyaman untuknya.Aku hanya tersenyum getir melihat punggung tegap Mas Farid dari belakang.Bodo amad dia mau percaya atau enggak. Lagian itu privasiku. Gerakan tanganku terhenti ketika aku mendengar krasak krusuk dari sebuah meja pelangganku.Wanita dengan perut buncit dan masker yang masih melekat di wajahnya terlihat sedang marah-marah. Ia memaki hidangan di hadapannya.“Nasi apaan ini? Kenapa ada b
Magbasa pa
Fitnah
Aku sengaja tidak menanggapi ucapan pelakor tidak tahu diri itu, karena aku lebih tertarik dengan mantan suamiku.Hai mantan suami apa kabar? Kapan kamu akan mengurus surat cerai kita? Apa kamu tidak ingin memperistri wanita perusak rumah tangga kita secara negara? Atau jangan-jangan Kamu memang tidak pernah berniat untuk melakukannya? Wajar sih kamu seperti itu, karena wanita murahan seperti Rubah betina di sampingmu itu tidak pantas mendapatkan surat nikah secara negara,” ucapku penuh hinaan.Semua orang yang mengenalku menutup mulut mereka dengan tangan. Mereka tidak pernah melihatku searogan ini sebelumnya. Aku yang selalu bersikap lemah lembut dan penuh perhatian, juga selalu memperlakukan orang lain sebagaimana manusia tanpa pernah menghina mereka.Bahkan aku sering memberikan makanan kepada sesama penjual di rumah sakit ini sehingga Kami semua saling mengenal.Pasti mereka tidak menyangka diriku ternyata bisa bersikap arogan juga.“Tolong istrinya dikondisikan wahai mantan
Magbasa pa
PREV
1234568
DMCA.com Protection Status