All Chapters of Seribu Pintu Sindukala: Chapter 21 - Chapter 30
58 Chapters
Bab 20 Raesaka
Satu tahun enam bulan penjara. Begitulah hakim mengetuk palu, menyudahi perkara suaminya Prisha. Mereka tetap menilai suaminya bersalah atas perbuatan yang tidak dilakukannya. Suaminya menerima putusan hakim dengan lapang dada, tanpa mengajukan banding. Baik dirinya mau pun Prisha sudah tahu, langkah itu hanya akan menambah beban mereka saja.Prisha tidak pernah tahu, dan tidak pernah mencari tahu, seperti apa kehidupan di penjara, dan bagaimana ia akan menjalani kehidupan tanpa suaminya. Pikiran-pikiran itu, sedikit demi sedikit, melebur bersama perasaan lega dan lapar yang tidak tertahankan, sehingga yang tersisa hanya sedikit harapan.Awan-awan kelabu berarak menutupi matahari, dan suhu udara di dalam warung makan sederhana meningkat meskipun sudah tidak lagi ramai pengunjung. Sambil mengusap keringat yang mengucur di pelipisnya, Nayyala menyedot sisa air jeruknya, lalu mengamati Prisha yang lahap menghabiskan makan siang. Beberapa jam yang lalu, pertemuan mereka begitu canggung.
Read more
Bab 21 Sandiwara
Cahaya sore merayap pelan menerangi seluruh ruangan berudara sejuk. Sambil tersenyum manis, dan rambutnya berserakan menutupi sebagian wajahnya, ibunya menelungkup di lantai. Matanya memandang lembut kepada Raesaka kecil yang duduk sambil merengek, tidak suka melihat ibunya yang tadi terpejam, atau mungkin dia mengira ibunya sudah mati.“Tadi pelurunya kena Ibu, tapi kan Ibu enggak kenapa-kenapa,” kata ibunya, membujuk. “Ibu cuma pura-pura luka, Sayang.” Masih dengan posisi yang sama, ibunya meraih pistol mainan berwarna kuning dan biru yang tergeletak di lantai, lalu menyodorkannya kepada Raesaka. “Ayo, kita main lagi.” Memori yang tidak pernah diingatnya itu kembali tergambar dalam pikirannya. Di kala sadar itulah, Raesaka menyaksikan wajah ibunya melebur menjadi wajah Ivan, yang babak belur, mengkilat karena keringat, dan terengah-engah pelan. Pandangan Ivan yang menggelap berkaca-kaca, menggulirkan bulir-bulir air mata. Tangannya memaksa bergerak, meraih pistol glock miliknya
Read more
Bab 22 Versus
“Bukannya kamu... tewas, Vi?” bisik Raesaka, masih merasakan beban tubuh Arkavi yang menindihnya.“Dasar bego,” hardik Arkavi. “Itu jelas rekan kita dari regu yang lain. Masa’ kamu enggak bisa bedain?” Matanya yang gelap hampir tidak berkedip saat memandang Raesaka. Bibirnya tersenyum puas, tapi singkat.“Apa kamu... bekerja sama dengan Maruk?” Pertanyaan itu sangat pahit diucapkan.Arkavi menarik kerah baju Raesaka, dan memaksanya berdiri.“Misi ini sudah selesai,” katanya.“Ini belum selesai,” balas Raesaka, suaranya tegang.Bunyi geraman dan gemeretak pukulan memecah keheningan yang tadi menenggelamkan mereka. Raesaka tidak pernah mengira peristiwa ini akan terjadi, menghadapi dan melawan rekannya sendiri, tanpa ia mengerti. Terlintas sebuah pikiran: Arkavi tidak membunuh Akarsana, melainkan Akarsana yang mengorbankan diri; mungkin ini bagian dari rencana Arkavi, mempermainkan dan menjebak musuh. Tapi, itu hanya pikiran belaka. Ketika sepatunya tanpa sengaja menginjak kulit mati
Read more
Bab 23 Marsh
Setengah berlari, Raesaka menelurusi lorong panjang dan terang, melewati pintu-pintu berwarna hitam, yang berjajar di sisi kiri dan kanannya, dan terkunci. Bunyi yang didengarnya saat itu hanya degup jantungnya, helaan nafasnya yang lelah, dan langkah kakinya. Tidak ada tanda-tanda kehadiran orang lain di sana, seakan dunia luar menjauh darinya. Sampailah ia pada satu pintu di ujung lorong, dan memutar tombolnya.Ada sesuatu yang jatuh begitu Raesaka masuk ke sana, diikuti cairan kental gelap yang menetes ke lantai yang dipenuhi bercak darah, pasir, jejak sol sepatu dan beberapa selongsong peluru. Benda yang semula dikira batu itu berguling ke dekat sepatunya, di mana sepasang mata yang mati memandang kosong padanya. Terkejut sekaligus ngeri, kakinya secara refleks melangkah mundur dan menabrak pintu di belakangnya sampai gaduh. Tangannya terangkat menutupi wajahnya yang meringis, tidak percaya apa yang sedang disaksikannya.Di dalam ruangan putih berbentuk segi delapan itu, tubuh Pu
Read more
Bab 24 Ritual
Sesuatu yang basah dan hitam, menetes mengotori wajahnya. Begitu membuka mata, Raesaka sudah berada di dalam ruangan sempit berwarna krem bercahaya suram. Ada sesuatu yang menggantung, memenuhi langit-langit ruangan berbau debu dan besi itu.Tia ada di sana, menempel pada siling, memunggungi Raesaka yang masih berbaring. Lehernya memanjang dan melengkung ke bawah, sehingga kepala dan wajahnya yang terbalik berada tepat di hadapan Raesaka. Namun, ada sesuatu yang berbeda—tidak, aku tidak ingin melihatnya, tetapi aku harus melihatnya! Tidak ada kain yang menutupi kedua matanya, dan tampak dua rongga mata yang sangat gelap dan menyedihkan, meneteskan darah kental. Bahunya tetap buntung, tidak mengeluarkan tangan-tangannya yang aneh.Guuuuuuuunnnnnnnnnnnnnngggg. Bunyi gong berdengung panjang memenuhi ruangan. Tidak ada siapa pun di sana, begitu pula dengan gong-nya.Sensasi mengerikan bergelayut mengepung Raesaka, membuat tubuhnya membeku sama sekali, dan udara di sekelilingnya menjadi
Read more
Bab 25 Maruk
“Sepertinya, wajah kamu enggak asing,” kata seseorang. “Apa kita pernah bertemu sebelumnya?”Mulanya Raeasaka tidak begitu yakin dengan apa yang baru saja didengarnya. Hal pertama yang dilihatnya dari balik kabut yang menyelimuti matanya adalah bulir-bulir air dingin, bercampur keringat dan tetesan darahnya sendiri, berjatuhan di atas permukaan meja coklat muda. Kedua tangannya dalam keadaan kosong dan bebas, saling bertautan di hadapannya, dan bajunya basah. Perlahan, rasa sakit dan sensasi panas merambat di sekujur tubuhnya yang bergetar hebat; kepalanya (yang semula ia kira meledak) pusing bukan main, dan setiap udara yang dihirupnya hanya memicu rasa ngilu yang tajam di dadanya. Sambil bertanya-tanya bagaimana dirinya bisa bertahan (haruskah ia bersyukur, atau mengutuk atas rasa sakit yang menyiksanya sekarang?), ia mengangkat wajahnya pelan-pelan.Di sisi kanan, tiga orang duduk di lantai, dalam keadaan dibelenggu dan mulutnya ditutupi lakban belapis-lapis, begitu pula dengan ti
Read more
Bab 26 Setelah (Titik) Koma
Ketika membuka matanya, Raesaka tidak ingat apa pun kecuali namanya sendiri.Bunyi ritme jantung mengiringi cahaya yang merambat pada dinding dan siling putih, membantunya merealisasikan keadaan. Kelopak matanya mengerjap beberapa kali, merasakan aliran udara melalui selang yang disematkan pada hidungnya. Tidak ada rasa sakit selain sensasi aneh yang mengganjal kerongkongannya, punggung tangannya, dan bagian kemaluannya. Kepala dan dadanya dibebat, dan gips membalut lengan kiri dan kanannya. Ia melirik ke samping, melihat seorang perawat berbaju serba biru tua, memakai penutup kepala dan masker, bergerak-gerak di sampingnya, sedang melakukan pemeriksaan berkala.Perawat itu, yang baru saja selesai memasang kantung air kemih kosong, menoleh dan menyadari tatapan lemah Raesaka. Ia kemudian mengangkat tangan dan menggerakannya di depan Raesaka, memastikan Raesaka memang benar-benar sadar. Raesaka mengikuti gerakan tangan perawat itu.“Anda bisa mendengar saya, Pak?” tanya perawat.Raesa
Read more
Bab 27 YyalaTya
Di hari yang agak mendung dan gerah, Raesaka, yang sudah bisa menenangkan diri sepenuhnya, sedang menonton film black-comedy tentang perilaku politikus yang rela melakukan apa saja demi memenuhi ambisinya untuk berkuasa. Film itu mengingatkannya pada buku yang pernah dibacanya di perpustakaan ibunya, tetapi lupa judulnya. Dia harus menahan diri supaya tidak tertawa terlalu lepas, agar tidak menyakiti tubuhnya.Sebetulnya, Raesaka menghindari acara berita, terutama yang berkaitan dengan institusinya, dan ia juga tidak mau tahu bagaimana kabar Arkavi dan perkembangan kasusnya (terkecuali, ia akan hadir apabila pengadilan membutuhkan kesaksiannya).Berhubung tidak ada lagi acara yang menarik, Raesaka memutuskan pergi ke halaman belakang rumah ibunya. Sambil duduk bersandar pada pohon kersen yang belum berbuah, semilir angin sore menyejukkan kepalanya yang sedang mengenang Purangga, Ivan, Akarsana dan rekan-rekannya yang lain. Hatinya melantunkan doa-doa yang sudah lama tidak pernah diu
Read more
Bab 28 Niskala
Rasa kecewa—karena Prisha tidak bisa dijenguk—melumer bersama coklat batang yang dikulumnya, dan Raesaka duduk di kursi belakang kereta api. Pemandangan sawah, bukit, dan gedung-gedung di kejauhan bergerak cepat berlawanan arah, dan itu membuat hatinya menjadi lapang. Setelah coklatnya habis, ia meneguk air dari botol, memakai masker hitam dan membetulkan posisi topi merah tuanya agar rapi. Kedua tangannya yang masih terbalut gips, ditutup jaket parasut coklat gelap.Bagi Raesaka, Niskala itu beraroma seperti dapur dan kolam ikan neneknya. Di sana, senyuman dan pelukan hangat neneknya menyambutnya. Di tengah kesibukan para asisten rumah tangganya, neneknya terus berbicara dan bertanya-tanya sambil mengantar Raesaka ke kamar yang dulu pernah digunakannya selama bertahun-tahun.Walaupun ada sedikit perubahan (tidak ada lagi poster-poster idola yang menempel pada dindingnya), wangi kamarnya tetap sama seperti dulu. Tadinya, begitu Raesaka ditempatkan di Narwastu, Dewangga mengusulkan
Read more
Bab 29 Rahinakala
Bersama Aliosa dan dua sepupunya yang lain, Elis dan Erik (anak kembar Saphira yang masih duduk di bangku kelas tiga), Raesaka duduk di pinggiran kolam, memancing ikan mujair. Ikan-ikan itu digoreng, menjadi lauk pelengkap nasi liwet untuk makan siang. Di bawah siang yang terik, wangi-wangi hangat bawang, kencur, dan cabai rawit memenuhi udara di sekitar dapur.Raesaka ingin sekali menikmati nasi liwet-nya sambil duduk di balai-balai luar samping dapur, tetapi tempat itu hanya boleh digunakan oleh tukang kebun dan dua asisten rumah tangga. Neneknya akan melarangnya makan di sana. Walau begitu, neneknya tidak sepenuhnya kaku. Neneknya sangat suka menyimak obrolan cucu-cucunya sambil makan, mau itu cerita sedih atau pengalaman konyol sekali pun. Ketika Aliosa, Elis dan Erik menghabiskan puding-puding dingin di ruang tengah sembari menonton televisi, Raesaka dan neneknya masih ada di dapur, mengobrol.“Ibu kamu menikah delapan bulan setelah Kakek meninggal,” cerita neneknya. Jemarinya
Read more
PREV
123456
DMCA.com Protection Status