Semua Bab Diduakan Suami, Diratukan Duda Miliarder : Bab 11 - Bab 20
155 Bab
11. Berakhir Sudah
"Bukankah pekerjaan Anda menyelamatkan nyawa orang, kenapa Anda tidak bisa menyelamatkan bayiku? Kembalikan bayi itu padaku, Dok. Saya mohon. Saya tidak memiliki siapa-siapa lagi di dunia ini, jika bayi saya pergi. Saya benar-benar seorang diri. Tolong, Dok. Kembalikan bayi saya." Chava meraung dengan wajah bersimbah air mata, kedua tangannya sibuk mengguncang bahu dokter yang menatapnya iba. Wanita berkacamata dengan seragam khas itu bungkam, ikut larut dalam pusaran kesedihan Chava. Pun dengan dua orang perawat yang juga berada dalam ruangan itu. Siapa tak tersentuh melihat tangis sarat kesedihan Chava yang begitu memilukan. "Hanya dia satu-satunya yang saya miliki, Dok. Kalau dia pergi, entah bagaimana saya harus melanjutkan hidup. Kenapa Tuhan tidak adil, seharusnya saya ikut pergi saja bersama bayiku," racau Chava yang masih belum sepenuhnya menerima kenyataan bahwa bayinya telah berpulang. "Kembalikan dia, Dok. Tolong ..."Dokter perempua
Baca selengkapnya
12. Menghadapi Kemurkaan
"Ibu!"Mengabaikan pekikan itu, Halimah kembali mengayunkan tangannya. Netra tuanya menganak sungai, amarah dan rasa kecewa yang menggunung ia tumpahkan. Tangisan terdengar riuh rendah, tak hanya sekali tapi berkali-kali Halimah mendaratkan tamparan di wajah anak lelaki semata wayangnya. Azzam yang merasa bersalah tentu tak berani melakukan perlawanan. "Ibu, saya mohon, Bu. Hentikan!" Hana bersimpuh, memegangi kedua kaki ibu mertuanya. Istri mana yang tega melihat suami yang dicintainya disakiti, biarpun oleh ibu kandungnya sendiri sekali pun. "Bu, tolong, Bu. Semuanya bisa dibicarakan baik-baik." Hana kembali mengiba.Kecamuk di benak Azzam membuatnya tak bisa berkutik. Lelaki itu bahkan dengan sadar membiarkan Hana memohon ampun demi dirinya tak terus dijadikan samsak oleh Halimah. "Anak kurang ajar! Susah payah Ibu besarkan kamu, Ibu rawat kamu dengan penuh cinta kasih. Ibu berikan yang terbaik yang Ibu punya untukmu, begini balasanmu?""Ibu ..."Tangis Hana hampir tak terdengar
Baca selengkapnya
13. Tertatih Membalut Luka
Sampai habis suara Halimah, sampai kering air matanya, tapi isak lirih tertahan wanita itu masih terus menggema memenuhi seluruh penjuru ruangan. Ditatapnya Chava yang masih bergeming sejak kali pertama kedatangannya ke tempat itu. "Kenapa diam saja, Nak? Kenapa tidak cerita sama Ibu kalau anak Ibu sudah zalim sama kamu." Halimah mengusap kepala Chava kemudian memeluknya erat. Sungguh, dia dapat merasakan kesakitan yang dialami menantunya. "Ibu merasa sangat berdosa sekali sudah menjerumuskanmu. Ibu yakin kamu istri terbaik yang pantas disandingkan dengan anak Ibu dan kamu berhasil membuktikannya, tapi rupanya justru anak Ibu yang tidak pantas menjadi suamimu. Anakku sendiri yang meragukan pilihan Ibu. Sakit sekali hati Ibu, Nak."Tak ada kata yang terucap, Chava balas pelukan mertuanya lebih erat. Bahu Halimah bergetar hebat, pun disusul air matanya yang makin deras. Betapa wanita paruh baya itu memendam sakit hati yang mendalam pada anaknya sendiri. Ji
Baca selengkapnya
14. Lubang Di Hati
Rintik gerimis mengantar laju kereta besi yang ditumpangi Chava. Angin yang berhembus menguarkan aroma tanah, menyisakan genangan di mana-mana. Chava melempar pandangannya pada hamparan rerumputan basah di tepian jalan. Angannya kembali pada beberapa jam yang lalu sebelum dirinya duduk di salah satu taksi yang membawanya pergi. Tak lama setelah kepergian Halimah, Chava pun memutuskan untuk pergi. Menggunakan sisa uang hasil menggadaikan cincin kawinnya tempo hari, dia melunasi administrasi rumah sakit. Mengabaikan rasa sakitnya, Chava putuskan untuk kembali ke rumah setelah sebelumnya mengintai keadaan di sana. Setelah Azzam dan Hana pergi, barulah dia memberanikan diri masuk menggunakan kunci cadangan untuk mengambil beberapa barangnya sebelum dia benar-benar pergi. "Tisu, Mbak." Chava tersentak, supir taksi mengulurkan kotak tisu padanya. "Maaf ya, Pak. Saya pasti sudah mengganggu konsentrasi menyetir Bapak," ujar Chava tak enak hati.
Baca selengkapnya
15. Pria Asing
Azzam terus melayangkan tatapan tajam, sementara tubuhnya mengunci sang istri hingga Hana tak berkutik sama sekali. Tubuh wanita itu gemetaran, jangankan melarikan diri, sekadar menarik napas saja Hana merasa begitu kesulitan. Tatapan dingin Azzam sungguh mematikan. "Z-zam!""Jadi selama ini kamu diamkan uang pemberianku buat Chava, Han? Padahal kamu tau uang itu untuk makan kita bertiga!""Aku lupa, Zam. Orang lupa masa mau disalahkan." Tertunduk wanita itu tanpa berani membalas tatapan sang suami. "Keterlaluan! Kalau hanya sekali, bisa lah aku anggap lupa. Tiga kali, Han! Tiga kali jatah uang Chava untuk keperluan rumah tangga kita kamu simpan di laci!" Azzam membanting ketiga amplop itu di ranjang. "Kamu tau, Chava itu tidak pernah bekerja selama menikah denganku. Dengan kamu menahan haknya, yang akhirnya aku sadari ternyata uang itu dikembalikan padaku untuk memberi makan kita berdua. Demi kita bisa makan Chava sampai rela jadi tuk
Baca selengkapnya
16. Nama Yang Indah
Bulu mata lentik itu sesekali mengerjap. Dari jarak sedekat itu, dapat si pria lihat kecantikan alami yang dimiliki Chava. Alis hitam nan lebat memayungi telaga mata berwarna kecokelatan serupa kacang almond. Pipi bersemu merah sesegar buah persik, dagu lancip dan hidung mancung yang mungil. Hingga tatapan pria itu tertuju pada bagian paling ranum di wajah ayu Chava. Bibir setengah terbuka itu begitu lembab dan menggoda. Pria itu kemudian menggeleng menepis pikirannya yang mulai mengembara liar. "Aduh!" Si pria meringis sembari menyentuh rahangnya. "Kan sudah kubilang, tenanglah sebentar."Pria itu kembali menunduk pasrah membiarkan Chava mengobati luka-lukanya. Sekarang dia menjelma menjadi anak baik yang ketakutan usai dimarahi ibunya. Ia kembali menghela napas berat ketika wajahnya dan wajah Chava nyaris tak berjarak. "Kamu tidak takut padaku?" Setelah sekian lama kebungkamannya, pemuda itu akhirnya menyuara."Kamu makan nasi, sama
Baca selengkapnya
17. Sama-sama Sendiri
"Zam, Azzam!" Hana berlari menyusul suaminya di dapur. Lelaki itu berdiri di depan kompor yang menyala, lengan kemejanya ia gulung sebatas siku, celemek warna biru melapisi pakaiannya. Seumur menjadi suami Chava, belum pernah sekali pun ia terjun langsung ke dapur. Jangankan memasak, hal kecil seperti kopi atau mengambil air putih dilakukan Chava tanpa diminta. Hari ini, setelah sepuluh bulan menjadikan Hana sebagai istrinya, kesehariannya sebagai kepala keluarga justru sangat miris. Selain mencari nafkah, Azzam juga merangkap menjadi asisten rumah tangga. Dia yang awalnya sama sekali tak mengenal jenis bumbu, kini mulai akrab dengan aneka jenis rempah. Tak hanya memasak, Azzam juga memegang gagang sapu dan kain pel. Tumpukan cucian menjadi santapannya sebelum dan sepulang dari bekerja. Kesibukan yang tak pernah Azzam duga akan dia rasakan sebelumnya. Mencari asisten rumah tangga beberapa kali tak ada yang cocok. Orang terakhir yang bekerja malah kedapa
Baca selengkapnya
18. Sebuah Pengakuan
Sejatinya, menikah diharapkan menjadi pengalaman satu kali dalam seumur hidup bagi seseorang. Akan tetapi ada banyak hal terjadi yang kadang di luar kendali, dan tiap-tiap orang berbeda dalam menyikapinya. Ada sebagian memilih bertahan dengan berbagai alasan, sebagiannya lagi memilih mengambil jalan sendiri-sendiri setelah merasa rumah tangganya tak lagi bisa diselamatkan. Seperti halnya yang terjadi pada Chava. Permasalahan rumah tangganya tak sesederhana itu. Andai hanya cinta Azzam yang tak kunjung dia genggam, mungkin dia masih sanggup bertahan. Namun, lelaki itu memberinya adik madu, melegalkan perselingkuhannya dengan Hana atas nama nikah bawah tangan. Menyadari fakta suaminya menjalin hubungan dengan wanita lain sejak lama, istri mana yang akan tahan. "Ehm, maaf. Aku sama sekali tidak bermaksud untuk menyinggungmu."Ucapan Sakti memecah ingatan buruk Chava pada mantan suaminya. "Tidak perlu minta maaf, toh sudah cukup lama kita berteman. Kita sering membagi cerita tentang m
Baca selengkapnya
19. Didesak Warga
Sakti merebahkan raganya yang letih di pembaringan, menatap langit-langit kamar yang menampakkan wajah cantik Chava. Sepanjang hidupnya, Sakti banyak menjumpai wanita-wanita cantik, pun dengan berbagai karakter dan keunikannya. Akan tetapi, Chava begitu berbeda. Gadis itu bersahaja dan selalu penuh ketulusan. Sakti dapat merasakannya sejak pertemuan pertama mereka. Jika dibandingkan dengan mantan istrinya pun, kecantikan wanita itu tak mampu menyaingi kecantikan alami yang dimiliki Chava. Ingatannya kembali pada percakapan terakhirnya dengan Chava sebelum wanita yang Sakti harapkan akan menjadi miliknya itu masuk ke kontrakannya. "Maaf, Mas. Bukan aku tidak menyukaimu, hanya saja ... aku masih belum siap untuk kembali menjalin sebuah hubungan. Aku masih ingin menata hati.""Apa sedalam itu rasa cinta yang kamu miliki untuk mantan suamimu," todong Sakti penasaran dengan alasan penolakan Chava. Gadis itu menggeleng lemah sebagai respon. "Sudah sejak lama aku membunuh perasaanku padany
Baca selengkapnya
20. Malam Pengantin
"Sini! Deketan, dong."Chava tak mengelak ketika Sakti menarik lembut tangannya dan memintanya duduk di sisi lelaki itu. Kebisuan yang tercipta untuk waktu yang lama semakin mengungkung dua anak manusia itu dalam kecanggungan. Sedari tadi, sejak kepulangan Ridwan dan para warga, baik Sakti maupun Chava sama-sama bungkam. Kejadian hari ini benar-benar di luar dugaan."Aku tau kamu masih kaget dan belum sepenuhnya bisa menerima kenyataan ini. Aku juga tidak akan menjanjikan banyak hal padamu, hanya saja aku akan tetap melaksanakan kewajibanku terlepas dari kamu mau menerimanya atau tidak. Kamu istriku dan mulai sekarang kamu menjadi tanggungjawabku.""Aku akan belajar untuk menerima semuanya, aku yakin ini terjadi atas campur tangan Tuhan. Ini hanya masalah waktu, beri aku waktu untuk membiasakan diri dengan pernikahan ini." Chava menyahut.Ya, atas desakan para warga akhirnya mereka berdua setuju untuk dinikahkan. Gejolak dalam dada tak bisa Chava kendalikan ketika Sakti menyebut naman
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
16
DMCA.com Protection Status