Rintik gerimis mengantar laju kereta besi yang ditumpangi Chava. Angin yang berhembus menguarkan aroma tanah, menyisakan genangan di mana-mana. Chava melempar pandangannya pada hamparan rerumputan basah di tepian jalan. Angannya kembali pada beberapa jam yang lalu sebelum dirinya duduk di salah satu taksi yang membawanya pergi.
Tak lama setelah kepergian Halimah, Chava pun memutuskan untuk pergi. Menggunakan sisa uang hasil menggadaikan cincin kawinnya tempo hari, dia melunasi administrasi rumah sakit. Mengabaikan rasa sakitnya, Chava putuskan untuk kembali ke rumah setelah sebelumnya mengintai keadaan di sana. Setelah Azzam dan Hana pergi, barulah dia memberanikan diri masuk menggunakan kunci cadangan untuk mengambil beberapa barangnya sebelum dia benar-benar pergi."Tisu, Mbak."Chava tersentak, supir taksi mengulurkan kotak tisu padanya."Maaf ya, Pak. Saya pasti sudah mengganggu konsentrasi menyetir Bapak," ujar Chava tak enak hati.<Azzam terus melayangkan tatapan tajam, sementara tubuhnya mengunci sang istri hingga Hana tak berkutik sama sekali. Tubuh wanita itu gemetaran, jangankan melarikan diri, sekadar menarik napas saja Hana merasa begitu kesulitan. Tatapan dingin Azzam sungguh mematikan. "Z-zam!""Jadi selama ini kamu diamkan uang pemberianku buat Chava, Han? Padahal kamu tau uang itu untuk makan kita bertiga!""Aku lupa, Zam. Orang lupa masa mau disalahkan." Tertunduk wanita itu tanpa berani membalas tatapan sang suami. "Keterlaluan! Kalau hanya sekali, bisa lah aku anggap lupa. Tiga kali, Han! Tiga kali jatah uang Chava untuk keperluan rumah tangga kita kamu simpan di laci!" Azzam membanting ketiga amplop itu di ranjang. "Kamu tau, Chava itu tidak pernah bekerja selama menikah denganku. Dengan kamu menahan haknya, yang akhirnya aku sadari ternyata uang itu dikembalikan padaku untuk memberi makan kita berdua. Demi kita bisa makan Chava sampai rela jadi tuk
Bulu mata lentik itu sesekali mengerjap. Dari jarak sedekat itu, dapat si pria lihat kecantikan alami yang dimiliki Chava. Alis hitam nan lebat memayungi telaga mata berwarna kecokelatan serupa kacang almond. Pipi bersemu merah sesegar buah persik, dagu lancip dan hidung mancung yang mungil. Hingga tatapan pria itu tertuju pada bagian paling ranum di wajah ayu Chava. Bibir setengah terbuka itu begitu lembab dan menggoda. Pria itu kemudian menggeleng menepis pikirannya yang mulai mengembara liar. "Aduh!" Si pria meringis sembari menyentuh rahangnya. "Kan sudah kubilang, tenanglah sebentar."Pria itu kembali menunduk pasrah membiarkan Chava mengobati luka-lukanya. Sekarang dia menjelma menjadi anak baik yang ketakutan usai dimarahi ibunya. Ia kembali menghela napas berat ketika wajahnya dan wajah Chava nyaris tak berjarak. "Kamu tidak takut padaku?" Setelah sekian lama kebungkamannya, pemuda itu akhirnya menyuara."Kamu makan nasi, sama
"Zam, Azzam!" Hana berlari menyusul suaminya di dapur. Lelaki itu berdiri di depan kompor yang menyala, lengan kemejanya ia gulung sebatas siku, celemek warna biru melapisi pakaiannya. Seumur menjadi suami Chava, belum pernah sekali pun ia terjun langsung ke dapur. Jangankan memasak, hal kecil seperti kopi atau mengambil air putih dilakukan Chava tanpa diminta. Hari ini, setelah sepuluh bulan menjadikan Hana sebagai istrinya, kesehariannya sebagai kepala keluarga justru sangat miris. Selain mencari nafkah, Azzam juga merangkap menjadi asisten rumah tangga. Dia yang awalnya sama sekali tak mengenal jenis bumbu, kini mulai akrab dengan aneka jenis rempah. Tak hanya memasak, Azzam juga memegang gagang sapu dan kain pel. Tumpukan cucian menjadi santapannya sebelum dan sepulang dari bekerja. Kesibukan yang tak pernah Azzam duga akan dia rasakan sebelumnya. Mencari asisten rumah tangga beberapa kali tak ada yang cocok. Orang terakhir yang bekerja malah kedapa
Sejatinya, menikah diharapkan menjadi pengalaman satu kali dalam seumur hidup bagi seseorang. Akan tetapi ada banyak hal terjadi yang kadang di luar kendali, dan tiap-tiap orang berbeda dalam menyikapinya. Ada sebagian memilih bertahan dengan berbagai alasan, sebagiannya lagi memilih mengambil jalan sendiri-sendiri setelah merasa rumah tangganya tak lagi bisa diselamatkan. Seperti halnya yang terjadi pada Chava. Permasalahan rumah tangganya tak sesederhana itu. Andai hanya cinta Azzam yang tak kunjung dia genggam, mungkin dia masih sanggup bertahan. Namun, lelaki itu memberinya adik madu, melegalkan perselingkuhannya dengan Hana atas nama nikah bawah tangan. Menyadari fakta suaminya menjalin hubungan dengan wanita lain sejak lama, istri mana yang akan tahan. "Ehm, maaf. Aku sama sekali tidak bermaksud untuk menyinggungmu."Ucapan Sakti memecah ingatan buruk Chava pada mantan suaminya. "Tidak perlu minta maaf, toh sudah cukup lama kita berteman. Kita sering membagi cerita tentang m
Sakti merebahkan raganya yang letih di pembaringan, menatap langit-langit kamar yang menampakkan wajah cantik Chava. Sepanjang hidupnya, Sakti banyak menjumpai wanita-wanita cantik, pun dengan berbagai karakter dan keunikannya. Akan tetapi, Chava begitu berbeda. Gadis itu bersahaja dan selalu penuh ketulusan. Sakti dapat merasakannya sejak pertemuan pertama mereka. Jika dibandingkan dengan mantan istrinya pun, kecantikan wanita itu tak mampu menyaingi kecantikan alami yang dimiliki Chava. Ingatannya kembali pada percakapan terakhirnya dengan Chava sebelum wanita yang Sakti harapkan akan menjadi miliknya itu masuk ke kontrakannya. "Maaf, Mas. Bukan aku tidak menyukaimu, hanya saja ... aku masih belum siap untuk kembali menjalin sebuah hubungan. Aku masih ingin menata hati.""Apa sedalam itu rasa cinta yang kamu miliki untuk mantan suamimu," todong Sakti penasaran dengan alasan penolakan Chava. Gadis itu menggeleng lemah sebagai respon. "Sudah sejak lama aku membunuh perasaanku padany
"Sini! Deketan, dong."Chava tak mengelak ketika Sakti menarik lembut tangannya dan memintanya duduk di sisi lelaki itu. Kebisuan yang tercipta untuk waktu yang lama semakin mengungkung dua anak manusia itu dalam kecanggungan. Sedari tadi, sejak kepulangan Ridwan dan para warga, baik Sakti maupun Chava sama-sama bungkam. Kejadian hari ini benar-benar di luar dugaan."Aku tau kamu masih kaget dan belum sepenuhnya bisa menerima kenyataan ini. Aku juga tidak akan menjanjikan banyak hal padamu, hanya saja aku akan tetap melaksanakan kewajibanku terlepas dari kamu mau menerimanya atau tidak. Kamu istriku dan mulai sekarang kamu menjadi tanggungjawabku.""Aku akan belajar untuk menerima semuanya, aku yakin ini terjadi atas campur tangan Tuhan. Ini hanya masalah waktu, beri aku waktu untuk membiasakan diri dengan pernikahan ini." Chava menyahut.Ya, atas desakan para warga akhirnya mereka berdua setuju untuk dinikahkan. Gejolak dalam dada tak bisa Chava kendalikan ketika Sakti menyebut naman
"Dari mana saja kamu, Zam?"Mengabaikan panggilan istrinya, Azzam memilih mengurung diri di kamar. Suasana hatinya kacau balau, belum lagi tubuhnya yang babak belur. Mengingat bagaimana cara Sakti menatap Chava tadi membuat dadanya serasa terbakar. Perasaan tak rela yang menggila, Azzam tak sanggup meski hanya membayangkan Chava dimiliki pria lain. Apalagi jika dia sampai tahu kalau wanita yang dia sia-siakan kini telah resmi menjadi milik orang lain. "Zam, aku sedang bicara padamu! Berhenti terus mengabaikan aku!"Azzam mendengus. Jangankan segelas air, Hana justru menyerbunya dengan pertanyaan tanpa membiarkannya istirahat barang sejenak. Makin hari makin bertambah saja daftar tuntutan wanita itu. Entahlah, Azzam merasa pernikahannya dengan Hana kini tak seindah dulu. Istri keduanya itu benar-benar jauh berbeda dengan Chava. Ya, Chava. Wanita itu yang paling tahu kebutuhannya, juga yang paling mengerti. Semua hal yang menjadi tanggungjawabnya sebagai istri selalu dikerjakan tanpa
"Kamu duduk saja, istirahat." Sakti menarik lembut tangan Chava, menyuruhnya duduk di tepian ranjang. "Belum selesai, Mas. Sebentar lagi, tanggung ini." "Sudah, nanti Mas bantu."Sakti mengeluarkan beberapa potong pakaian istrinya dari dalam tas kemudian memindahkannya ke lemari. Sejak pertama menginjakkan kaki di rumah sederhana itu senyum tak lekang menghiasi wajah tampannya. Setelah mengurus semua keperluan untuk melegalkan pernikahan mereka, Sakti memutuskan untuk membawa Chava tinggal di rumah kontrakannya. Beruntung, Chava langsung menyetujuinya. Biar bagaimana pun, mereka sudah menikah, terlepas dari cara mereka mengikat janji suci, Chava paham betul kewajibannya sebagai istri. "Baru datang bukannya istirahat dulu malah langsung beres-beres. Sudah sore, kita malah belum sempat makan siang. Tadi Mas ajak mampir makan nggak mau."Chava tersenyum, baru kali ini dia melihat pria yang biasanya kalem, menjadi banyak bicara. "Tadi belum lapar, Mas.""Kalau sekarang sudah?" Meliha