Lahat ng Kabanata ng Atasan Duda Itu Mantan Pacarku: Kabanata 21 - Kabanata 30
105 Kabanata
Rasa Itu masihkah sama?
Aku terdiam tidak mampu berkata apa-apa lagi. Air mata menggenang di sudut mataku. Segera aku raih tisu yang ada di depanku untuk mengusap air mata yang tengah bersiap meluncur. "Maafkan aku," lagi-lagi hanya itu kata yang sanggup aku ucap."Aku ingin menebus semuanya, katakan! Apa yang harus aku lakukan untuk menebus semua kesalahanku?" "Aku tidak ingin dikasihani," balas Mas Satria kemudian. "Dan tidak ingin sebuah penebusan, kenapa kamu belum mengerti juga.""Aku minta maaf, aku tidak pandai merangkai kata. Atau memberi penjelasan atas apa yang ada dalam hatiku. Apakah masih ada kesempatan untukku?" Aku benar-benar bingung, ini bukan rasa kasihan atau penebusan atas rasa bersalahku. Ini rasa yang sama yang aku miliki hanya untuknya. Bertahun-tahun aku memendamnya, menahtakan cintanya di tempat tertinggi dalam hatiku. Tidak bisa digantikan oleh siapapun, meski rasa itu menyiksaku."Aku mencintaimu, tidakkah kamu melihat itu semua?" Mas Satria menatapku lekat."Iya, aku bisa melih
Magbasa pa
CLBK?
"Apa?" Setelah sekian lama, mendengar panggilan itu kembali pipiku terasa menghangat."Kangen aja manggil kamu dengan sebutan itu," jawab Mas Satria dengan senyum terulas tipis."Mas …." Sekarang gantian aku yang memanggil pria dengan sepasang alis tebal tersebut."Hm?" Dagu Mas Satria terangkat sebagai respon dari panggilanku. Tangan kanannya meraih cangkir kopi dan mengangkatnya."Apa hal ini tidak terlalu cepat?" tanyaku ragu."Maksudnya?" Mas Satria urung meneguk kopinya dan meletakkan kembali di meja."Hubungan ini," jelas ku kemudian."Kita bukan yang baru saja saling mengenal. Kita sudah melewati begitu banyak hal, terutama aku. Entah denganmu, mungkin kebersamaan kita dulu tak berarti apa-apa." Terdengar embusan napas kasar dari Mas Satria. "Kan sudah minta maaf." Aku membela diri, "Sudah jelas juga kan gimana perasaanku.""Iya, maaf."Aku terdiam tidak membalas apa-apa. Meski kami sudah saling jujur atas perasaan kami masing masing. Tetap saja Mas Satria belum bisa menepis
Magbasa pa
Sebuah Pilihan
"Ran … mama cuma mau yang terbaik untuk kamu. Harapan setiap orang tua adalah melihat anaknya bahagia tidak salah pilih, begitu juga dengan mama. Pengalaman dulu kita jadikan pelajaran." Mama memberikan alasan."Siapa yang salah pilih? Rania?" Aku menghela napas dalam dan mengembuskan perlahan kemudian. "Mama juga tau apa yang terjadi, kesediaan Rania waktu itu demi bakti tidak lebih. Itu pilihan kalian sebagai orang tua, dan Rania hanya bisa menerima karena tidak mau disebut sebagai anak durhaka." Setidaknya mama juga tidak akan lupa, apa yang mendasari keputusanku atau alasanku menerima perjodohan itu. Semua aku lakukan tidak lebih dari perwujudan bakti seorang anak. Bukan karena cinta atau hal lainnya. Bahkan aku tidak berharap apapun untuk diriku sendiri, harapanku hanya kebahagiaan orangtua. Selebihnya hanya rasa hambar yang aku harap memudar seiring waktu."Iya, kami juga tidak tau akan seperti itu jadinya. Karena itulah mama tidak mau hal seperti itu terulang kembali. Pikirkan
Magbasa pa
Kata Hati
"Yakin, Ma. Rania mohon restu dari mama, agar bisa jalanin hubungan ini. Mas Satria orang baik, dan Rania sangat mengenalnya." Tidak ada yang lebih baik dari sebuah restu dari seorang Ibu dan juga keluarga yang lain."Apa dia serius dengan kamu?" Sebuah pertanyaan kembali mama lontarkan."Iya," jawabku singkat sambil menarik bantal untuk bisa aku dekap."Ya … meski mama belum sepenuhnya yakin dan menerima, tapi, mama bisa apa. Jujur mama lebih suka kalau kamu dengan Roni. Hanya saja ini hidupmu, sebuah kesalahan telah mama dan papa lakukan dulu. Mama tidak akan memaksakan apapun, tapi, ingat anak perempuan seusiamu bukan waktunya lagi cuma pacaran, gandengan rentang renteng ke sana ke mari. Paham maksud mama kan?"Meski belum sepenuhnya, tapi, aku merasa lega atas keputusan mama. Aku juga yakin seiring waktu berjalan, pandangan mama pada mas Satria akan berubah. Ini hanya soal kebiasaan dan juga soal waktu."Mama … terima kasih." Aku berucap pelan sambil menatap mata mama yang duduk
Magbasa pa
Salah Paham
"Ngapain?" tanyaku pada Roni yang crngar cengir saat aku sampai di ruang tamu."Jemput kamu," jawab Roni kemudian."Makasih ya, Nak. Harusnya nggak perlu repot-repot." Mama bicara dengan senyum lebar. Di tangannya terlihat satu ikat besar kelengkeng jumbo."Nggak repot, tant. Panen sendiri juga kok." Roni tersenyum dengan sedikit menurunkan bahu saat bicara dengan mama."Dah siang, ayok." Roni beralih fokus padaku, dagu pria berkulit putih itu terangkat."Lah … aku bawa motor, ya sudah sana duluan." Aku menjawab kemudian mengerucutkan bibir, manyun. Ada-ada saja kelakuan, orang aku nggak minta jemput juga. Pagi - pagi sudah nongol buat jemput."Barengan aja kenapa? Biasanya juga gitu," ajak Roni lagi."Dah sana bareng aja," suruh mama. "Ayok." Mendapat dukungan Roni langsung tersenyum lebar."Iya … iya." Aku bersungut kesal. "Assalamualaikum," ucap salamku seraya mencium punggung tangan mama.
Magbasa pa
Cemburu tanda Cinta?
Aku kurang fokus pada apa yang Pak Agus dan yang lain sampaikan pagi ini. Masih kepikiran dengan kejadian barusan serta tatapan dingin Mas Satria di ruang absen tadi. Harusnya aku tadi memberitahunya saat perjalanan, tapi, semua sudah terlanjur."Ran … Rania." Mbak Wiwid karyawan divisi operasional menyenggol lenganku sambil memanggilku. Membawa kesadaranku kembali dari lamunan yang datang begitu saja. Karyawan yang lain juga ikut melihat ke arahku. Keningku sedikit mengkerut mencoba memahami apa yang terjadi.Astaga, aku segera beranjak merangsek ke depan sambil merogoh ponsel di saku. Giliranku menyampaikan pencapaian per hari kemarin. Sesaat aku mengatur napas sebelum semua menyadari kalau aku sedang tidak fokus. Layar ponsel aku usap dan membuka laporan di grup WA yang biasa aku kirim selepas closing alias penutupan."Terima kasih, ada yang perlu ditanyakan?" tutupku setelah membacakan pencapaian cabang. Mataku mengedar, tidak ada yang bertanya ataupun bicara. "Kalau tidak ada,
Magbasa pa
Ini kah Rasanya
"Ish … hepi sekali, Anda." Pria itu kembali tertawa, manis sangat manis. Bagaimanapun akan sulit bagi kami menjaga sebuah profesionalisme dalam hal pekerjaan. Karena keterikatan dan sebuah hubungan yang melibatkan perasaan terdalam. Paling tidak, aku akan tetap bertanggung jawab atas semua pekerjaanku.Tawa Mas Satria terhenti saat terdengar suara ketukan di pintu. Segera dia beranjak berjalan menuju pintu dan membukanya. Pak Agus kepala cabang kami, muncul dari balik pintu. Pandangannya mengarah kepadaku."Aku cariin tadi, kamu ke ruanganku sekarang." Pak Agus menunjukku dengan dagunya."Iya, tadi saya minta Rania mengerjakan laporan performance marketing untuk meeting dengan divisi HRD area lusa." Tanpa ditanya Mas Satria memberi penjelasan."Oh, iya. Yang untuk divisi collection sudah kamu minta juga?" tanya Pak Agus pada Mas Satria."Sudah, Pak." Mas Satria menjawab disertai anggukan. Terlihat Pak Agus juga manggut-manggut."Ayok, ditunggu Pak Andreas di ruanganku," ucap Pak Agu
Magbasa pa
Rujuk?
“Aku nggak bawa motor,” ucapku sesampainya di parkiran. Sudah ada Wina, Tika dan Nia yang terlihat tengah bersiap. “Jadi, nggak bawa helm.”“Aku ada,” ucap Tika sambil membuka jok motornya, sebuah helm berwarna putih dia keluarkan dari dalam bagasi motor. “Bonceng aku aja,” tawarnya kemudian.“Kecap nggak lupa?” tanyaku kemudian sambil mengenakan helm yang Tika berikan.“Udah hahaha.” Wina tertawa sambil menunjuk kresek hitam yang dia cantolkan di sepeda motornya. “Demi apa coba?” Aku dan yang lain kemudian sama-sama tertawa menyadari kebiasaan yang tak biasa dari kami. Sepeda motor yang aku tumpangi Bersama Tika bergerak meninggalkan area parkir karyawan menuju ke jalan raya. Jam makan siang jalanan terlihat sedikit lebih padat dibanding jam sebelum adan setelahnya. Tika melajukan kendaraannya dengan kecepatan sedang, Wina dan Nia berada di depan kami.Dari kejauhan sudah aku lihat banyak mobil parkir berjajar di depan warung, begitu juga dengan kendaraan roda dua yang terparkir di
Magbasa pa
Cemburu
Ada yang terasa semakin panas di dalam dada ini, ada nyeri juga ikut menyertai. Yang pasti rasanya sakit dan tidak nyaman. Ditambah lagi dengan celotehan teman-temanku semakin membuat hati ini terasa perih. Aku berharap Mas Satria menyadari keberadaanku, tapi, sepertinya tidak. Aku juga tak mungkin memanggilnya. Pria itu terlihat masuk kedalam mobil dan sesaat kemudian mobil Mas Satria bergerak meninggalkan area parkir toko swalayan.“Kamu kenapa? Liatin nya kayak kesel gitu?! Jangan jangan kamu naksir ya … hahaha.” Wina menggodaku, candaannya di sambut tawa oleh yang lainnya. Tidak demikian denganku, aku tak bisa menyembunyikan perasaanku yang sedang panas.“Dah sama Roni aja, yang jelas jelas demen sama kamu. Kalau Pak Satria memang lebih menantang sih, tapi sepertinya saingan kamu berat.” Tika ikut-ikutan memberikan komentar yang Kembali disambut tawa oleh yang lainnya.Aku tahu mereka tidak sengaja membuat suasana hatiku makin kacau dan hatiku semakin gerah, karena mereka tidak tau
Magbasa pa
Pertemuan Tidak Terduga
Sebuah taman yang cukup luas berada di dekat perumahan, setiap pagi dan sore selalu ramai. Banyak tanaman bunga yang cantik-cantik, lapangan basket dan juga fasilitas bermain anak-anak seperti jungkat jungkit, perosotan, ayunan dan beberapa permainan lainnya. Banyak bangku permanen dari besi bercat putih yang di pasang di dalam taman.Di sisi luar taman sebelah kanan nada banyak penjual jajanan, mulai dari sosis bakar sampai cilok dan beraneka minuman. Sesampainya di taman kedua ponakanku sudah langsung sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. Aku melipir ke pagar sisi kanan taman untuk memesan sosis bakar, cilok, telur gulung, dan sempol. Kalau banyak pikiran yang nanggung seperti sekarang, lariku ke makanan. Untuk minuman, Kak Regina membawakan keduanya jus jeruk dari rumah.“Aunty boleh?” teriak Al sambil menunjuk ke arah permaianan seperti jarring-jaring, aku tidak tau namanya. Aku mengoyangkan jari telunjuk tanda tidak boleh karena jarring itu terlalu lebar
Magbasa pa
PREV
123456
...
11
DMCA.com Protection Status