Semua Bab Atasan Duda Itu Mantan Pacarku: Bab 41 - Bab 50
105 Bab
Mantan Lagi
“Kalau yang disana itu pasar juga, tapi, untuk hewan peliharaan kayak ikan, burung, kura-kura, kucing dan banyak lagi lainnya.” Aku kembali menambahkan sambil menunjuk jalan turun kea rah pasar hewan. “Kayak tour guide jadinya,” celetukku kemudian.“Kalau tour guidenya kayak kamu yang ada malas pulang, mau netep disini aja.” Mas Satria tertawa sambil meraih tanganku dan mengandengnya.“Ibu suka tanaman, ntar kapan-kapan ajakin sini pasti beliau senang,” ucap mas Satria kemudian.“Ap aitu salah satu jurus menaklukkan hati calon Ibu mertua?” tanyaku dengan senyum.“Ya begitulah kira-kira,” jawab Mas Satria kemudian.Akhirnya kami tiba disalah satu kios penjual bunga yang biasanya menjadi langanan kantor. Berbagai macam bunga potong terpajang di wadah mulai dari depan kios sampai ke dalam. Untuk bunga mawar saja ada beberapa warna, mulai dari warna merah, putih, merah muda dan beberapa warna yang aku sendiri tidak bisa menyebut itu warna apa.Selain itu juga ada beberapa jenis bunga pot
Baca selengkapnya
Berdebar
Akhirnya setelah menunggu untuk beberapa saat bunga yang kami pesan selesai juga. Biasanya pesan bunga di tinggal terus akan dikirim oleh penjualnya ke rumah. Bahkan seringnya juga pesan hanya lewat telepon atau hanya chat WA. Sejumlah uang Mas Satria bayarkan untuk rangkaian mawar cantiknya, cukup mahal. Tapi, memang barang yang digunakan juga semua berkualitas dan masih segar.“Mas … aku deg-degan,” kataku pada Mas Satria saat kami dalam perjalanan ke rumah pria itu. Jujur aku benar-benar deg-degan dan takut. Yah … takut, takut kalau ternyata Ibunya Mas Satria tidak menyukaiku atau dia lebih menginginkan anak laki-lakinya itu tetap merujuk Aleya. Bagaiamana juga Aleya adalah sosok yang baik dan Ibu Mas Satria terlihat sangat menyayangi mantan istri anaknya itu. Apa aku bisa mendapatkan tempat, sedangkan masi ada Aleya disana.“Aku juga,” tutur Mas Satria seraya mengenggam tangan kananku.Sepanjang perjalanan kami lebih banyak diam dan sibuk dengan pemikiran masing-masing. Bukan ha
Baca selengkapnya
Kecewa Masa Lalu
Duda Itu Mantan PacarkuPart 32Oleh : LinDaVin“Rania?” ulang Ibunya Mas Satria saat mendengar aku menyebutkan namaku. Mata wanita paruh baya itu menyipit dengan kening berkerut, dia lalu menoleh pada Mas Satria. “Ra … Rania.”“Iya Rania,” jawab Mas Satria disertai anggukan kemudian melihat ke arahku dengan raut wajah yang terlihat tegang. Aku tidak bisa berpikir apapun dan detak jantung ini kian cepat saja sepertinya. Debarannya semakin mengencang membuat perasaanku semakin tegang. Telapak tanganku terasa semakin dingin, napasku tertahan untuk sesaat.“Rania yang dari Jogja?” tanya wanita itu lagi seperti ingin memastikan apa yang dia maksud itu adalah orang yang sama.Mas Satria mengangguk pelan mengiyakan apa yang Ibunya maksud. Raut wajah wanita paruh baya yang tadi terlihat penuh tanya itu kini berubah. Aku menelan saliva melihat perubahan wajah wanita itu, merasa takut dan tidak nyaman. Yah … pasti dia mulai menginggatku dengan segala hal yang pernah aku lakukan dulu pada Mas
Baca selengkapnya
Belenggu Masa Lalu
“Ibu tidak menyukaimu sebagai gadis yang Satria sukai, tapi, Ibu menyukaimu sebagai gadis yang Ibu kenal sewaktu di taman.” Ibu kembali melanjutkan kata-katanya.Apa yang ibu sampaikan membuatku semakin menjadi semakin bingung, dia tidak menyukaiku, tapi, dia juga menyukaiku. Lalu apa maksud dari perkataannya, aku tidak mengerti apa yang ibu maksud dan yang dia inginkan sebenarnya. Mas Satria juga terlihat mengernyitkan dahi seperti sedang mencari pemahaman atas apa yang Ibunya sampaikan.“Maksud Ibu?” tanya Mas Satria kemudian.“Maksud ibu? Maksud Ibu agar Rania tau ibu kecewa padanya dan belum bisa lupa atas apa yang pernah dia lakukan dulu.” Ibu menjawab pertanyaan dari Mas Satria. “Lalu?” tanya Mas Satria lagi.“Lalu apa?” Ibu balik bertanya pada anak laki-lakinya itu.“Satria dan Rania?” “Kalian kenapa? Kan tadi sudah ibu bilang, andai pun ibu melarang kalian berhubungan, apa itu akan lantas membuatmu mengakhiri hubungan dengan Rania, tidak kan?” Ibu terdengar menarik napas dal
Baca selengkapnya
Sebuah Harapan
“Bawa apa itu?” tanya Ibu lagi sambil berjalan mendekat. Aleya memindahkan tote bag dari tangan kananya ke kiri dan kemudian meraih tangan Ibu untuk salim.“Ada deh … Leya yang bikin loh, Leya bawa ke belakang ya, Bu.” Aleya tersenyum pada wanita paruh baya yang juga mantan ibu mertuanya itu.“Mbak,” sapa Aleya padaku, aku mengangguk dan memaksa senyum meski terasa canggung dan kikuk. “Ayra … sini sama Bunda.” Aleya memanggil Ayra yang masih duduk di pangkuanku.“Ayra nggak salim Bunda,” bisikku pada Ayra kemudian. Bocah kecil menggemaskan itu turun dari pangkuanku dan berjalan menuju ke Aleya.Aleya mengulurkan tangannya yang disambut oleh Ayra. Perempuan dengan setelan biru itu menunduk untuk mencium pipi Ayra. Terlihat Aleya menurunkan badannya kemudian berdiri dengan lututnya untuk menyamakan tingginya dengan Aleya.“Ayuk ke belakang sama Bunda,” ajak Aleya, sosok kecil itu mengangguk. Dengan tangan kanannya dia mengendong Aleya dan k
Baca selengkapnya
Merasa Bersalah
“Mama Ayra?” aku mengulang kata- kata Mas Satria untuk memastikan kalau aku tidak salah dengar. Mas Satria memintaku menjadi mama-nya Ayra, itu berarti dia ingin aku menikah dengannya.“Iya, mamanya Ayra.” Mas Satria mengangguk menegaskan.“Mas sedang tidak menggodaku kan?” tanyaku kembali memastikan.“Dih … nggak, Sayang.” Mas Satria menarik hidungku dengan gemas. “Aku serius, mau ya .. ya .. mau kan?” Sepasang alis itu terangkat berulang dengan senyum jahil.“Ish … tuh kan becanda,” ucapku dengan memanyunkan bibir. Melihatku Mas Satria malah tertawa, tawanya terdengar lepas seperti ada baban yang hilang.“Aku serius, Sayang. Aku tidak ingin menunggu lebih lama, aku butuh kamu dalam hidupku. Kamu mau … menikah denganku kan?” Mas Satria meraih tanganku dan kemudian menciumnya. Aku terdiam tidak kaget juga sebenarya, tapi, tidak mengira juga akan secepat ini. Tapi, Mas Satria benar aku juga tidak ingin menunggu lebih lama lagi.
Baca selengkapnya
Ada Apa dengan Aleya
“Meski nggak lapar ya kudu tetap makan, Sayang. Aku yang mengajakmu kemana-mana hari ini dan aku juga yang harus bertanggung jawab atas semuanya kan?! Termasuk juga dengan urusan perut.” “Aku nggak bisa makan,” ucapku lagi mengulang maksud penolakanku. “Aku suapin?” goda mas Satria.“Ish … beneran belum pengen makan,” ucapku lagi menegaskan.“Ya udah minum dulu.” Mas Satria meraih cangkir keramik dengan warna krem itu dan kemudian memberikan padaku. Dengan tangan kanan aku menyambut cangkir yang berisi teh itu dari Mas Satria. Tangan pria itu masih ikut memeganggi sampai aku menegak sebagian dari isi cengkir tersebut. Mas Satria mengembalikan cangkir berisi teh yang sebagian telah aku minum itu di atas meja.“Sedikit lebih baik?” tanyanya padaku, aku menggeleng dan kemudian mengangkat bahu.“Maaf, bukannya aku ingin merusak suasana,” uangkapku lagi.Aku juga tidak tau kenapa perasaanku jadi kacau seperti i
Baca selengkapnya
Ini Cinta
“Kita ke dokter saja, ya?!” Ibu masih terlihat cemas, terlihat jelas dari gurat wajahnya. “Nggak usah, Bu. Hanya pusing … sepertinya tekanan darah rendah lagi.” Aleya menolak, masih dengan mata terpejam bibirnya terlihat mencoba tersenyum.“Kamu yakin?” tanya Mas Satria kemudian, Aleya mengangguk.Wajah ayu Aleya masih nampak pucat meski dia terlihat memaksa untuk tersenyum dan meyakinkan yang lain kalau dia dalam kondisi baik. Sekilas mata itu terbuka dan dia melihat ke arahku, senyum samar kembali dia ulas. Tapi, kenapa rasanya tidak nyaman ya, terbaca olehku ada perih yang coba ia tahan dan tidak ingin dia tunjukkan pada siapapun.Sungguh ini bukanlah situasi ataupun keadaan yang aku ingginkan. Saat aku bahagia menemukan cintaku kenapa harus ada sisi hati yang lain yang harus terluka. Mas Satria benar kita tidak bisa membuat semua orang bahagia, tapi, saat melihat perempuan sebaik Aleya terluka. Hatiku seakan bisa merasakan kesakitan yang sama
Baca selengkapnya
DIMP 49
“Sabar.” Dengan telapak tangan kanan aku menutup cepat bibirku, hingga bibir Mas Satria menyentuh punggung tanganku. Meski begitu tetap saja wajah kami saling bersentuhan satu dengan yang lainnya. “Maaf,” ucap Mas Satria kemudian, tapi, wajah itu belum juga beralih. “Aku mencintaimu sungguh.” “Iya tau,” jawabku masih dengan tangan kanan membekap bibirku sendiri.Dengan tangan kiri aku mendorong dada Mas Satria, tapi, percuma tubuh itu sama sekali tak bergerak. Perasaanku campur aduk jadinya, debaran di dada belum juga mereda meski aku bisa sedikit mengendalikan diriku. Sebuah kecupan mas Satria daratkan cepat di keningku sebelum dia akhirnya melangkah mundur untuk memberiku ruang gerak.“Ish … curang,” ucapku sedikit manyun.“Mau dibalikin? Sini aja.” Mas Satria malah tertawa dan menunjuk pipi kanannya.“Apaan.” Aku memukul pelan lengan pria yang masih saja tertawa itu. Tetap saja kecolongan meski aku berusaha menolak atau memang aku yang memberinya kesempatan. Entahlah … aku belum
Baca selengkapnya
DIMP 50
"Dih ... napsu amat minta di culik," celetukku dan lagi-lagi pria itu terkekeh.Sebuah jalan setapak dengan lebar sekitar satu meter aku lewati bersama Mas Satria, relatif sepi karena jalan berbatasan dengan tembok belakang rumah beberapa blok. Obrolan tak jelas mewarnai perjalanan kami yang tidak sampai sepuluh menit. Sepanjang jalan tangan Mas Satria tidak melepas genggamannya dari tanganku.Berjalan berdua seperti ini seperti sedang mengingat masa lalu dimana kami sering berjalan ke depan gang kost-kostan untuk membeli makanan atau sekedar jalan melepas bosan. Sedekat inilah kami dulu bahkan lebih dekat karena kami terbiasa melakukan hal bersama. Aku juga masih cukup manja saat itu, sesuai dengan umurku yang memang masih belasan.“Kok jalan kaki?” Baru saja aku akan mengucap salam saat mama tiba-tiba menyapaku ketika aku selesai membuka pagar.“Ish … mama bikin kaget, Assalamualaikum.” Aku menghampiri mama yang terlihat sedang menyirami tanama
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
34567
...
11
DMCA.com Protection Status