All Chapters of Terjebak Sandiwara Bos Besar: Chapter 51 - Chapter 60
114 Chapters
51. Kejadian yang mengubah semuanya
Ardan melepas jasnya lalu memakaikannya ke Lita. “Sudah tidak apa-apa, aku disini…” Aroma parfum dari jas itu membuat kesadaran Lita perlahan kembali. Tatapan matanya yang kosong menatap Ardan yang berjongkok tidak jauh darinya. “Ardan?” “Ya, ini aku…” Ekspresi marah pria itu justru membuat Lita merasa takut. “Aku– aku tidak tau kenapa dipanggil kesini.” Pria itu memang tampak marah, tapi ia sebenarnya sedang marah kepada dirinya sendiri karena membuat Lita berada dalam bahaya. Air mata perempuan itu berjatuhan dan ia merasa benci dengan dirinya sendiri karena membuat Ardan melihat kondisinya yang sangat buruk. “Ya, nanti katakan pada ku kalau kamu memang ingin mengatakannya… kamu bisa berjalan? Ayo pindah ke ruangan ku.” Pandangan mata Lita beralih ke tangan Ardan yang terkena darah lalu beralih ke Rendy yang tergeletak tidak sadarkan diri. Lita mencoba bangkit tapi kakinya terasa sangat lemas. Ia menggertakan
Read more
52. Orang yang bisa dipercaya
Ardan kembali ke ruangannya setelah mengurus semua hal yang diperlukan. Ia menatap Lita yang masih berbaring dalam waktu lama. Tatapan matanya tidak sedingin biasanya, ekspresinya tidak datar seperti sebelumnya. Kali ini rasa bersalah terlihat jelas pada wajahnya. “Aku benar-benar minta maaf,” ucap Ardan lirih. /tok…tok…/ “Masuk.” Seorang perempuan berambut bob klasik dengan kacamata hitam dan tas besar masuk ke ruangan tersebut. “Apalagi ini Ardan?” ucapnya sambil melepas kacamata. “Seperti yang sudah ku jelaskan di telepon…” “Aku mengerti, tapi apa kamu tidak salah memanggil dokter spesialis penyakit dalam untuk urusan seperti ini?” “Kamu dokter, meski bukan keahlian mu, tapi kamu pasti bisa melakukan sesuatu.” “Ku sarankan bawa ke rumah sakit saja…” “Kamu tau aku tidak bisa melakukan itu, aku sudah memberitahu mu.” Wanita berambut bob klasik itu menghela nafas lalu mengalihkan pandangannya ke arah Lita. Ia mendekat lalu memeriksa perempuan itu perlahan. Terdapat sediki
Read more
53. Perhatian
Suasana menjadi hening kembali selama beberapa waktu. Hanya terdengar bunyi detik jam dan itu membuat Ardan semakin merasa canggung. “Aku ada kenalan psikolog yang bagus kalau kamu perlu,“ ucap Ardan ragu. “Kamu tidak perlu memikirkan itu.” Lita menatap gelas berisi air di hadapannya dengan ekspresi sendu, lalu pandangannya beralih ke Ardan kembali. Ia ingin mengatakan sesuatu lagi, tapi yang Lita lakukan hanyalah menghela nafas panjang. ‘Dia bisa juga berekspresi seperti itu ternyata…’ Setelah percakapan tersebut, Lita dan Ardan kembali terdiam. Masing-masing dari mereka sibuk dengan pikirannya sendiri. Tidak lama setelah suasana hening dalam ruangan tersebut, terdengar ketukan pintu. Ardan bangkit lalu membuka pintu. Ia berbicara sebentar dengan seseorang perempuan yang tidak Lita kenali suaranya. Pria itu menutup pintu lalu melangkah menuju Lita kemudian menyerahkan paperbag berisi satu set pakaian lengkap. Perempuan
Read more
54. Tidak terlalu benci
Alen mendekatkan dirinya ke arah Lita perlahan. Tatapan matanya memastikan sang ayah masih sibuk di dapur. “Sebelumnya Alen pikir papa menyuruh mama kembali hanya karena Alen,” ucap bocah itu dengan suara pelan. Lita masih diam menunggu Alen melanjutkan perkataannya meski dalam hati ia merasa bingung kenapa bocah kecil tersebut bisa berpikir sampai seperti itu. “Tapi sekarang Alen tau perasaan papa.” ‘Tunggu, kalau aku bertanya bukankah aku justru bisa membuat Alen ragu kembali?’ “Ehmm ya tentu saja kami saling mencintai, kenapa kamu sebelumnya tidak berpikir begitu?” tanya Lita dengan suara pelan juga. Perempuan itu mengutuki lidahnya sendiri yang semakin terbiasa berbicara omong kosong. “Terlihat begitu…,” jawab Alen dengan ekspresi serius. Keduanya bertatapan dalam waktu lama lalu Alen menyenderkan dirinya di pangkuan sang ibu. “Jadi apa yang membuat mu mengetahui perasaan papa mu?” “Papa hanya memasak untuk orang yang dicintainya, Alen… lalu mama,” ucap bocah itu sambil
Read more
55. Kompromi
Nia tertawa pelan saat mendengar respon Lita. “Lalu kenapa kamu memakai baju yang berbeda saat pulang kemarin?” “Itu– itu ehmm baju ku terkena saus…,” jawab Lita asal. Ia masih belum menemukan alasan yang tepat dalam situasi mendadak itu. Namun perempuan itu enggan mengiyakan tebakan Nia yang terlalu jauh. ‘Hahh seharusnya aku memikirkan semuanya kemarin…,’ keluh Lita dalam hati. “Ya ya saus, hehe, terkena saus, hehe,” ucap Nia sambil tertawa. Ia melangkah lebih dulu meninggalkan Lita yang masih membeku di tempatnya. Perempuan itu sesekali menoleh sambil tersenyum geli melihat wajah Lita yang bersemu merah. ‘Astaga… kenapa sih dia itu selalu saja…’ “Pagi Tara…” “Hai Lina, pagi,” balas Lita yang masih berusaha mengendalikan ekspresinya. “Kamu kenapa pagi-pagi begitu wajah mu terlihat memerah? Demam?” “Ehmm bukan kok,” jawab Lita canggung. Kedua perempuan itu melangkah bersama dan baru berpisah ket
Read more
56. Kopi di malam hari
Lita dan Ardan keluar dari kamar usai memastikan Alen terlelap. Perempuan itu sudah berjanji untuk membicarakan tentang pesan teror yang didapatkannya sejak Februari lalu usai perayaan hari jadi H&U Group. Semua pesan yang diterimanya tadi siang sudah dihapus, tapi pesan lain berdatangan dan kali ini Lita membiarkan pesan tersebut ada dalam ponselnya. Ia duduk dengan ekspresi tidak tenang, dahinya sesekali mengerut. Lita sebenarnya masih ragu untuk mengatakan semuanya, tapi ia merasa Ardan mungkin bisa menjawab rasa penasarannya. Ardan datang sambil membawa dua gelas kopi lalu meletakkannya di meja. Ekspresi pria itu tetap datar meski melihat Lita yang tampak sedang cemas. “Jadi apa yang membuat mu berpikir Rendy mungkin berkaitan dengan pesan teror yang kamu dapat?” Pertanyaan dari Ardan sempat membuat fokus Lita buyar. Ia mengira pria itu akan bertanya lebih dulu tentang pesan teror yang didapatkannya. “Orang itu sempat menyebut ‘mereka’…” Pria di sebelah Lita itu mengernyitk
Read more
57. Keluarga bahagia
“Mama bangun!” Kelopak mata Lita terbuka perlahan karena mendengar bisikan di telinganya. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali dan berusaha membangunkan kesadarannya. “Selamat pagi, Alen.” Bocah kecil itu tersenyum lalu mencium dahi Lita. “Ayo cepat bersiap, papa masak lagi loh.” “Masak? Pagi-pagi begini?” “Ya, ayo cepat,” balas Alen sambil tersenyum riang. Lita tersenyum lalu turun dari ranjang. Ia segera membuka lemari lalu memilih pakaian yang akan digunakan hari itu. Setelah mandi dan bersiap, ia segera keluar dari kamar menuju ruang makan. Ardan tampak sedang menata makanan di kotak bekal sedangkan Alen sedang duduk tenang di kursi sambil menatap hidangan di meja. “Kamu mau membawa bekal?” tanya Lita bingung. Ardan menoleh sekilas lalu melanjutkan menata bekal. “Ini untuk Alen, papa datang dan meminta Alen berkunjung.” “Ya, ini untuk ku,” ucap Alen ikut menjawab. “Kenapa harus membawa bekal?” “Alen tidak boleh jajan sembarangan.” Lita mengangguk lalu duduk dan menat
Read more
58. Rumor lagi
Ekspresi Ardan tetap datar begitu ia mengucapkan gosip yang didengarnya barusan. Saat itu ia berpikir bahwa Lita lah yang beralasan begitu untuk menutupi kejadian waktu lalu. Wajah Lita memerah begitu mendengar ucapan Ardan. “Kamu tidak sedang bercanda kan?” Dahi Ardan mengernyit. “Bukannya kamu yang mengatakan itu lalu menyebar hingga menjadi gosip?” “Tentu saja tidak, kamu pikir aku sudah gila?” Tentu saja Lita sempat berpikir beralasan seperti itu. Namun ia mengurungkan niatnya karena tidak ingin membuat citranya semakin memburuk. Perempuan itu menghela nafas panjang. Pikirannya tiba-tiba teringat perkataan Nia kemarin. ‘Itu tidak mungkin kan? Mungkin saja orang yang memberitahu Nia itu yang mengarang cerita…’ “Hmm kalau kamu yang beralasan, sebenarnya aku mau membiarkannya, tapi karena bukan kamu, sepertinya aku perlu mencari tahu.” “Tentu saja itu harus diluruskan, aku tidak mau dianggap tidak profesional dalam bek
Read more
59. Merasa terganggu
“Selamat siang, nona Lisa… Saya baru saja akan ke ruangannya Ardan.” Lita tersenyum tapi entah kenapa hatinya merasa jengkel hingga tanpa sadar ia justru mengatakan akan ke ruangan Ardan. ‘Ah mulut ku ini lagi-lagi berbicara tanpa menunggu pikiran ku memutuskan…’ “Sepertinya kita menuju tempat yang sama.” ‘Aku harus bersikap apa saat begini… lalu bagaimana jika aku tidak sengaja bertemu Rendy di lantai itu? Kenapa aku selalu bertindak tanpa berpikir panjang,’ keluh Lita dalam hati. Suasana di elevator itu menjadi canggung karena Lita tidak membalas ucapan Lisa. Ia sedang sibuk sendiri menyesali tindakannya. /ting…/ Kedua perempuan itu melangkah bersamaan menuju ruangan Ardan. Namun ternyata pria yang mereka tuju sedang berada di lobby tengah bersama dengan beberapa rekan direksi, kecuali Rendy. Dahi Ardan mengernyit saat melihat Lita datang. Perempuan itu tampak mengamati sekeliling memastikan tidak ada Rendy di tempat
Read more
60. Kenyataan pahit
Lita sebenarnya bermaksud segera pergi begitu sadar tindakannya mendengarkan pembicaraan diam-diam adalah hal buruk. Namun ia mengurungkan niatnya begitu ia mendengar Nia menyebut kata 'rumor' ‘Apa yang dimaksud Nia itu aku?’ Ingatannya membawa Lita kembali saat Nia bertanya padanya tentang hal yang dilakukannya bersama Ardan di kantor beberapa hari lalu. Ia menahan nafasnya lalu melangkah pelan kembali ke ruangannya sebelum Nia menyadari keberadaannya. Semua pembicaraan Nia kembali terngiang di telinganya dan hal itu memunculkan dugaan yang membuatnya merasa tidak nyaman. ‘Tidak mungkin kan?’ Meski mendapatkan satu kesimpulan dari semua hal yang didengarnya, Lita masih menyangkal dan meyakinkan dirinya bahwa apa yang dibicarakan Nia itu tidak berkaitan dengannya. Lita memijat dahinya perlahan. Semua yang terjadi beberapa hari ini benar-benar membuatnya tertekan. Walaupun sudah berusaha tidak memikirkan semuanya, tapi pikirannya terus mengulang kembali semua yang telah di deng
Read more
PREV
1
...
45678
...
12
DMCA.com Protection Status