Semua Bab Adik Ipar Pengganti Istri: Bab 51 - Bab 60
76 Bab
Bab 51 | Rekan Kerja
Tiga hari sudah Gibran terbaring lemah tidak berdaya. Keadaan yang tidak membaik, suhu badannya yang tidak kunjung turun membuat orang rumah memutuskan Gibran membawa ayah satu anak itu ke rumah sakit. Dan kemarin, Gibran sudah mulai dirawat inap.Selama dirawat, Zahra lah yang paling banyak menunggu lelaki itu. Jika ada jam kuliah, dia akan ke kampus. Setelah selesai, Zahra kembali ke rumah untuk menemani Nazira sebelum akhirnya ke rumah rakit menemani suaminya.Jujur saja Zahra lelah harus bolak-balik rumah dan rumah sakit. Namun, sudah menjadi kewajiban istri menjaga suami dan anak. Bisa tidak bisa, Zahra harus membagi waktunya.“Eh … lagi tidur ya,” ucap Zahra saat melihat Gibran memejamkan mata. “Aku mau istirahat sebentar kalau begitu.” Zahra merebahkan tubuh di sofa empuk ruang rawat Gibran.Tidak ingin mengganggu sang suami, Zahra membuat gerakan sepelan mungkin. Dia tidak ingin suaminya batal istirahat. Namun, dugaannya ternyata salah. “Baru pulang?”“Eh.” Zahra langsung me
Baca selengkapnya
Bab 52 | Janggal
“Ra.”Panggilan itu membuat perhatian Zahra pada Liya teralihkan. Wanita itu bergegas menatap sang suami. Dia tidak ingin kehilangan fokus dan membuat suaminya tidak mendapat perhatian.“Kenapa, Mas?” Zahra langsung menyentuh kening Gibran. “Ada yang sakit? Kamu membutuhkan sesuatu?”Gibran menggelengkan kepala. “Bisa pijat kening saya? Kepala saya pusing.”“Aku panggilkan dokter saja, ya,” ujar Zahra. Meskipun begitu, Zahra tetap memberikan pijatan di kening suaminya. “Mau ya Mas.” Dia terus membujuk suaminya.“Tidak perlu!” tolak Gibran sambil memejamkan mata. Menikmati pijatan Zahra yang cukup membuatnya puas.Mama Tania yang melihat pemandangan itu diam-diam mengulas senyum. Dia senang jika Gibran mulai bertingkah baik pada Zahra. Semoga saja Gibran bisa memberikan keadilan pada Zahra. Dia tidak bermaksud meminta Gibran melupakan Humaira. Hanya saja, dia ingin Gibran menatap masa depan dengan melihat masa lalu sebagai pembelajaran.“Ibran sakit apa, Tan?”Zahra yang mendengar itu
Baca selengkapnya
Bab 53 | Cemburu
Kepala Gibran rasanya berdenyut hebat. Dia belum sembuh sepenuhnya. Hanya saja, dia tidak bisa berhenti memikirkan sesuatu. Zahra, satu nama itu yang membuatnya tidak tenang sejak kemarin. Bukan, lebih tepatnya setelah kedatangan Aulia.Gibran merasa Zahra menjadi lebih pendiam. Wanita itu tidak pernah mengajaknya berbicara lebih dulu. Zahra menjadi lebih suka memberikan jawaban, itu saja hanya singkat dan padat. Tidak ada lagi Zahra yang cerewet seperti biasanya. Dan entah mengapa, Gibran merasa kehilangan, tetapi tidak tahu apa itu.“Berangkat sekarang?”“Iya,” jawab Zahra singkat.Nah, seperti inilah yang membuat Gibran sejak kemarin tidak bisa tenang. Dia terus menebak-nebak sekiranya apa yang membuat istrinya tiba-tiba berubah diam. Namun, otaknya tidak bisa bekerja. Dia tidak pernah memikirkan hal tidak penting, seperti ini sebelumnya. Hanya dengan Zahra saja dirinya menjadi receh.“Sama siapa?” tanya Gibran kembali membuka mulut.Zahra menatap Gibran sekilas, lalu memutuskan ko
Baca selengkapnya
Bab 54 | Aku Harus Apa?
“Siapa yang suruh kamu pegang-pegang saya?” tanya Gibran seolah tanpa dosa.Pertanyaan tiba-tiba itu membuat Zahra mengerjap beberapa kali. Dia cukup terkejut mendengar pertanyaan ketus dari sang suami. Sungguh, ada apa dengan suaminya hari ini? Kenapa tiba-tiba berubah ketus. Seharusnya, dia yang masih marah karena kejadian kemarin.“Minggir!” perintah Gibran sambil menatap tajam ke arah Zahra. “Kenapa kamu pegang-pegang saya?”Zahra yang sudah berhasil menguasai diri berdecak kesal. “Astaghfirullah, Mas. Aku gitu yang salah? Orang kamu duluan yang narik aku.“Saya hanya ingin kamu duduk di samping saya. Bukan,” —Gibran menatap Zahra yang masih berada di atasnya—, “malah tiduran di atas tubuh saya. Ingat, saya ini masih sakit. Jangan curi-curi kesempatan.”Mata Zahra membulat sempurna. Ini beneran dirinya dituduh mencuri kesempatan? Ya Tuhan, kenapa suaminya hari ini sangat menyebalkan untuknya. Pandai sekali membalikkan fakta.Zahra menarik nafas, lalu mengembuskan ya dengan perlaha
Baca selengkapnya
Bab 55 | Jangan Sampai Menyesal
“Loh, Ra. Kok Lo di luar, sih?”Pertanyaan itu sukses membuat Gibran yang sibuk menatap foto Humaira terhenyak. Lelaki itu menengadahkan kepala. Dia melihat pintu ruang rawat inapnya terbuka sedikit. Satu lagi, dia bisa mendengar suara Devan. Apa Zahra sudah kembali? Apa dia di sana sejak tadi? Mungkinkah, wanita itu mendengar apa yang ia katakan?Pertanyaan itu memenuhi kepala Gibran. Ia ingin sekali menghampiri keduanya dan memastikan apa yang ada di pikirannya. Meskipun tubuhnya masih lemah, Gibran memaksakan diri. Dengan tertatih, dia berjalan perlahan, membawa selang infus di tangan kirinya.“He … kenapa Lo bangun!!” seru Devan dengan mata melotot saat melihat Gibran membuka pintu.“Mas, kamu kenapa jalan-jalan, sih?” tanya Zahra dengan mata melotot tajam. Dia langsung menghampiri Gibran dan meletakkan tangan Gibran di bahunya.“Seharusnya kamu itu banyak istirahat, Mas. Mau kemana sih, ‘kan bisa panggil suster kalau mau sesuatu,” ujar Zahra sambil menuntun Gibran ke ranjangnya.
Baca selengkapnya
Bab 56 | Seperti Orang Asing
Pembicaraan serius dengan Devan nyatanya sudah terjadi dua hari yang lalu. Tidak terasa, waktu berlalu begitu cepat. Ada banyak kejadian selama Gibran melakukan rawat inap di rumah sakit, salah satunya adalah kedatangan wanita bernama Aurelia.Nyatanya, wanita itu tidak hanya datang sekali —waktu bersama Mama Tania—. Wanita itu datang dua hari yang lalu setelah Devan memberikan petuah. Kehadiran wanita itu seakan menjadi tanda.“Kamu jangan banyak gerak, Mas!” tegur Zahra saat melihat Gibran sudah berkutat dengan laptop, padahal selang infus belum waktunya dilepas.“Saya sudah lebih baik!” jawab Gibran begitu singkat tanpa mau menatap Zahra.Wanita itu langsung menatap Gibran. Jujur saja, dia merasa sedih dengan perubahan suaminya. Gibran kembali menjadi sosok yang dingin dan abai akan dirinya. Padahal, Zahra sudah berharap Gibran benar-benar membuka hati setelah sikap baiknya beberapa saat lalu.“Permisi.”Suara itu membuat Zahra menengadahkan kepala. Keningnya langsung mengerut saat
Baca selengkapnya
Bab 57 | Lebih Menyakitkan
Senyum matahari langsung menyambut eksistensi Zahra di dapur. Wanita itu sudah berkutat sejak pukul lima pagi, lebih tepatnya setelah shalat subuh. Dia berniat membuatkan sarapan pagi untuk Gibran. Suaminya itu baru saja sembuh. Oleh karena itu, dia berencana mengatur menu makan Gibran. Suaminya itu masih tidak diperbolehkan mengonsumsi makanan pedas dan asam.“Mau bibi bantu, Non?”Pertanyaan itu membuat Zahra menolehkan kepala. Dia mengulas senyum manis dan langsung menyambut kedatangan Bi Jum dengan sapaan hangat.“Boleh, Bi.” Zahra kembali mengaduk sup ayam. “Lebih tepatnya sih, nunggu supnya matang.”“Oalah, saya kira masih banyak,” sahut Bi Jum dengan senyum sungkan. “Maaf ya, Non. Bibi lagi kurang enak badan.”“Loh, bibi sakit? Kalau begitu … bibi istirahat saja. Nggak usah bekerja dulu.” Zahra langsung memberikan perhatian pada Bi Jum. “Atau perlu saya panggilkan dokter?”Bi Jum langsung menggelengkan kepala dengan tegas. “Bibi sudah lebih baik, Non. Kemarin sudah beli obat d
Baca selengkapnya
Bab 58 | Makan Siang
Hari menjelang siang. Akan tetapi, tidak melunturkan niat Zahra untuk memasak menu makan siang untuk suami tercinta, lalu mengantarkan, seperti biasanya. Sikap Gibran pagi tadi coba Zahra abaikan. Dia berpikir bahwa suaminya sedang pusing dengan pekerjaan yang tertunda selama sakit.Kali ini, dia membuatkan menu makanan kesukaan Gibran. Dengan senyum ceria, Zahra memasukkan semua menu ke dalam kotak bekal yang ia susun dengan rapi. Ternyata, masak tidak memerlukan banyak waktu, apalagi saat memikirkan siapa yang akan menikmati masakan kita.“Bi,” panggil Zahra pada Bi Jum yang tengah menggendong Nazira.Kedua mertuanya sudah kembali pulang. Kini, tinggallah dia, Bi Jum, dan Mang Tarjo selama Gibran kerja. Saat memasak tadi, dia memang menitipkan putri kecilnya pada asisten rumah tangannya itu.“Sudah mau berangkat, Non?” tanya Bi Jum saat melihat tas berisikan kotak makan susun yang tengah Zahra bawa.Wanita itu menganggukkan kepala. Senyumnya semakin mengembang saat melihat Nazira me
Baca selengkapnya
Bab 59 | Jangan Mengatur Saya
Perasaan tidak tenang, sekaligus cemas tengah merundung Zahra. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam Entah sudah berapa kali ia menatap jam dinding yang ada di ruang tamu. Bahkan, sejak tadi Zahra tidak bisa tinggal diam. Beranjak dari posisinya, lalu jalan mondar mandir sambil gigit jari.Dia bukannya berdiam diri semata. Sejak tadi, Zahra sudah mencoba menghubungi Gibran. Untuk kali pertama, sambungan teleponnya masih terhubung. Akan tetapi, percobaan kedua dan seterusnya, tidak terhubung. Sepertinya Gibran sengaja menonaktifkan saluran datanya.Zahra yang lelah kembali mendudukkan diri di sofa. “Kamu ke mana, Mas? Jangan buat aku berpikiran yang tidak-tidak.” Zahra kembali duduk sambil menutup wajahnya. Ingatannya kembali terlempar pada kejadian di kantor suaminya tadi siang.“Saya sudah makan, kembalikan file saya!”Seulas senyum manis kembali terlihat dari Zahra. Wanita itu senang saat melihat Gibran menyuapkan bekal buatannya untuk pertama kali. Untuk menepati janjinya, Za
Baca selengkapnya
Bab 60 | Rasa yang Berbeda
Dunia yang tengah dibangun dengan susah payah, runtuh seketika dalam satu malam. Tidak ada yang mengira kehidupannya akan begitu berat setelah kepergian kakak kembarnya. Zahra dengan suka rela memenuhi permintaan terakhir kakaknya, meski beberapa orang mencibirnya. Bahkan, ada yang mengatakan dia tidak tahu malu karena menikah dengan mantan suami kakak sendiri. Namun, Zahra mencoba tuli. Dia tidak pernah menganggap serius. Meninggalkan orang yang tulus mencintainya, juga ia lakukan demi amanah besar itu. Menerima segala perlakuan dingin dan perkataan ketus, juga sudah Zahra lakukan. Bahkan, beberapa kali mendapat kekerasan tak melunturkan semangat wanita cantik itu. Hanya saja, kali ini rasanya dia mulai goyah. Gibran jelas-jelas menunjukkan sikap pembelaan pada wanita lain. Ya, Aurelia. Wanita itu datang tiba-tiba dan seolah menjadi rivalnya, menabuh genderang perang. “Ya Tuhan, hamba harus apa lagi? Rasanya, hati hamba terlalu sakit mendengar Mas Gibran membela wanita lain.” Zah
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
345678
DMCA.com Protection Status