Semua Bab Adik Ipar Pengganti Istri: Bab 31 - Bab 40
76 Bab
Bab 31 | Harga Diri
Kebahagiaan memang bisa datang kapanpun dan dimanapun, setelah badai sekalipun. Itulah yang dirasakan Zahra saat ini. Wanita itu terus menerus tersenyum saat memandikan putri kecilnya. Bahkan, Zahra sesekali mencium putrinya, gemas sendiri saat mengingat kejadian tadi malam.“Ya ampun, Nak. Papa kamu kenapa manis sekali kemarin malam?” tanya Zahra sambil menatap anaknya yang menggerakkan tangan.“Buna rasanya mau meleleh.”Pipi Zahra kembali memerah. Dia teringat perkataan Gibran. Astaga, jantungnya sudah berdetak tidak menentu. “... melainkan bibir saya langsung!”“... bibir saya langsung.”“... langsung.”“Ya Allah,” ucapnya sambil memejamkan mata. Tangannya yang ada di dada bisa merasakan detak jantung yang tidak beraturan.“Baru begini saja aku sudah sangat bahagia. Jika engkau izinkan, saya mohon agar jalan hamba mendapatkan hati suami dipermudah.”Zahra berharap dalam hati dengan sangat. Dia menganggap kejadian kemarin menunjukkan perubahan Gibran. Setidaknya, lelaki itu sudah m
Baca selengkapnya
Bab 32 | Kiss
Permainan basket antara Gibran dan Devan terjadi begitu ketat. Beberapa kali Gibran mencetak poin dan membuat Devan berdecak kesal. Pun dengan Devan saat mencetak poin, Gibranlah yang berdecak kesal.Sebenarnya, Devan tidak dirugikan apa pun jika kalah. Dia hanya akan kehilangan beberapa rupiahnya. Namun beda halnya dengan Gibran. Lelaki itu diharuskan mencium istrinya tepat di bibir. Devan melakukan ini semata-mata ingin mendekatkan Gibran dan Zahra. Dia tidak tega melihat Zahra berjuang sendirian dalam pernikahan ini. Devan ingin Gibran mulai membuka hati dan memperlakukan Zahra dengan semestinya.“Lo akan kalah, Gib,” ledek Devan sambil menggiring bola dan akhirnya berhasil mencetak poin.“Yess,” sorak Devan sambil mengepalkan kedua tangannya. Dia menatap penuh ejekan ke arah Gibran.Sementara itu, Gibran berdecak sebal. Lelaki itu mengusap wajahnya dengan kasar. Peluh sudah membanjiri wajah dan seluruh badannya. Sial! Devan mampu mengejar poin dan mendekati dirinya. Bisa-bisanya
Baca selengkapnya
Bab 33 | Resah
Berdebar tidak menentu, rasanya jantung sudah loncat dari tempatnya. Zahra dan Gibran, keduanya terlihat canggung. Yang terjadi di lapangan tadi benar-benar di luar perkiraan keduanya. Dan ciuman itu, adalah ciuman pertama mereka setelah tiga bulan pernikahan. Sekaku dan sedingin itulah hubungan pernikhan mereka selama ini.Teruntuk Gibran sendiri, dia semakin merasakan perbedaan dalam hatinya. Padahal, tadi hanya kecupan, bukan ciuman panas yang biasa ia lakukan saat bersama Humaira. Namun, kenapa jantungnya berdetak tak karuan?Apakah dia mulai mencintai Zahra?!‘Tidak mungkin aku jatuh cinta pada pengasuh anakku sendiri,’ bantah Gibran di dalam hati. Kedua tanganya mengepal di garis celana yang ia gunakan. Dia benar-benar tengah menahan perasaan bergejolak di dalam hatinya“Mas, yang ta—”“Kamu jangan salah paham! Semua itu hanya hukuman karena saya kalah dari Devan.” Gibran tetap mendang luruh. “Saya tadi taruhan dengan Devan dan kecupan itu sebagai tantangannya!”Deg!Hati Zahra
Baca selengkapnya
Bab 34 | Hati yang Berharap
Menjalin hubungan dengan baik dan berakhir dengan hal tak terduga membuat siapapun tidak siap menerimanya, begitu pula dengan Daffa. Mulutnya memang dengan mudah mengatakan ikhlas. Hanya saja, hati berbicara lain. Selalu ada ruang untuk dirinya merasa menyesal melepaskan Zahra.Daffa tak munafik apabila Zahra menemukan orang yang lebih baik dari dirinya, dia akan berusaha untuk ikhlas. Sayang, yang ia lihat beberapa hari lalu membuat dirinya menarik keputusan itu. Zahra tidak pantas mendapatkan lelaki seperti Gibran.Tidak, Daffa tidak merasa jauh lebih baik dari Gibran. Hanya saja Gibran tidak rela jika Zahra diperlakukan sedemikian rupa. Wanita itu terlalu baik. Dulu, Zahra lebih banyak mengalah demi Humaira. Dan kini, pwanita itu harus kembali membalas atas permintaan Humaira.“Kenapa, Ra? Kenapa kamu hanya diam saja!” teriak Daffa sambil memukul setir kemudinyamJujur saja, Daffa sakit hati melihat Gibran mencium Zahra. Namun, apa hendak dikata. Dia tidak memiliki hak untuk merasa
Baca selengkapnya
Bab 35 | Diabaikan
Pagi menjelang, matahari mulai menampakkan eksistensinya. Sinar terangnya menggambarkan semangat baru yang membara, begitu pula yang dirasakan oleh Daffa. Jujur, dia jauh lebih tenang setelah bercerita, berkeluh kesah kepada Sang Pencipta. Daffa rasa, itu pilihan terbaik daripada bercerita pada orang lain.Hari ini, Daffa memiliki jam kuliah pagi. Maka dari itu, dia sudah bangun sedari subuh. Kini, dia sudah selesai membersihkan diri dan mengenakan kaos hitam dengan kemeja kotak-kotak, dilengkapi celana hitam dan sepatu putih.Pesona ketampanan Daffa terlihat begitu jelas. Dia salah satu idola di kampus. Hanya saja, Zahra lah yang berhasil memenangkan hatinya, sebelum diharuskan berpisah. Huh, rasanya menyesakkan setiap kali mengingat nasib asmaranya.“Tenang, Daf. Lo nggak mungkin terus menerus berdiam diri di posisi ini,” ucap Daffa setelah menghela nafas panjang.Setelah mengatakan itu, Daffa melangkah menuruni tangga. Sesampainya di anak tangga terakhir, kepalanya menoleh ke berba
Baca selengkapnya
Bab 36 | Saling mendiamkan
Waktu berjalan begitu cepat. Rasanya, baru kemarin dia datang ke Bandung. Sekarang, dia sudah diharuskan untuk kembali ke ibu kota. Rasanya, sangat tidak rela meninggalkan tanah kelahiran tercinta.Sesuai dengan rencana mereka, Minggu pagi ini mereka akan kembali pulang. Sejak kemarin, Zahra sudah mulai mempersiapkan keperluan dirinya, terutama Nazira. Pakaian Gibran pun sudah selesai ia kemas. “Kita akan pulang, Sayang.” Zahra menatap sang anak yang sudah rapi dengan pakaiannya. Dia lalu menggendong Nazira, menuruni setiap anak tangga yang ada. Tujuannya adalah ruang keluarga tempat keluarga yang berkumpul.Saat sampai di sana, Zahra melihat Gibran dan Papa Bagaskara tengah berbincang. Untuk beberapa saat, langkah Zahra berhenti. Dia kembali merasakan sesak saat melihat Gibran. Pengakuan lelaki itu tentang taruhan yang terjadi membuat dirinya terluka.“Ra, kenapa kamu diam di sana?” tanya Papa Bagas setelah menyadari kehadiran anaknya.Zahra yang mendengarnya mengulas senyum sekila
Baca selengkapnya
Bab 37 | Terasa Berbeda
Empat hari berlalu, suasana di sekitar Gibran dan Zahra masih saja dingin. Keduanya tidak saling bertegur sapa. Bahkan, Zahra beberapa kali melengos waktu melihat Gibran. Dia masih belum bisa melupakan kata-kata suaminya tentang ‘bahan taruhan’ masih membekas begitu dalam.“Bi, semua masakan sudah saya siapkan. Nanti, minta tolong panaskan waktu Mas Gibran mau sarapan.” Zahra menghela nafas panjang. Jam masih menunjukkan pukul setengah lima, tetapi dia sudah harus pergi.“Mamangnya Non Zahra mau ke mana?” tanya Bi Jum dengan kening mengkerut. Wanita paruh baya itu tidak bisa menahan rasa penasarannya.Zahra mengulas senyum manis. “Hari ini saya berangkat pagi karena mau pergi ke Cirebon. Nanti saya akan kirim pesan ke Mas Gibran langsung.”Bi Jum membuat gestur seperti hormat. “Siap, Non. Nanti saya siapkan makanannya.”“Terima kasih, Bi. Saya siap-siap, dulu. Titip Nazira untuk hari ini, ya.”“Iya, Non. Tidak perlu khawatirkan Non Zira. Masyaallah, dia gadis kecil yang peka dengan ke
Baca selengkapnya
Bab 38 | Kalut Dibuat Sendiri
Termenung, gelisah, itu yang dirasakan Gibran saat ini. Lelaki itu sama sekali tidak bisa konsentrasi, padahal dia tengah membaca kontrak kerjasama dengan Pak Leon. Sesekali matanya melirik ke arah ponsel. Tangannya menekan aplikasi pengirim pesan. Decakan kesal terdengar nyaring saat tak menjumpai aka yang ia inginkan. Sial, kemana sebenarnya dia. Mengapa tak mengirimkan pesan satu pun. “Lek lagi ngelihatin apa?” tanya Devan saat melihat Gibran terus menatap ke arah ponsel. Gibran yang mendapatkan pertanyaan seperti itu langsung menekan tombol power. Lelaki itu kembali memfokuskan perhatian pada dokumen. Meskipun begitu, Gibran tetap tidak fokus dengan pekerjaannya. “Lo lagi mikirin Zahra?” tebak Devan dengan tatapan meledek. Lelaki dengan setelah kerja itu menatap sahabat sekaligus tangan kanannya dengan tajam. Dia sangat tidak menyukai kata-kata itu. Hanya saja, Gibran tahu pasti yang dikatakan Devan tidak sepenuhnya salah. Sebagian fokusnya memang sudah ambyar setelah mendenga
Baca selengkapnya
Bab 39 | Cemburu ya, Mas?
Perjalanan Jakarta-Cirebon ternyata memakan waktu lebih lama dari perkiraan. Mereka mengira tidak akan terjebak macet saat berangkat pagi hari. Namun, kenyataannya berbanding terbalik. Mereka tetap saja terjebak macet hingga perjalanan molor satu jam setengah.“Astaga, punggung gue,” keluh Putri setelah mobil berhenti di halaman yang sangat luas. Daffa yang mendengarnya hanya bisa memutar mata. “Lebih capek gue! Kalian mah enak bisa molor, lah gue?”“Itu mah resiko lo. Masa cewek mau nyetir?” tanya Putri sambil menatap kedua sahabatnyaZahra mengangguk, lalu terkekeh. “Kali ini aku setuju sama Putri. Kamu ‘kan satu-satunya cowok di kelompok ini. Jadi, ya sedikit lebih banyak berkorban,” ucap Zahra membuat Daffa menghela nafas panjang.Setelah mengatakan itu, mereka turun dari mobil. Mereka langsung disambut oleh masyarakat. Sambutan hangat mereka dapatkan. Sungguh, rasanya sangat senang melihat keantusiasan masyarakat.“Selamat datang di desa kami, Nak,” ucap Pak Manto sebagai kepala
Baca selengkapnya
Bab 40 | Sisi Lain Gibran
“Zahra.”Panggilan itu membuat Zahra menjauhkan ponsel, tanpa mematikannya. Sebelah wanita itu terangkat, seolah bertanya pada Daffa yang tiba-tiba saja masuk ke kamarnya.“Kenapa, Daf?’ tanya Zahra karena Daffa tak kunjung membuka suara.Daffa menggaruk kepalanya. Dia tadi mengira Zahra sudah tidur. “Nggak apa-apa, sih.”“Lah, terus kenapa kamu ke kamar aku? Katanya tadi mau istirahat?”Tanpa mereka tahu, Gibran sejak tadi mendengarkan percakapan mereka. Tangannya mengepal, rahangnya mengetat mendengar nama yang disebut oleh Zahra. Akhirnya, dia tahu siapa lelaki yang menjemput istrinya tadi.‘Ternyata kamu pergi dengan mantan pacarmu!’Gibran tidak suka dengan kenyataan itu. Seolah ada sesuatu yang memberontak dalam dirinya. Untuk kesekian kalinya pula, Gibran mengelak rasa tak nyaman itu. Dia terus berlindung pada kewajiban Zahra, seperti kontrak yang sudah mereka sepatu.Hanya saja, Gibran melupakan satu point penting dalam kontrak itu. Tidak boleh ikut campur urusan pribadi masin
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234568
DMCA.com Protection Status