Semua Bab KKN Di Desa Metanoia: Bab 31 - Bab 40
125 Bab
Bab 31. Menjemput Desry
[Beberapa jam sebelumnya]Tepukan di paha yang mengejutkan telah membangunkan seorang wanita berkulit putih, rasa sakit masih setia hinggap di kepalanya dengan denyutan yang terasa kuat dan terjadi secara acak. Wanita itu meraba lantai untuk menumpukan berat badan di tangan dan perlahan duduk, di tatapnya wanita muda yang sudah duduk bersila di hadapannya.Jejak darah mengalir dari pelipisnya telah mengering, "sudah mau sore kayaknya, kamu jemput Desry dulu ya?" ucap wanita muda itu.Menutup lagi mata sambil tetap menumpu beban tubuh di kedua tangan, kepala yang perlahan tertunduk itu terlihat dipaksanya untuk kembali terangkat, "tapi sebenarnya ada apa sih, kak?" tanyanya menahan pusing yang amat membebani kepala."Kalian mau diperkosa, mereka juga mau coba-coba ke teman cowok kamu." Jawaban yang sebenarnya sangat mengejutkan cenderung menjijikkan, namun begitu lemas badan rasanya untuk memberi respon itu."Afrian, Angga, dan Erwin?" sahut wanita berkalung liontin sabit itu, respon a
Baca selengkapnya
BAB 32. Sepanjang Menunggu
Sendiri, satu kata yang sebagian orang sangat menginginkan itu dan sebagian lainnya sangat muak akan hal itu. Sendiri, satu kata bermakna luas dengan perasaan yang menguras pikiran dan tenaga dalam harapan.Vina telah memejamkan matanya dengan ketenangan yang terlihat damai, meski kegelisahan terus Desry tunjukkan dengan ketakutan yang ia rasa. Hanya dapat menunduk dan tidak ingin lagi melihat wajah Vina, kantung mata sang wakil ketua kelompok itu begitu gelap dan menakutkan dirasa."Hm," deham seseorang dari belakang Desry, dehaman yang membuatnya langsung mengangkat kepala dan tanpa ragu menoleh ke belakang.Kedua tangan Desry yang masih memegang erat bahu Vina kini teralihkan saat mengetahui panggilan itu dari Liona, perlahan Desry baringkan tubuh lemas Vina dan menghampiri temannya, "Li?" tukasnya setelah duduk di hadapan Liona, "lo enggak sakit, kan? Lo baik-baik saja, kan?""Des ... nanti kalau ada polisi ke sini buat tanya banyak hal, cari jawaban paling aman buat kita dan buat
Baca selengkapnya
33. Tersadar
Matahari telah menunjukkan eksistensinya dari ufuk timur, mengintip dengan malu meski cahayanya telah menyinari sebagian permukaan bumi. Cerahnya pagi tidak secerah suasana hati yang diselimuti kebingungan warga desa, tersadar dari tidur lelap cenderung tak wajar dengan rasa sakit di beberapa bagian tubuh.Belum banyak kata yang bisa warga desa ucapkan satu sama lain, hanya saling melihat dan menunjukkan hal yang ingin diberitahu, seperti jejak darah maupun luka memar. Masih pada tahap mengumpulkan kesadaran sambil mengingat keadaan, tiba-tiba dua pria berseragam mendatangi beberapa pria desa yang masih saja duduk termenung."Selamat pagi," sapa salah satu petugas pada kepala desa yang sudah ia ketahui sebelumnya, sedangkan seorang petugas lagi memeriksa enam mahasiswa yang masih terlelap di pendopo balik semak ini."Pagi," sambut Danang dengan suara lemasnya."Kami dari kepolisian, dengan bapak Danang?" ucap petugas itu sambil menunjukkan tanda pengenalnya."Iya, betul," jawab Danang
Baca selengkapnya
34. Kesaksian Palsu
Remasan yang bisa dikatakan sangat kuat dengan segala amarah tertahan, belum ada dua puluh empat jam sejak emosi Erina diluapkan, tapi kini emosi itu kembali lagi bahkan lebih kuat. Kuku-kuku yang memutih karena remasan itu sama sekali tidak membuat Erina merasa baik, "Kak Erina," panggil seseorang mengetuk pintu kamar yang masih terbuka itu.Perlahan remasan pada ujung daster itu terlepas, diikuti dengan kepala yang terangkat dan menunjukkan wajah termasuk mata yang memerah, "Kak Erina nangis?" kata orang itu menghampiri dengan raut khawatir yang tidak bisa dibohongi."Enggak," jawab Erina singkat sambil mengulum senyum, "kamu baik-baik saja, Liona?"Wanita berambut ikal itu pula mengulum senyum dan mengangguk, "aku sudah dengar semua dari Vina," katanya mengubah posisi duduk, tak disangka ternyata ia membaringkan dirinya dan menyandarkan kepala di kedua kaki Erina yang bersila."Semuanya sudah bangun?" tanya wanita itu menunduk dan mengelus-elus rambut Liona, ada rasa senang yang te
Baca selengkapnya
35. Kesepakatan Polisi
"Gue enggak habis pikir sama Erina, licik banget," gumam Liona sambil beriringan jalan menuju rumah sementara mereka selama di desa, "kalau begini keadaannya, kan gue jadi takut sama Erina, Vin. Jadi trust issue, siapa lagi yang mau gue percaya di desa ini sampai kelar KKN?" lanjut Liona mencecar Vina dengan perasaan dan pikirannya.Kebohongan yang jelas dilakukan Erina pada polisi mendatangkan perasaan tidak enak bagi Vina dan Liona, menyadari kebohongan untuk melukai orang lain dan menciptakan sandiwara seolah ada buronan yang menyerang, tidaklah baik untuk tetap dipendam, "kami balik," ucap Vina setelah sepanjang langkahnya hanya mengabaikan Liona yang pada akhirnya terdiam.Setelah mengunci pintu utama, dua wanita itu berjalan ke kamar pojok tanpa lagi niat untuk memeriksa penjuru rumah. Tidak kaget rasanya saat menjumpai dua petugas berseragam yang sebelumnya menginterogasi Erina, "kenapa di sini, pak?" tanya Vina sambil melangkah masuk bersama Liona, lalu duduk di antara Desry da
Baca selengkapnya
36. Penemuan Baru
Keramaian desa yang dikunjungi oleh berbagai kalangan perlahan kembali pada ciri khas desa, sepi dan tenang. Para pencari berita, polisi, petugas kesehatan, pemerintah daerah setempat, dan utusan pihak kampus dari para mahasiswa juga telah berpamitan setelah menelusuri desa dengan segala bantuan dan bimbingan warga desa."Iya, Pak ... Iya betul, tidak perlu bapak sampai patroli atau menunggu desa ini, kami akan mengganti rantai dan gembok di gerbang agar lebih aman," ujar Danang mengantarkan beberapa petugas polisi dan dosen ke depan gerbang desa, gerbang yang menjadi satu-satunya pintu masuk dan keluar desa Metanoia."Tapi untuk mahasiswa kami, apa dijamin keamanannya?" tanya dosen pembimbing mahasiswa, kunjungan untuk yang ketiga kalinya setelah mendengar berita penyerangan desa oleh buronan."Dijamin kok, Pak. Aman kita," jawab Afrian mengancungkan ibu jarinya dengan senyum lebar dan menunjukkan barisan giginya."Kalau begitu, mohon disosialisasikan ke seluruh warga desa. Kalau ter
Baca selengkapnya
37. Wajar kalau aku nangis?
"Besok kita mulai kerja lagi kayak biasa, ya," kata pria berbadan sedikit bongkok dengan perut buncitnya yang khas, "mahasiswa tolong diatur lagi seperti sebelumnya.""Tapi polisi, wartawan, dan dokter enggak akan ke sini lagi, Pak?" tanya pria muda mewakilkan lima temannya sambil memperhatikan raut wajah pria buncit itu dengan saksama, "maksud saya, kalau mereka ke sini lagi, program kerja kami bisa terus diundur dan rencana buat program lainnya bisa berantakan," lanjut pria muda bernama Afrian itu menyadari perubahan ekspresi lawan bicara yang menatapnya lebih tajam."Apa program lain kalian selain bikin saluran pembuangan air?" sahut pria bertubuh sedikit bongkok bernama Danang Harja."Sesuai permintaan warga desa, yang minta kami dari mahasiswa membangun aula," jawab Afrian dengan lugasnya."Rencana kalian buat kegiatan belajar, enggak jadi, kan?" Afrian menggeleng sambil mengulum senyum, "bagus, jadi kalian cuma bikin saluran pembuangan dan aula, ya?""Iya, betul," ucap Afrian me
Baca selengkapnya
38. Pertanyaan Lagi
Hening, tidak ada suara yang terdengar. Sunyi, tidak ada gerakan yang dapat menimbulkan bunyi. Begitu hampa dirasa setelah Vina bertanya, bukan pertanyaan yang membuat canggung keadaan tapi reaksi Erina kala pertanyaan itu diajukan."Ya," jawab Erina setelah sekian lama terdiam dan hanya melakukan kontak mata dengan Vina, jawaban yang sekaligus memutus kontak mata keduanya, "aku dipaksa hidup kayak mereka, aku dilarang percaya sama bapakku sendiri, bapakku dimusuhi dan dikata-katain padahal sudah mati. Kayak gitu, aku harus maafin mereka? Kalau hidup kalian kayak gitu, kalian mau maafin mereka?"Teralih pandangan Vina pada Liona yang berdeham singkat, mata keduanya saling bertukar informasi singkat hanya untuk memberi konfirmasi. Sejauh mana emosi Erina yang mereka sadari?"Enggak, tapi kenapa kakak mau mereka mati? Aku juga benci orang di kota, tapi aku enggak mau dia mati," ujar Liona menggali cara berpikir Erina yang dibenci warga desa, kali ini timbul pertanyaan baru dalam benak Li
Baca selengkapnya
39. Konfirmasi Dugaan
"Hah? Gimana maksud lo gimana?"Pagi yang mendung di pinggir pantai menyambut dengan kesejukan teruntuk orang-orang di desa Metanoia, kesejukan yang tidak selaras dengan suasana hati dan pikiran bagi sebagian pengunjung desa Metanoia. Bingung, itulah yang dirasakan oleh tiga wanita berstatus mahasiswa setelah mendengar penjelasan dari tiga teman pria mereka."Apa sih? Enggak ngerti gue," sahut wanita lainnya sambil menyisir rambut, "baru juga bangun, sudah disuruh mikir," lanjutnya menggerutu."Oke gini. Kemarin Erina nangis kan, Li ... Vin?" tanya pria berambut kribo pada dua teman wanitanya yang mengangguk, "menurut kalian, dia nangis kenapa?""Menurut gue sih, dia nangis karena bapaknya dihina sama warga desa bahkan ibunya juga," jawab wanita dengan kalung liontin sabit yang selalu menggantung bebas di lehernya, "gue bakal marah kalau bapak gue dihina sama ibu gue sendiri, tapi kalau gue enggak bisa bertindak banyak ya gue pasti bakal nangis. Gue merasa gagal untuk menjaga nama bap
Baca selengkapnya
40. Diskusi Kelompok
Mengernyit kening wanita berpakaian lusuh itu, sorot mata yang bahkan tiba-tiba menjadi sendu dan kepala yang perlahan menunduk. Napas Erina yang tetap teratur sedikit-banyak membuat Vina dan Desry spontan bertukar tatap, saling memberitahu kondisi yang dipahami meski berakhir dengan terangkatnya dua bahu yang bingung.Vina mencolek Liona dan mengangkat dagunya sedikit, mempertanyakan tujuan temannya itu bertanya hal cukup sensitif.Liona hanya menoleh untuk memicingkan matanya dan kembali melihat Erina, tidak ada jawaban yang dapat dipahami Desry atau Vina atas responnya yang dirasa menyebalkan. Erina pun menggeleng dan perlahan mengangkat kepalanya, "aku enggak pernah berpikir dari dulu. Kemarin aku marah ... marah banget, mereka selalu jahat ke orang baik. Aku enggak mau diam saja sampai kalian jadi korban, biar anak-anak aku saja yang jadi korban karena aku diam, jangan ada lagi," tutur Erina pelan yang justru membuat Vina dan Desry mengernyit bingung, berbeda dengan Liona yang mem
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
13
DMCA.com Protection Status