Pagi itu, saat Helena terbangun, tangannya meraba sisi ranjang yang kosong. Hanya sprei kusut yang tersisa — jejak samar tempat Rivano berbaring semalam.Ia menoleh, dan benar saja: selembar catatan kecil tergeletak di atas nakas. Rivano selalu begitu — lebih suka menulis daripada berbicara, lebih pandai menitipkan pesan lewat tinta daripada lewat ucapannya sendiri.Entah bagaimana cara memahami bahasa cintanya — apakah lewat sentuhan, atau sekadar lewat keheningan. Helena tak pernah tahu. Ia hanya tahu, mencintainya berarti belajar menerjemahkan hal-hal yang tak pernah benar-benar diucapkan.“Saat kamu terbangun, aku sudah di pesawat. Aku terbang ke New York, ada pekerjaan yang harus kuselesaikan. Mungkin seminggu aku kembali.”Hanya itu. Beberapa baris kalimat dingin di atas kertas putih — penjelasan, bukan cinta. Helena menatap tulisan itu lama, lalu tersenyum miris.“Apa yang kau harapkan, Helena... Biasakanlah meromantiskan dirimu sendiri,” gumamnya pelan.Ia beranjak ber
Last Updated : 2025-10-19 Read more