Semua Bab Status Kontrak dengan Kakak Angkat: Bab 21 - Bab 30
57 Bab
Bab 21
Azila dibuat kelabakan karena foto itu sepertinya telah hilang. Semua saku celananya telah Azila rogoh, tapi sayang foto Liana bayi serta kembarannya tetap tidak bisa ia temukan. "Aduh ke mana fotonya, bukannya tadi aku simpan di saku celana, kenapa jadi nggak ada? Apa jangan-jangan ... foto itu yang dia incar? Siapa orang itu sebenarnya? Dan apa maksud semua ini? Kenapa harus aku lagi yang jadi korban?Aaaaaa...," jeritnya dalam hati. Mbok Karsih dan Marni yang melihat tingkah aneh Azila saling bertatapan. "Nyari apa, Non?" tanya Marni memberanikan diri. "Emmm, tidak ada," ucapnya bohong. "Bisa minta tolong ambilkan air hangat dan obat pereda sakit, aku ingin mengompres leherku ini. Rasanya benar-benar sakit," pintanya pada Marni. "Baik, Non. Sebentar saya ambilkan dulu obat dan kompresannya. Tapi, saya takut, Non! Saya takut penyusupnya masih ada di rumah ini," bisik Marni pelan. Raut wajahnya menyiratkan sebuah ketakutan. 'Berarti bukan Marni pelakunya, gadis muda itu terli
Baca selengkapnya
Bab 22
 "Iya, penyusupnya adalah kamu, Marni!" tunjuk Revan ke arah Marni. Semua mata langsung tertuju pada Marni. "Apa? Den Revan bilang saya pelakunya?" Seketika mata Marni terbelalak, bahkan Marni tidak percaya dengan pendengarannya. "Marni? Penyusupnya?" Azila pun ikut terkejut mendengar perkataan Revan kalau Marni adalah pelaku pemukulan dirinya. Apalagi dari tadi Marni terlihat sangat ketakutan.Mbok Karsih hanya terdiam, dia belum memberikan respon apapun terkait tuduhan Revan pada anaknya. "Bu, tolong Marni! Ibu tahu sendiri dari tadi Marni menemani nyonya besar di kamarnya. Terus bagaimana bisa Marni yang dituduh telah memukul Non Azila?" bela Marni berharap ibunya mau bicara dan menolongnya. Mbok Karsih hanya terdiam, keringat dingin sudah mulai terlihat membasahi keningnya. "Kak, aku kira bukan Marni pelakunya. Walaupun sepertinya dari awal dia memang
Baca selengkapnya
Bab 23
 Drrttt! Drrttt! Drrttt!   Samar-samar kudengar suara ponsel yang terus bergetar. Dengan mata yang masih terpejam kucoba meraih benda pipih itu, yang kuletakkan di atas meja di samping tempat tidurku.  Aku mengucek kedua bola mataku. Rasanya berat sekali mata ini terbuka. Badanku lemas, setelah hampir 8 kali aku harus bolak-balik ke toilet di kedai bakso itu. Kalau saja bukan karena aku kembali mengacaukan harinya, rasanya enggan aku menerima tawaran Azila untuk makan bakso di sana.   Akan tetapi, entah kenapa, perasaanku yang tadi kacau karena bertemu Sofia, tiba-tiba hilang ketika bersama Azila. Aku jadi tertawa sendiri mengingat kekonyolanku saat tadi bersamanya. Apalagi ketika aku ditantang untuk makan bakso 2 porsi dengan level pedas yang sangat tidak wajar. Hahaha, alhasil aku harus berakhir bolak-balik ke toilet. Tapi, ketika melihat Azila tertawa lepas
Baca selengkapnya
Bab 24
Ternyata hampir satu jam aku tidak sadarkan diri. Saat kali pertama kubuka mata, aku sudah berada di sebuah ruangan serba putih dengan aroma obatnya yang khas.   "Ya ampyun, syukurlah akhirnya Bos Revan sadar juga. Eyke beneran panik tadi," cerocos Alex saat aku baru tersadar.   "Apa yang terjadi denganku? Kenapa aku bisa ada di sini? Liana, gimana kondisi Liana?" cecarku pada Alex. Aku mencoba bangkit berdiri tapi tiba-tiba kepalaku terasa sakit dan berputar, pandanganku sedikit kabur, hampir saja aku terjatuh. Untung ada Alex yang langsung sigap membantuku.   "Adu-duh, Bos! Tenang ya! Udah, lebih baik istirahat dulu di sini! Tadi dokter bilang Si Bos kurang darah, terus lambungnya kosong jadinya pingsan, deh. Emangnya Bos Revan belum makan dari kapan?" tanya Alex seraya membantuku duduk bersandar.   Makan? Aku baru teringat kal
Baca selengkapnya
Bab 25
 "Arahnya dari sekitar taman, Den," tunjuk Pak Darmin.  "Kita lihat ke sana sekarang, Pak!" Dengan setengah berlari kami bergegas mencari asal suara.  Ya Tuhan apalagi ini? Aku pulang untuk menenangkan pikiran dan tubuhku. Tapi, baru saja aku memasuki gerbang sebuah teriakan minta tolong sudah menggema.  "Tolong! Tolong! Ada yang pingsan! Tolong!"  "Cepat, Pak!" seruku pada pak Darmin.  "I-ya, Den." Dengan terengah-engah pak Darmin mencoba menyusul langkahku.  Setelah tiba di tempat teriakan berasal, kami berdua terperanjat. Seseorang sedang terkapar di tanah dengan masih menggenggam
Baca selengkapnya
Bab 26
 PAPA? Jadi papa adalah pimpinan rumah sakit ini? Rumah sakit Yudistira Persada Utama. Tempat Liana akan melakukan transplantasi jantungnya? Pantas saja aku seperti tidak asing dengan nama rumah sakit ini. Aku mengambil ponselku dan diam-diam merekam kegiatan papa di sini. Setelah dirasa cukup, kemudian aku mengirimkan pesan kepada Panji--asisten pribadiku di kantor. [Selidiki tentang Rumah Sakit Yudistira Persada Utama, apa benar papa adalah pimpinan rumah sakit ini?] Bagaimana ini? Kalau sampai papa tahu Liana masih hidup dan ada di rumah sakit ini, bisa-bisa operasi transplantasi jantungnya bisa dibatalkan, nyawa Liana sedang dalam bahaya. Aku sudah menunggu cukup lama untuk operasi ini. Jangan sampai operasinya gagal lagi! "Aku dengar akan ada operasi besar hari ini?" Samar-samar kudeng
Baca selengkapnya
Bab 27
 "Nyonya, bolehkah aku turut memanggilmu, mama?" Azila menatap lekat wajah teduh yang kini tengah terlelap di sampingnya.  "Aku tidak pernah tahu rasanya mempunyai seorang ibu itu seperti apa, tidak pernah tahu rasanya belaian dan dekapan seorang ibu itu bagaimana. Walaupun tidak kupungkiri kasih sayang almarhum ayah sudah lebih dari cukup untuk menggantikan itu semua. Tapi, tetap saja rasanya ada yang berbeda." Azila menghela napasnya. Ia semakin lekat menatapnya lebih dalam, mencoba memahami perasaannya ketika bersama wanita yang ia harap adalah ibu kandungnya.  "Hanya karena aku mirip dengan putrimu yang telah tiada, anda mengira aku adalah putrimu. Bagaimana jikalau aku sebenarnya memang putrimu yang telah lama hilang, ma?" Azila menarik napasnya perlahan, berusaha mengendalikan emosi yang ada pada hatinya. Ia membelai lembut pipi
Baca selengkapnya
Bab 28
"Apa aku tidak salah dengar? Ibu kandung? Maksudnya apa? Bukankah nyonya Raihanah ibumu?" Azila terkejut mendengar pernyataan Revan. Kesedihan yang sedang ia rasakan seolah-olah teralihkan oleh perkataan Revan yang menyebutkan kalau Raihanah bukan ibu kandungnya. "Ya, mama ... hanya ibu sambung. Seorang ibu sambung yang kasih sayangnya bahkan melebihi ibu kandung. Bersamanya membuat diri ini tidak pernah ingin tahu dan peduli di mana ibuku berada," jawab Revan lirih. "Iya, aku bisa melihat itu. Kamu terlihat sangat menyayangi nyonya Raihanah. Pastinya beliau selalu mengajarkan hal-hal baik padamu, 'kan?Bolehkah aku tahu, apa alasan seorang pengusaha sepertimu tidak ingin mencari keberadaan ibu kandungnya?" ucap Azila menatap lekat pria yang beberapa minggu lalu membawanya dalam keluarga ini. "Aku hanya ingin meneruskan hidup tanpa harus dibayangi masa lalu," balas Revan balik menatap Azila. Tanpa Azila ketahui, sebenarnya itu adalah ungkapan hati Revan yang sejujurnya. Bukan kare
Baca selengkapnya
Bab 29
Cukup lama Yudistira memikirkan siapa kira-kira orang yang berada di belakang Sofia. Yang membuat mantan kekasih anaknya--Revan, mempunyai nyali yang besar untuk melawannya seorang sendiri. "Kurang ajar! Siapa orang yang sudah memberinya kekuatan untuk melawanku?" umpatnya penuh amarah. "Apa jangan-jangan orang itu Revan, anakku sendiri? Tapi, rasanya itu tidak mungkin." Yudistira menggeleng-gelengkan kepalanya. "Revan bahkan tidak tahu kalau kekasihnya itu pernah menjadi sugar babyku. Papa minta maaf Revan. Papa tidak bermaksud mengkhianatimu. Semua karena ... wanita yang telah lama kusebut istri tidak pernah mau tersentuh. Hingga akhirnya papamu ini mencari kepuasan di luar. Dan Sofia ... dia gadis yang hebat." Yudistira mengangkat sebelah sudut bibirnya. Rasanya ingatannya kembali pada saat awal pertemuannya dengan Sofia, yang membuatnya bisa kembali merasakan gairah masa mudanya. Tok! Tok! Tok! Seketika pintu ruangan sang Presdir terbuka. Seorang wanita berperawakan sedang meng
Baca selengkapnya
Bab 30
"Pak Yudistira?" sapa sang sekretaris yang melihat atasannya melamun. "Maaf, ayo kita ke ruangan pasien itu sekarang! Sebentar lagi jam makan siang," ajak Yudistira yang tersadar dari lamunannya. Ajakan itu langsung disambut sebuah anggukkan oleh sekretarisnya. Yudistira berjalan di depan, diikuti oleh Salma yang mengekor di belakangnya. Menuju ke sebuah elevator yang akan mengantarkan mereka menuju ruangan pasien yang terletak di lantai tiga rumah sakit ini, ruangan sweet room president lebih tepatnya. Ting! Pintu elevator terbuka. Di dalam elevator ternyata ada sebuah blankar yang tengah membawa pasien. Ditemani oleh seorang dokter dan dua orang perawat serta dua orang lainnya yang menggunakan masker serta topi. Sang dokter dan dua orang perawat tadi sempat mengangguk hormat ke arah Yudistira. Yudistira membalas anggukkan dokter dan dua perawat yang merupakan karyawannya tersebut bahkan mempersilakan blankar tadi untuk melewatinya. Kejadian seperti tadi sudah biasa terjadi di ru
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
DMCA.com Protection Status