Demi bisa membayar lunas hutang-hutang yang telah ditinggalkan almarhum sang ayah semasa hidupnya, Azila Meina Zahrain seorang gadis muda berusia 20 tahun harus menjalani sebuah kontrak perjanjian dengan seorang pengusaha muda berusia 25 tahun, Revan Darmendra Yudistira. Azila diminta untuk berpura-pura menjadi adiknya yang dikabarkan telah meninggal dunia. Semua itu demi membantu memulihkan kesehatan mental sang ibu. Tetapi kebersamaan mereka justru menumbuhkan benih-benih cinta satu sama lain. Namun sayang, di dalam perjanjian tersebut mereka dilarang untuk mempunyai rasa. Selain itu, kebersamaan mereka ternyata justru mengungkapkan rahasia tentang siapa sebenarnya Azila dan Revan. Akankah rahasia itu mengubah rasa cinta di antara mereka? Apakah keduanya bisa bersatu? Atau malah menjadikan mereka saling membenci?
View More"Sialan, kalian mau bawa aku ke mana?" umpat Yudistira saat tahu mobil polisi yang membawanya berbelok arah dan bukan menuju kantor polisi. "Hahaha ... jangan banyak bicara kau Tua Bangka!" pekik salah satu pria yang menyamar sebagai polisi tersebut. "Siapa kalian sebenarnya? Cepat, katakan!" teriak Yudistira lantang ke arah kedua pria itu. "Plak! Jangan banyak bicara aku bilang!" Sebuah tamparan tepat mendarat di pipi Yudistira. Seketika cairan berwarna merah keluar dari salah satu sudut bibirnya. "Kalian berurusan dengan orang yang salah. Anak buahku pasti akan segera menemukan keberadaanku," ucapnya sinis. Seketika salah satu oknum tersebut menutup kedua mata pria paruh baya itu dengan kain hitam. "Lepaskan! Kalian pasti akan mati! Lepaskan!" Sebuah lakban lantas berhasil menyumpal mulut Yudistira. Pria paruh baya itu kini tak bisa berkutik melawan dua orang pria yang tadi menyamar sebagai polisi dan berhasil menangkapnya. 'Kurang ajar, siapa mereka? Kenapa mereka berani memp
Sementara itu, Yudistira sedang kewalahan dengan laporan yang telah dibuat oleh Raihanah dan Revan. Polisi sudah dua kali melayangkan panggilan dan belum ada tanggapan dari pihak dirinya terkait hal ini. Yudistira ditetapkan sebagai terdakwa untuk beberapa kasus yang dilaporkan Raihanah dan Revan."Sialan, apa-apaan ini? Mereka pikir aku takut dengan gertakan ini? AARRRGGGHHH!" Pria itu membanting surat panggilan tersebut. Tok! Tok! Tok! Seorang pria berjas hitam masuk dan menghampiri Yudistira, sambil mengangguk memberi hormat pada bosnya. "Bagaimana, Mr. Yukata sudah bersedia datang ke pertemuan nanti malam?" tanya Yudistira dengan wajah kesalnya. "Maaf, Tuan. Mr. Yukata harus segera kembali ke Jepang sore ini, sekitar pukul empat beliau akan take of dari Bandara Soetta," jelas pria berjas hitam itu. "Apa? Jadi benar Mr. Yukata
Kutarik napas dalam-dalam, mengumpulkan segenap keberanian untuk menanyakan hal yang tak seharusnya kutanyakan sekarang."Apa kau mencintaiku, 'Kak?" Kutatap wajah teduhnya, ia nampak terkejut mendapatkan pertanyaan itu dariku.Satu menit, dua menit, lima menit, masih tidak ada satu kata pun yang terucap darinya. Aku masih menunggu jawaban dari pria yang waktu itu kudengar mengutarakan perasaannya.Mama menghampiri 'Kak Revan. "Jawablah, dia menunggu jawaban darimu!""Mengapa tiba-tiba kamu menanyakan hal itu?" tanyanya dengan ekspresi heran."Entahlah, hanya saja ketika aku belum tersadar rasa-rasanya aku mendengar seseorang mengucapkan kata itu. Aku hanya penasaran apa semua yang kudengar nyata atau hanya ilusiku saja," jawabku dengan pandangan yang lurus menghadap langit-langit kamar yang berwarna putih
Pov Azila."Di mana ini? Semua nampak hampa dan kosong." Aku mengedarkan pandangan--putih tanpa cela, berharap bertemu dengan seseorang yang mungkin bisa menjawab pertanyaanku."Mama ... Kak Revan ... Sus Reni ...? Kalian di mana?" Aku terus memanggil mereka. Tak ada yang mendengar dan menjawab teriakkanku."Ayah ... Bi Nani ... Danur ...! Kalian di mana?" teriakku sekali lagi.Aku terus berlari dan berlari menyusuri ruang hampa tak berujung. "Siapapun, tolong jawab! Aku di mana?" pekikku keras.Sunyi, hanya ada suaraku yang menggema. Aku bahkan bisa mendengar dengan jelas setiap hela napas yang keluar dari indera penciuman. Aku kembali berlari, berlari dan terus berlari. Sampai kaki ini lemas dan tak sanggup lagi untuk berpijak."Semua orang ... kalian di mana?" teriakk
Semua mata langsung tertuju pada asal suara. "Bi Nani?" ucap Raihanah dan Revan bersamaan."Iya, Sus, ambil darah saya! Mungkin saja darah kami cocok," ujar wanita itu dengan tergopoh-gopoh menghampiri Raihanah dan Revan."Baik, kami akan memeriksa Anda semua. Silakan ikut kami ke ruang pemeriksaan!" seru perawat itu kepada mereka bertiga.Revan yang mendapat giliran pertama untuk diperiksa. Sambil menunggu giliran, Bi Nani dan Raihanah sempat berbincang."Saya langsung datang ke mari setelah Nak Revan mengabari soal Si Neng. Ya Allah, kenapa bisa begini, Bu?" tanya Bi Nani dengan terisak. Wanita itu tidak menyangka hal ini akan terjadi pada gadis yang sudah ia anggap seperti anaknya itu."Saya minta maaf, Bi. Saya tidak bisa melindungi anak saya untuk kedua kalinya.
'Sepertinya wanita itu bos mereka,' gumam Azila dalam hati."Serahkan kotak hitam yang kalian bawa!" ucap salah satu pria bertopeng yang memiliki tato di lengan kanannya.'Ternyata benar, wanita itu yang tadi Danur lihat.'"Kotak hitam apa yang kalian maksud?" Azila pura-pura tidak mengerti dengan barang yang mereka incar."Alah, jangan pura-pura bodoh, gadis cantik!" Salah satu pria bertopeng tadi mulai terlihat kesal. Azila masih saja bungkam dan tidak mau bicara."Siapa yang sudah menyuruh kalian melakukan ini kepada kami?" tanya gadis yang sedang mengikat rambutnya itu, air mukanya kini berubah merah padam. Ia bisa saja langsung menghajar ketiga pria di depannya, hanya saja senjata tajam yang mereka bawa bukanlah tandingan gadis tomboy ini."Kau tidak perlu tahu, jangan banyak omong, cepat serahkan kotak hitam itu! Atau ... kami ambil paksa?" ucap pria bertato dengan kasar. Sedangkan salah satu pria menodongkan sebuah pisau belati ke arah dirinya."Ck, kalian semua laki-laki cemen
"Siapa di sana?" ucap Azila sekali lagi. Gadis itu mulai beranjak dari tempatnya duduk. Perlahan ia mulai mendekati pintu. Sebelumnya ia melarang kedua wanita yang bersamanya itu untuk bersuara dan tetap diam di tempat.Ceklek! Pintu itu perlahan mulai terbuka. Azila mengedarkan pandangannya melihat keadaan luar rumah. "Astaghfirullah, Danur? Kamu kenapa, Sayang?" teriak Gadis itu terkejut melihat keponakan kecilnya sedang terduduk sambil memegangi lututnya yang terlihat mengeluarkan darah."Bi, Danur jatuh, Bi!" teriak Azila memanggil Bi Nani.Seketika dua orang wanita yang berada di dalam rumah langsung ke luar saat mendengar teriakan gadis itu."Ya Allah, Nak? Kamu kenapa?" Gegas Bi Nani menghampiri anak lelakinya yang kini sedang menangis tersedu."Huhuhu ... huhuhu .., sakit Bu! Huhuhu ...!" ucap Danur
"Ya Allah, ini teh beneran Neng Azila?" Dengan logat sundanya yang khas, wanita berhijab itu langsung berhambur memeluk gadis yang dulu pernah tinggal bersamanya.Awalnya Bi Nani sempat ragu saat mendengar suara mobil terparkir tepat di depan rumahnya. Wanita itu lantas mengintip di balik gorden. Dua orang wanita turun dari mobil mewah yang tadi terparkir. Yang satu nampak anggun dan berkelas dengan menenteng tas dari salah brand ternama, dan satu anak gadis dengan rambut panjang hitam lurus yang dibiarkan terurai dengan sedikit riasan di wajahnya. Namun, saat gadis muda itu mengucapkan salam, barulah Bi Nani mengenal dan langsung membukakan pintu."Iya, Bi. Ini Zila, Bibi apa kabar? Zila kangen banget," ujar gadis itu seraya membalas pelukan sang Bibi. Dengan senyum yang terus terkembang di raut wajah keduanya."Alhamdulillah, Neng. Kabar Bibi baik. Ya Allah, kamu tambah cantik aja, Bibi sampai pangling." Bi Nani menggenggam erat tangan Azila, seolah masih tidak percaya, gadis muda y
Hari beranjak malam, tapi Revan masih belum beranjak dari ruang kerjanya. Setelah mengetahui kecurangan demi kecurangan yang telah dilakukan sang ayah--mengatasnamakan dirinya, membuat pria muda itu harus memutar otak menyelesaikan masalah yang tidak pernah ia lakukan. Belum lagi, kebakaran yang terjadi tempo hari di salah satu gudang logistik membuat perusahaannya harus menanggung kerugian yang sangat besar. "Bagaimana ini, bisa-bisa para investor asing itu angkat kaki dari perusahaan. Proyek pembangunan ini tidak boleh gagal. Aku harus bisa menyelamatkan perusahaan mama." Tok! Tok! Tok! "Masuk!" seru pria muda itu saat mendengar pintu ruangannya diketuk. "Ada apa?" "Tuan Yudistira sudah setuju untuk bertemu malam ini. Beliau bilang jam delapan ditunggu di Caffe Cassa The Lounge," tutur Panji seraya menyerahkan ponsel milik Revan yang tadi ia pakai untuk menelepon. "Ok!" Revan melirik arloji yang ia pakai di lengan kiri. "Setengah jam lagi. Aku harus bergegas." "Terima kasih,
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.