Semua Bab The CROWN (Sang Pewaris Takhta): Bab 101 - Bab 110

Taman bagian selatan istana Namira berukuran lebih besar dari taman yang lainnya. Selain itu, tak banyak bunga yang ditanam di taman ini sehingga sering digunakan untuk berlatih pedang dan senjata lainnya oleh Alexant dan George. Taman ini juga jarang dimasuki oleh penghuni istana, tak jarang Alexant memanfaatkannya sebagai tempat persembunyian saat ia sedang malas untuk belajar. Namun, kali ini ia ke taman ini bukan untuk berlatih, apalagi untuk bersembunyi. Pria di depannya bukanlah Jenderal Wallace, bukan pula Dutchess Natasha atau gurunya yang lain. Pria yang berada di depannya adalah Lance Loire, raja Alastoire yang terkenal dengan kebekuan hatinya. Benar apa yang dikatakan George, tidak ada yang berubah dari diri Lance Loire. Tak ada wajah ramah, tatapannya pun tetap dingin seperti dulu. Bahkan, sorot matanya terkesan lebih tajam dari pertemuan terakhir mereka sembilan tahun yang lalu. Mungkin karena usianya yang juga bertambah membuat intimidasinya semakin kuat. "Pangeran Al

"Seperti yang sudah saya duga sebelumnya, Yang Mulia, Raja Loire hanya ingin mengejek Anda!" George berbicara dengan berapi-api. Ia mondar-mandir di depan Alexant, di dalam kamarnya sejak beberapa menit yang lalu setelah mereka kembali dari taman. "Seharusnya Anda tidak meladeninya, Yang Mulia!""Aku memang tidak melakukannya, George." Kalimat pertama yang keluar dari mulut Alexant setelah mereka tiba di kamarnya beberapa saat yang lalu. Ia hanya duduk di salah satu single sofa yang mengisi kamar tidurnya, membiarkan George mengomel. Ia tak ambil pusing dengan apa yang dilakukan oleh Raja Loire, asalkan dia tidak mengganggu, apalagi mengacaukan upacara pernikahannya lusa, maka ia tidak peduli. "Benarkah?" tanya George menatap Alexant dengan sepasang alis pirang yang berkerut. Ia menghentikan langkahnya tepat di depan Alexant. Jarak mereka satu meter. "Bukankah Anda berjanji akan berkunjung ke kerajaannya bersama Lady Mars?" Alexant berdecak. "Aku hanya berbasa-basi saja, hanya seked

Langit di Namira bersinar cerah, sejak pagi matahari sudah menunjukkan cahayanya, seolah merestui kesibukan yang tengah berlangsung di dalam istana saat ini. Persiapan sudah rampung, semuanya sudah sempurna, hanya tinggal menunggu upacara pemberkatan yang akan berlangsung dalam beberapa jam lagi. Alexant berdiri dengan gelisah sejak beberapa menit yang lalu. Bukan, ia tidak berada di depan altar, belum waktunya. Ia masih berada di kamarnya, baru selesai mengenakan pakaian pengantinnya. Beberapa penata rias masih mengelilinginya yang tengah duduk dengan seluruh tubuh nyaris gemetar. Ini adalah harinya, hari pernikahannya dengan Crystal. Sejak tadi malam ia sudah tidak bisa memejamkan mata. Tidurnya hanya satu jam, tidak lebih. Ia terlalu takut untuk memejamkan mata, takut jika semua ini hanya mimpi. Lagi pula, ia tidak merasa mengantuk. Tidak setelah mengetahui jika Crystal berada di istana ini. Alexant mengembuskan napas kuat melalui mulut, berusaha membuang semua was-was dan rasa

"Apa kau benar-benar sudah siap?"Crystal mengangguk. "Aku siap!" jawabnya yakin. "Aku siap dengan semua risikonya, Papa, termasuk mencintai Alexant. Aku menyadari, kami tidak akan mudah. Sekarang, aku mengerti kenapa Papa dulu mengasingkanku, pasti karena Papa tak ingin aku sama seperti para bangsawan itu, bukan?"Lance tidak menjawab. Namun, ia yakin, meskipun tanpa jawaban putrinya pasti tahu apa yang dipikirkannya. "Jangan khawatir, Papa, aku tidak akan seperti mereka. Aku juga tahu bagaimana menghadapi mereka yang suka mencari muka." Tak ada senyum, Crystal hanya menaikkan sebelah alisnya. "Apa kau sudah siap, Sayang?" tanya Astrid hati-hati. Meskipun sejak Crystal masih bayi dia sudah bersamanya, tetap saja dia harus berhati-hati berbicara di depan Raja Loire, yang merupakan Ayah kandung Crystal. Akan sangat tidak sopan bila dia menyela pembicaraan mereka. Tak hanya dianggap tidak sopan, dia juga akan dianggap lancang kurang ajar. Apalagi, berani menyela pembicaraan anggota k

Semua seakan terulang kembali. Bayangan-bayangan pesta pernikahannya tujuh belas tahun yang lalu kembali berlarian di benaknya. Melihat putrinya berdiri di sana, seolah ia sedang melihat Charlotte-nya. Bukan, bukan melihat Charlotte yang berdiri di altar, tetapi ia melihatnya berdiri di samping putri mereka, mendampinginya saat mengucapkan sumpah perkawinannya. Beberapa kali ia mengembuskan napas melalui mulut, memikirkan apa yang akan dilakukan Charlotte sekarang seandainya dia masih hidup. Mungkin Charlotte akan memarahinya, atau mungkin semua ini tidak akan terjadi. Mungkin putri mereka tidak akan besar di kerajaan ini, melainkan di Alastoire, dan tidak bertemu dengan pangeran Alexant. Atau mungkin mereka bertemu, tetapi tidak saling jatuh cinta. Entahlah, yang pasti semuanya akan berbeda, dan akan lebih baik dari sekarang. Lance yakin.Ia tidak pernah membayangkan jika hari ini akan datang juga, di mana putri kecilnya menikah dan menjadi seorang istri. Namun, itulah yang terjadi