Semua Bab Hasrat Liar Suamiku : Bab 41 - Bab 50
74 Bab
41. Butuh Donor Darah
Aku lekas berlari menuju kamar di mana Robin tengah terbaring dengan lemah di sana. Lelaki itu benar-benar tengah kritis, matanya terpejam dengan napas yang mulai terdengar lemah. Susah payah aku membawanya menuju mobil, sebab menunggu ambulance akan sangat lama. Entah ambulance akan datang atau tidak, yang pasti membawa Robin ke rumah sakit sekarang adalah pilihan yang tepat.Nuri kuminta agar tinggal di rumah saja biar ada yang mengurus ibu Robin. Terlebih pintu yang sudah tidak lagi bisa dikunci karena didobrak oleh rombongan Dewangga tadi.Dengan cepat aku menancap gas. Berbekal google maps yang memandu jalan menuju rumah sakit terdekat. Beruntung jalanan sangat sepi. Di samping karena pinggiran kota, juga karena waktu yang sudah memasuki dini hari.Jantungku tidak bisa berdetak dengan normal. Sejak tadi terus saja berdegup dengan sangat kencang, takut jika ada hal buruk yang akan menimpa Robin. Aku akan merasa sangat bersalah jika terjadi apa-apa padanya. Sebab, karena aku ia men
Baca selengkapnya
42. Akhirnya Sadar
Kali ini kekuatanku benar-benar telah hilang. Aku sangat rapuh sekarang. Kuusap perut yang sudah cukup besar. Lalu menangis karena sudah tidak tahan.Aku kembali masuk ke dalam gedung rumah sakit. Mencari tempat yang sepi untuk meluapkan rasa sakit. Aku duduk di kursi tunggu dekat ruang operasi. Sebab, hanya di sana yang tidak ada orangnya sama sekali.Kutumpahkan semua sesak di dada. Menangis sejadi-jadinya. Jikalau kutahu akan begini jadinya, aku tidak akan pernah pergi meninggalkan rumah. Biarlah aku yang mati dan menjadi korban satu-satunya akan kekejaman Dewangga. Jangan ada orang lain yang menjadi korban seperti ini.Kuusap pipi dengan kasar, sementara tangis belum bisa kuhentikan. Menangis sesenggukan, berusaha mencari jalan keluar.“Aku tidak suka tangisan.” Ucapan Robin waktu itu kini kembali terngiang-ngiang di pikiran.Aku menghela napas kasar, kembali mengusap wajah dengan kasar, dan menghentikan tangisan. Aku menguatkan diri sendiri. Jika aku lemah, tidak akan ada yang bi
Baca selengkapnya
43. Kurasa Aku Menyukainya
“Biarkan dia istirahat total, jangan ajak bicara dulu, sebab kondisinya belum memungkinkan. Rahangnya baru diperbaiki posisinya, akan sangat sakit jika diajak banyak bicara.” Dokter menjelaskan setelah aku memanggilnya untuk memeriksa Robin selepas ia sadar.Aku hanya bisa mengangguk dengan lembut. Pesan itu membuatku belum bisa menanyai Robin mengenai masalah tadi malam. Aku ingin tahu apa yang terjadi, agar aku bisa menjelaskan ketika nanti polisi datang untuk meminta keterangan.Dokter itu beranjak keluar setelah ia meninggalkan pesan.Ponsel yang berada di atas nakas berdering. Tertulis nama Ruri di sana, aku segera menerima panggilan darinya.“Aku di depan ruang ICU sekarang, apa bisa langsung masuk?” Lelaki itu bertanya dengan ragu.Aku menatap Robin yang tengah tertidur dengan lelap. Lalu, beranjak meninggalkannya untuk menemui Ruri di luar sana.“Kau di luar saja.” Aku langsung berucap setelah membuka pintu ruangan.Sebab tidak ingin Ruri bertemu dengan Robin, karena Ruri past
Baca selengkapnya
44. Bertemu Dewangga
Ruri tersenyum lebar, tatapannya penuh dengan binar. Peganganku pada tangannya ia lepas secara lembut. Ia menarik napas dengan dalam.“Aku tidak bisa.” Ia langsung memberikan penolakan. Orang yang kukira memiliki perasaan yang sama denganku karena selalu bersikap lembut dan penuh perhatian, ternyata tidak seperti yang aku bayangkan.“Kenapa?” Aku tidak menerima penolakan. Susah payah aku mengumpulkan keberanian untuk menyatakan perasaan, malah penolakan yang aku dapatkan.“Kurasa aku tidak perlu memberikan penjelasan.” Ia berucap dengan lembut, tapi terkesan sangat tegas.“Apa karena aku tidak lagi cantik?” Suaraku mulai bergetar.Mengapa semua orang seolah menolak kehadiranku? Apa aku dilahirkan memang sehina itu? Hanya untuk menjadi budak Dewangga yang akan selalu mendapatkan siksaan darinya? Kurasa Dewangga benar, hanya dia yang bisa mencintaiku lebih dari apa pun. Tidak ada orang yang bisa mencintaiku seperti ia mencintaiku.“Kupikir kau juga menyukaiku.” Aku berucap dengan lemah.
Baca selengkapnya
45. Kesepakatan dengan Dewangga
Dokter memberikan nasehat agar aku lebih ketat lagi dalam mengawasi Robin. Aku sempat ditegur karena kurang cepat menghubungi dokter. Padahal hanya dengan menekan tombol, petugas akan datang untuk mengecek.Aku hanya bisa menarik napas dengan berat. Lalu mengangguk sebagai pertanda bahwa aku mengerti.Mereka pamit pergi setelah memastikan bahwa Robin baik-baik saja.Aku kembali duduk di kursi samping brankar, menatap Robin yang tengah terlelap karena obat penenang. Tampaknya dendam yang ada antara ia dan Dewangga begitu besar sekarang. Padahal, sebelumnya mereka adalah teman baik sebelum aku dibawa pergi olehnya.Aku semakin merasa bersalah. Kuraih tangan Robin, lalu membawanya untuk kugenggam. Meminta maaf atas semua kekacauan yang sudah kulakukan. Ia terbaring lemah seperti ini karena aku. Ia terpisah dengan kekasihnya juga karena aku.Tangan itu terasa dingin.Aku menoleh saat mendengar langkah kaki mendekat. Tapi tidak ada siapa-siapa ketika aku melihat ke arah sumber suara. Pintu
Baca selengkapnya
46. Kembali
Mobil berjalan dengan kecepatan tinggi meninggalkan lokasi di mana Dewangga hendak mengeluarkan janinku secara paksa. Pantas saja tidak ada yang mendengar sama sekali. Sebab, lokasinya yang cukup jauh dari pemukiman warga. Memang tidak sejauh itu, tapi sudah pasti tidak akan terdengar jika ada teriakan yang berasal dari sana. Apalagi teriakan yang bersumber dari ruangan tertutup seperti tadi.Dewangga setuju mempertahankan janin yang ada dalam kandunganku, asal hubungan kami kembali seperti dulu. Untuk saat ini aku tidak punya pilihan selain setuju. Setidaknya biarkan Karin ia lepas dulu, lalu aku akan mencari jalan untuk kembali lepas dari genggamannya tanpa melibatkan siapa pun.Tidak ada percakapan sama sekali sepanjang perjalanan. Dia memang bertanya banyak hal, tapi tidak ada satu pun yang kuberikan jawaban. Anehnya untuk kali ini ia tidak tersulut emosi sama sekali. Hanya tarikan napas kasar yang terdengar darinya.Bagiku dia orang asing sekarang.Dewangga meraih tanganku untuk
Baca selengkapnya
47. Pria Paling Setia
Aku sarapan seorang diri dengan tidak bernafsu sama sekali. Entah apa alasan Dewangga memasangkan gelang itu di kakiku, sementara kami telah sepakat untuk kembali seperti dulu.Ruri menghampiri, ia duduk di kursi berseberangan. Ia tidak ikut makan sama sekali, hanya menatapku dengan lamat-lamat. Aku jadi semakin tidak bisa menikmati.“Apa salahku?” Ruri bertanya dengan bingung.Aku tetap tidak ingin menjawab. Mendengar pertanyaannya membuatku begitu jengah. Seolah ia tidak tahu mengapa aku bersikap seperti ini. Sudah jelas karena ia membuatku salah paham dengan semua perhatian dan kelembutan yang ia berikan.Saat makan siang, ia juga kembali menghampiri, menanyakan hal yang sama. Di mana letak kesalahannya. Namun, aku tetap enggan untuk menjawab.Saat makan malam, ia datang lagi. Namun, kali ini ia tidak ada bertanya sama sekali. Hanya duduk dan diam menyaksikan. Ia tidak beranjak sebelum aku beranjak lebih dulu.Ruri ikut bangkit setelah aku bangkit. Ia mengekor di belakang. Seolah m
Baca selengkapnya
48. Nyawa Dibayar Nyawa
“Morning, Baby!” Sebuah pelukan hangat mendarat dari belakang ketika aku tengah menyiapkan sarapan. Dewangga memberikan kecupan lembut di tengkuk sebagai salam selamat pagi.Aku semakin merasakan hangat dari cinta yang ia beri. Meski cinta belum kembali tumbuh dalam dada seperti dulu kala, aku bisa menerima perlakuan yang ia berikan.“Kamu mau jus?” Aku menawarkan minuman untuk teman nasi goreng yang tengah aku siapkan.“Boleh.”“Jus apa?”“Terserah kamu saja. Aku suka apa pun yang akan kamu hidangkan.” Ia menjawab dengan lembut.Dewangga beranjak menuju meja makan, menarik kursi dan duduk dengan tenang di sana. Menunggu sarapan yang akan aku hidangkan.Aku membuka kulkas, mencari buah yang ia suka; jeruk.“Kamu ada masalah sama Ruri?” Dewangga bertanya di tengah aku sibuk menyiapkan sarapan kami.Aku hanya diam, tidak ingin membahas lelaki itu lagi. Kuanggap aku tidak pernah menyatakan apa pun pada Ruri. Kuanggap semua perasaanku padanya hanyalah sebuah oase. Sebuah ketidaknyataan, se
Baca selengkapnya
49. Amarah Dewa
Sekarang Ruri yang memberikan jarak setelah ia meluapkan amarahnya karena selalu kuabaikan. Ia selalu menghindar saat melihatku dari kejauhan. Aku merasa sangat tidak enak hati. Tampaknya ia benar-benar marah dengan sikapku akhir-akhir ini.Dewangga pulang dengan membawa sekotak hadiah. Ia benar-benar telah berubah, perlakuannya kembali lembut seperti dulu lagi.Aku membuka kotak hadiah dengan penuh semangat. Sebuah Iphone keluaran terbaru. Ia menebus kesalahan karena pernah membanting ponselku dengan memberikan ponsel yang baru. Aku baru ingat jika Ruri pernah memberikan ponselnya padaku, entah di mana ponsel itu sekarang.“Aku mau Ruri kembali bekerja seperti biasa. Aku tidak suka dengan Anna.” Aku berucap dengan manja.“Kau bahkan tidak berterima kasih untuk hadiah yang kuberikan.” Dewangga protes karena aku tidak memberikan respons dengan hadiah yang ia beri.Aku tersenyum lebar, memeluk dan memberikan ciuman. Memberi ucapan terima kasih atas hadiah yang sudah ia beri.Dewangga ter
Baca selengkapnya
50. Kedatangan Ibu Mertua
Hari ini Dewangga tidak berangkat kerja sama sekali. Ia menemaniku di kamar seharian, mengompres perutku untuk menghilangkan rasa sakit karena kram. Kurasa Ruri berbohong mengenai gelang yang diberikan oleh Dewangga. Tidak mungkin ia memberikan gelang semacam itu, sementara sifatnya semanis ini.Dewangga menempelkan telinganya ke perutku. Ia ajak janin itu untuk berbicara. Terlihat dengan jelas jika ia sudah menerima kehamilanku sekarang. Kurasa tidak ada hal yang perlu kutakutkan dalam masalah ini. Ia benar-benar kembali menjadi Dewangga yang kukenal dulu. Penuh dengan kelembutan dan perhatian.Aku tersenyum menatap, merasa bahagia dengan perubahan Dewangga. Ia menunjukkan semua sisi baik yang ia punya.“Besok kita belanja keperluan ibu hamil.” Ia berucap seraya menatap penuh cinta.Setelah kembali, memang tidak banyak pakaian yang bisa kukenakan, sebab perut yang besar. Susu dan vitamin ibu hamil juga tidak tersedia. Sebab, semuanya tertinggal di rumah ibu Robin. Mengingat itu, aku
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
345678
DMCA.com Protection Status