Semua Bab Hasrat Liar Suamiku : Bab 51 - Bab 60
74 Bab
51. Amarah Ruri
Pagi-pagi sekali aku sudah bangun untuk menyiapkan sarapan. Kali ini sedikit berbeda, sebab ada mertua yang mengawasi dari belakang. Wanita paruh baya itu duduk di kursi makan, mengomentari setiap apa yang aku lakukan.Semuanya salah di matanya, membuatku merasa sangat tidak nyaman setiap mendengar komentar yang ia lontarkan. Aku tahu ini rumah anaknya. Semua yang ada di sini hasil keringat Dewangga, tapi bukan berarti ia bisa semena-mena.“Kamu itu memang tidak bisa apa-apa.” Ia berucap dengan angkuh, lalu mengambil alih pekerjaanku.“Sya, kamu di dapur?” Terdengar suara Dewangga memanggil dari ruang tengah sana. Tumben sekali ia ikut bangun di hari sepagi ini. Biasanya ia akan bangun ketika waktu sudah mepet dengan jam ia berangkat kerja.Aku beranjak keluar dari dapur, menghampiri Dewangga yang tengah mencariku dengan wajah ngantuknya.“Kamu sudah baikan? Jangan melakukan apa pun sebelum kamu benar-benar pulih.” Ia terlihat sangat perhatian.“Cuma mau masakin sarapan.”“Biar Anna n
Baca selengkapnya
52 Kematian Robin
“Ruri itu tidak suka wanita, dari awal juga mereka sudah berteman. Jadi jangan mencari-cari kesalahan, tidak mungkin mereka selingkuh dengan kondisi Ruri yang seperti itu.” Dewangga langsung membantah saat ibu mertua mengadu jika aku dan Ruri ada main api di belakangnya.“Aku melihat dengan mata sendiri, kedekatan mereka di luar kewajaran. Sampai pegangan tangan.” Ibu mertua tetap kekeh berucap.Aku hanya diam dengan helaan napas berat. Tidak perlu memberikan keterangan apa pun, karena Dewangga tidak percaya dengan ucapan ibunya.Sejak aku pulang dari kantor tadi, ibu mertua selalu memaki dan mengatai. Ia menghubungi Dewangga agar lekas pulang, sebab ingin mengadukan apa yang ia lihat antara aku dan Ruri.“Sudahlah, jangan berusaha untuk mengadu domba antara aku dan Nasya.” Dewangga terus saja membantah. Ia melangkah pergi dengan merangkulku menuju kamar. Tampak sekali jika sedikit pun ia tidak terlihat percaya dengan ucapan ibunya. Mungkin karena dari awal image Ruri yang sudah melek
Baca selengkapnya
53. Robin Baik-baik Saja
Aku sudah berada di kamar saat aku kembali sadarkan diri. Tidak ada siapa pun yang menemani saat aku menatap sekitar. Kamar kosong, hanya ada aku seorang diri. Namun, luka di wajahku terasa seperti sudah diobati.Aku bangkit dari ranjang, mencari ponsel untuk menghubungi Ruri.[Harusnya kau sadar, Sya, sumber masalah itu sebenarnya kau. Harusnya kau bisa lebih tegas lagi.] Ruri mengirim pesan balasan setelah aku mengabari padanya jika Robin dinyatakan meninggal.Aku berusaha menghubungi lewat panggilan telepon, tapi langsung ditolak olehnya.[Tolong jangan ganggu aku lagi, aku tidak ingin jadi korban setelah Robin.] Ia mengirim pesan setelah menolak panggilan dariku. Aku kembali menghubungi, tapi lagi-lagi ditolak olehnya.“Argth!” Aku berteriak sekuat tenaga. Kujambak rambut sendiri karena merasa depresi. Ruri pergi dan Robin mati karena aku. Sebenarnya di mana letak kesalahanku? Aku merasa aku tidak melakukan kesalahan apa pun!Dewangga masuk kamar dengan setengah berlari, ia tersen
Baca selengkapnya
54. Perdebatan di Meja Makan
“Kau masih tidak percaya padaku?” Dewangga bertanya dengan sedikit penekanan.Aku terdiam menatap apa yang tampak di depan sana. Robin benar-benar terlihat baik-baik saja. Tidak seperti ucapan Karin yang mengatakan bahwa ia telah meninggal dunia. Jika sudah begini, aku tidak tahu harus percaya pada siapa setelah ini.Robin tampak tengah duduk di kursi teras rumah. Ia tengah bersantai ditemani beberapa orang. Aku tidak pernah ke sini sebelumnya. Entah berapa banyak rumah yang Robin punya. Dari balik pagar aku bisa memastikan bahwa ia jauh lebih baik sekarang.“Jadi berhentilah menuduhku sebagai pembunuh. Aku tidak sekejam itu.” Dewangga menegaskan.Aku menghela napas kasar, hanya bisa terdiam setelah mengetahui kebenaran.Mobil mulai melaju dengan kecepatan sedang. Aku masih berusaha mencerna apa yang aku lihat barusan. Tidak ada Karin di sana. Apa Robin sengaja memalsukan kematiannya agar bisa terlepas dari Karin? Mustahil, sebab mereka masih tinggal di kota yang sama. Akan sangat muda
Baca selengkapnya
55. Melahirkan
Mendekati HPL aku mulai merasa deg-degan. Ada rasa takut yang bersemayam. Rasa takut itu semakin jelas terasa beberapa hari menjelang kelahiran. Harusnya aku tidak merasa takut seperti ini. Harusnya aku merasa tenang, sebab semuanya sudah terencana dengan matang. Persiapan sudah 90% menunggu persalinan. Makin Hari sikap Dewangga juga semakin menunjukkan sisi kebapakan.Dewangga semakin sering mengelus dan mengajak bicara perut buncitku. Menunjukkan bahwa ia memang menyayangi calon bayi itu. Membuatku tidak punya alasan untuk merasa khawatir seperti sekarang.Aku mulai mudah merasakan lelah. Mudah merasa ngos-ngosan hanya dengan berjalan menuruni dan menaiki anak-anak tangga. Terkadang berhenti di pertengahan anak tangga karena merasa tidak sanggup untuk melangkah. Istirahat menarik napas dalam beberapa menit, lalu kembali meneruskan langkah.Aku mulai merasakan kontraksi, tendangan dari dalam perut juga semakin kuat dan sering terasa. Anak itu sudah sangat aktif memberikan rasa sakit.
Baca selengkapnya
56. Namanya Bara, Seperti Api yang Membakar Dada
Nih yang sering minta POV DewaAku tidak tahu seperti apa perasaanku sekarang. Harusnya aku senang saat melihat Nasya tersenyum lebar menatap bayi mungil yang tengah terlelap di ranjang kecil yang kubelikan untuknya. Harusnya aku senang, sebab telah menjadi seorang ayah untuk bayi mungil itu, meskipun belum jelas siapa bapak biologisnya.Wajah cantik itu tampak semakin bersinar. Aku tidak pernah melihatnya sebahagia itu sejak satu tahun ke belakang. Sorot matanya menunjukkan pancaran kebahagiaan.Aku terdiam menatap. Merasa bersyukur karena ia baik-baik saja setelah proses persalinan yang cukup berat. Ia tidak tahu betapa takutnya aku saat mendengar teriakan rasa sakitnya di atas ranjang persalinan. Hal yang paling aku takutkan adalah di saat aku ditinggal mati olehnya.Nasya menoleh padaku, ia memberikan senyum paling manis yang ia punya. Tanganku digenggam olehnya, ia meminta agar aku mendekat, ikut menyaksikan betapa lucunya anak kami. Ah, ada rasa yang mengganjal di hati saat aku
Baca selengkapnya
57. Tifus
Masih POV DewaBaru saja mata terpejam, kembali terbangun saat terdengar tangisan dari kamar sebelah. Aku menutup telinga dengan bantal, berusaha untuk meredam kebisingan. Terasa pergerakan di atas ranjang, aku menoleh, menatap Nasya yang turun dan beranjak menuju keluar.Aku berdecak pelan, ikut bangkit dan menyusul ia menuju tangisan yang terdengar.“Kamu tidur saja, besok harus kerja kan?” Nasya menatap dengan sungkan. Ia meraih Bara dari ranjang kecilnya, mendekap untuk memberikan ASI dengan mencari tempat untuk duduk.Aku mengusap wajah dengan kedua tangan karena mengantuk. Menguap beberapa kali ketika menemani ia menyusui.“Belum ada yang datang buat daftar jadi baby sitter Bara?” Aku bertanya, sebab sudah menyebar selebaran kemarin. Memberi informasi kepada para pekerja juga, barangkali mereka memiliki kenalan yang bisa diajak untuk menjadi pengasuh Bara.Nasya menggeleng dengan pelan.“Nanti minta Anna atau siapa pun buat ngurus. Kamu kan sudah punya alat pemompa ASI, biar tid
Baca selengkapnya
58. Terancam Bangkrut
Masih POV DewaNasya sudah mulai membaik setelah dua botol infus habis. Ia juga sudah diberi antibiotik untuk melawan virus penyebab Tifus. Wajahnya sudah tidak sepucat tadi pagi. Meski ia masih mengeluarkan keringat dingin karena suhu tubuhnya yang masih sangat panas.Ponsel yang berada di nakas berdering. Nama asisten pribadi tertera di layar saat aku melihat nama yang memanggil. Aku mengerutkan kening, ini sudah malam, bukan jam kantor. Lalu, mengapa ia menghubungi?“Aku keluar sebentar, ada panggilan dari kantor.” Aku pamit pada Nasya, beranjak keluar dari ruangan setelah mendapat anggukan darinya.“Maaf mengganggu, Pak Dewa. Tapi saya harus memberitahu mengenai masalah yang terjadi di kantor. Bapak sering mengambil libur, pekerjaan terbengkalai, bahkan beberapa client protes karena jadwal meeting yang sering dibatalkan.” Lelaki di seberang sana berucap dengan nada sungkan.“Saya sudah memintamu untuk mengurus semuanya.”“Tapi posisi Bapak juga dibutuhkan di kantor. Tanda tangan t
Baca selengkapnya
59. Kematian Barra
Aku mengusap wajah dengan kasar, bangkit berdiri dan beranjak menaiki anak-anak tangga menuju lantai dua. Tangisan terdengar keras mendekat menuju tempat di mana aku berada, aku berusaha untuk mengabaikan. Sebab, ia sudah diurus oleh Anna. Namun, belum sempat aku memegang gagang untuk membuka pintu, wanita itu menghentikan langkahku dengan panggilannya.“Dia menangis terus sejak pagi, Tuan.” Wanita itu berucap dengan wajah dipenuhi oleh rasa khawatir.“Beri dia minum susu.”“Dia tidak mau susu formula, setiap saya beri selalu dikeluarkan kembali.” Wanita itu berucap dengan frustrasi.Aku menatap wajah Bara, wajahnya memerah karena tangisan yang tidak kunjung berhenti.“Buatkan dia susu hangat, lalu antar ke kamar.” Kuambil alih bayi mungil itu dari dalam gendongannya, menimang seraya membawa ia untuk masuk ke kamar.Tangisannya tidak kunjung berhenti meskipun sudah kutimang, mungkin karena ia haus dan lapar sebab tidak menyusu sejak pagi. Aku mulai sedikit kerepotan untuk mendiamkan.
Baca selengkapnya
60. Bayi Pengganti Barra
Nasya tersenyum saat aku menjenguknya menjelang malam. Senyum yang membuat dadaku semakin teriris saat mengingat kematian Bara pagi tadi. Otak dipenuhi oleh berbagai macam spekulasi atas apa yang akan terjadi nanti. Langkah terasa sangat berat ketika aku beranjak mendekat. Semakin lebar senyum yang ia berikan, semakin dalam pisau yang tertancap di ulu hati.“Aku pikir kau tidak akan datang.” Ia berucap dengan senyuman.Aku hanya diam, tidak tahu harus memberi alasan apa atas keterlambatan.“Kamu baru pulang kerja?”Pertanyaan yang ia lontarkan semakin membuatku merasa tertekan. Andai ia tahu aku telah kehilangan pekerjaan. Andai juga ia tahu jika ia telah kehilangan putranya.“Kau terlihat begitu lelah.” Ia kembali berkomentar.Aku menyunggingkan senyum dengan terpaksa. Cara bicaranya yang santai menunjukkan bahwa ia merasa nyaman sekarang.“Aku tadi mau menghubungi kamu pakai ponsel perawat, tapi aku lupa nomor kamu.” Ia berucap dengan penuh semangat. Tampaknya kondisinya sekarang su
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
345678
DMCA.com Protection Status