Langit masih kelabu setelah pemakaman Bian kemarin. Danisha duduk di sofa apartemennya, memeluk bantal dengan wajah yang masih lelah. Tubuhnya terasa ringan tapi hatinya berat—perasaan campur aduk antara kehilangan, kelegaan, sekaligus ketakutan akan masa depan. Sejak pagi, Wihaldy sudah ada di sana. Pria itu tidak berangkat kerja, bahkan tidak membuka laptop atau menjawab telepon dari kantornya. Ia hanya duduk di kursi seberang, menatap Danisha yang berkali-kali mengusap wajah, mencoba menenangkan diri. “Sayang!” Suara Wihaldy pelan, seperti takut mengganggu. “Kau tidak harus memaksakan diri hari ini. Kalau ingin istirahat, istirahatlah! Jangan bekerja dulu..” Danisha mengangkat wajahnya, matanya masih merah. “Tapi ini baru hari ketigaku. Kemarin tidak masuk, sekarang harus izin lagi. Bagaimana kalau dia menganggapku tidak serius bekerja? Bagaimana kalau aku dianggap hanya mencari alasan?” Wihaldy bergeser, duduk di sampingnya, lalu meraih tangannya. “Tidak apa-apa! Kau se
Terakhir Diperbarui : 2025-09-07 Baca selengkapnya