All Chapters of Milik Sang CEO: Chapter 71 - Chapter 80

Saat Rhino mendudukkan diri di tepi ranjang dengan kotak itu, aku mendudukkan diri juga. Memperhatikan Rhino membuka kotak itu dan mengambil boneka kelinci biru. Rhino memberikannya padaku yang mengambilnya dengan rasa bingung. Kenapa Rhino memberikannya padaku?"Bukankah kelinci biru itu sangat mirip dengan milik kamu?""Iya. Kenapa Kakak bisa memilikinya?""Saat itu saya ingin sekali memberi kamu sesuatu yang bisa buat kamu tersenyum lagi, tapi saya gak tahu mau kasih apa. Pada akhirnya saya ke Toko boneka dan di sana banyak sekali boneka. Saya gak tahu harus kasih kamu yang mana sampai saya tertarik dan merasa kalau jea itu cocok untuk kamu.""Terus Kakak juga memutuskan beli buat diri sendiri?"Rhino menggelengkan kepala. "Boneka kelinci itu gak dijual terpisah. Jea memiliki pasangan dan akhirnya saya menyimpan satunya lagi."Ternyata Rhino sudah memperhatikanku sejak lama tanpa aku sadari. Betapa mengharukannya hal itu. Hatiku benar-benar tersentuh. "Pas kita bertemu kembali sete

Sore itu, aku duduk di kursi teras depan Rumah, memandangi langit yang perlahan berubah warna menjadi jingga. Angin sore menerpa wajahku, tapi tidak mampu mendinginkan kegelisahan yang menghantui pikiranku. Di pangkuanku, secangkir teh melati yang mulai dingin terabaikan. Pikiranku sibuk memutar berbagai kemungkinan.Haruskah aku memberitahu Rhino tentang kehamilanku?Aku menggigit bibir bawahku, mencoba mencari jawaban yang benar di tengah dilema besar ini. Jika aku memberitahunya, aku tahu Rhino pasti akan bahagia. Dia adalah tipe pria yang selalu ingin melindungi dan menjaga orang-orang yang dicintainya. Tapi di sisi lain... aku takut. Takut membuatnya semakin sulit melepaskanku saat waktunya tiba. Atau mungkin Rhino akan melakukan segala cara agar aku tetap di sisinya.Pandangan mataku tertuju pada bunga mawar di taman kecil yang pernah ditanami bersama Rhino. Mawar itu mulai layu karena beberapa hari terakhir aku melupakan rutinitas menyiraminya. Sama seperti hubunganku dengan Rh

Suasana Rumah terasa lebih sunyi dari biasanya. Rhino sudah pergi bekerja lebih awal karena ada meeting penting di Kantornya. Aku memanfaatkan waktu ini untuk membersihkan Kamar kami, berharap aktivitas ini bisa mengalihkan pikiranku dari rasa mual yang masih sering muncul.Aku sedang merapikan selimut ketika tanpa sengaja tangan ini menyentuh sesuatu di bawah bantal Rhino. Sebuah amplop putih. Aku sempat ragu, tapi rasa penasaran akhirnya menguasai diriku. Aku mengambil amplop itu dan membukanya perlahan.Di dalamnya, ada sebuah tiket pesawat. Tujuannya? Paris.Hatiku seketika berdebar. Tiket ini tertera atas nama Rhino, dan jadwal penerbangannya adalah dua minggu dari sekarang. Apa yang Rhino rencanakan? Kenapa dia tidak pernah membicarakan soal perjalanan ini?Aku mencoba menenangkan diri. Mungkin ini perjalanan bisnis. Tapi kenapa dia menyembunyikannya dariku? Rhino biasanya selalu terbuka soal rencana kerjanya, bahkan hal kecil sekalipun.Pikiranku terus dipenuhi berbagai dugaan,

Saat ini aku sedang berada di sebuah Cafe dengan strawberry short cake dan segelas jus jeruk yang berada di meja yang sedari tadi belum aku cicipi sedikit pun. Memandangi sebuah foto berukuran kecil yang berada di salah satu tangan. Foto yang hanya menampakkan sesuatu yang berukuran kacang polong. Kata Dokter kandunganku baru berusia 6 minggu. Dia dalam keadaan sehat begitu pun kondisiku yang baik-baik saja. Dokter pun menyarankan untuk aku banyak makan-makanan yang sehat dan minum susu Ibu hamil.Bagaimana rasanya menjadi calon Ibu, El? Luar biasa. Aku akhirnya bisa merasakan ada sesuatu dalam perutku yang sedang berkembang. Ke mana-mana membawa beban yang beratnya tidak main-main. Suatu beban yang pernah Ibu rasakan saat mengandungku."Apa yang kamu lakukan di sini sendirian?" tanya Bara yang dari sekian banyaknya tempat berakhir di tempat yang sama denganku.Alih-alih menjawab, aku buru-buru memasukkan foto janin-ku ke dalam tas. Bara mendudukkan diri di kursi tepat di hadapanku. "

Hujan turun deras malam itu, membasahi jendela besar di Ruang Tamu. Suara tetesan hujan dan gemuruh guntur menjadi saksi bisu dari keputusan yang telah lama membebani pikiranku. Aku duduk di sofa dengan tangan saling menggenggam erat, mencoba menenangkan diri. Rhino duduk di sofa single, wajahnya penuh perhatian, tapi juga sedikit khawatir melihat ekspresi kosongku."Kamu baik-baik saja, El?" tanyanya lembut.Aku tidak langsung menjawab. Aku menatap secangkir teh hangat di meja yang sudah mulai mendingin, seperti keberanianku yang perlahan menghilang. Tapi aku tahu, aku tidak bisa terus menghindar."Ada yang ingin aku bicarakan," ujarku pelan, suaraku hampir tenggelam oleh suara hujan.Rhino mengangguk, matanya fokus menatapku. "Apa itu?"Aku menelan ludah, merasakan berat di dadaku semakin besar. Kata-kata terasa seperti duri di tenggorokan."Kak ... Aku pikir ... Kita harus pisah," akhirnya aku berkata, suara serakku hampir pecah.Aku melihat mata Rhino melebar, keterkejutan jelas t