All Chapters of Setelah Aku Mendua: Chapter 81 - Chapter 90

Bab 82"Om, itu Ayah. Loh kok ayah bisa jalan!"Waduh gawat kok Gea ada di sini, apa yang harus aku lakukan supaya Gea tetap diam dan tidak cerita kepada ibunya?Herman buru-buru mendekati anak buahnya yang kebetulan hendak pergi naik motor. "Kemarikan Topi sama kacamatamu!" Pinta Herman. Anak Herman Itu tampak bingung tetapi Herman segera menarik topi dan juga kacamata yang dipakai oleh anak buahnya serta memakainya dengan cepat. "Ayo cepat jalan!" Perintahnya."Tapi mau ke mana Bos?"tanya anak buah Herman itu kian bingung karena mereka memang tidak ada rencana untuk pergi bersama. "Sudah, jalan saja! Tidak usah banyak bicara!" Herman tampak ketakutan, dia harus buru-buru pulang ke rumah. Dia takut kalau Gea anaknya akan cerita ke Mona kalau dia sudah bisa jalan. Bisa gawat, dia tidak mau penyamaran dirinya akan diketahui oleh Mona. Tidak, Mona terlalu berharga untuk dilepaskan. Herman perlu Mona untuk hidup dan juga dia perlu Mona untuk mendukung usahanya saat ini. Motor N Ma

Bab 84"Dika Aku ingin ke rumah Pak Herman," ucap Mona pagi itu saat akan pergi kerja. Kata-kata Gea kemarin terus terbayang-bayang di ingatan Mona apalagi dia sendiri juga pernah memergoki orang yang mirip sekali dengan Herman masuk ke dalam mobil mewah. Beberapa kali Mona menanyakan ini pada Herman tapi lelaki itu terus menolak. "Mona, Aku bersumpah Mona Aku tidak akan pernah membohongi kamu. Lagipula kalau tuduhan kamu itu benar dan aku berpura-pura sudah pasti dokter tidak akan menyatakan kalau aku ini lumpuh. Kamu pikir dokter dunia ini sama seperti dokter di film-film yang mudah disogok hanya untuk membenarkan perbuatan orang lain. Gak semudah itu Mona, dokter itu sudah disumpah jadi tidak mungkin dia akan berbohong apalagi mengenai rekam medis seseorang. Ya mungkin ada, ada yang bisa direkayasa tetapi yang melakukan itu tentunya orang-orang yang memiliki harta yang melimpah karena dia mampu membayar berapa saja. Sementara aku, kamu lihat siapa Aku kan Mona. Aku ini miskin dan

Bab 86"Anak buah kamu kan, sudahlah mas kamu nggak usah bohong. Dia sudah menceritakan semuanya padaku. Kamu itu pembohong Mas aku nggak menyangka kamu hanya memanfaatkan kebaikanku saja," geram Mona.Wanita itu kemudian langkah pergi meninggalkan Herman. Sementara pria itu berusaha mengejar Mona."Mona, Mona!"Herman mengejar dengan menggunakan kedua tongkatnya berharap supaya Mona berbalik dan percaya kepadanya. Namun, sepertinya kepercayaan Mona benar-benar sudah luntur. Wanita itu tidak peduli bahkan ketika Herman pura-pura terjatuh.. "Aduh. Aa sakit," Teriak Herman dengan memegang kakinya, wajahnya dibuat seolah-olah kesakitan. "Bos, mana yang sakit Bos?" Bukannya Mona yang dekat justru Dani yang mendekat.Sementara Mona tidak menghiraukannya, wanita itu terus berjalan menuju ke mobil dan masuk ke dalam mobil tanpa menoleh ke arah Herman. PlakHerman yang kesal melampiaskan emosinya ke wajah anak buahnya. Dia menampar Dani dengan sekuat tenaga hingga membuat pipi pemuda itu

Bab 88Rendra terbayang-bayang kata-kata Ibunya. Entah kenapa kali ini kata-kata Ibunya ini agak lain. Sepertinya sang Ibu menyimpan suatu rahasia. "Mau sarapan, mas?"tanya Mbok Darmi. Tadi malam wanita tua itu sudah cerita banyak dengan Ibu Rosa."Mm boleh deh, Mbok. Hari ini mbok masak apa?"tanya Rendra. Dia sudah menganggap Mbok Darmi sebagai ibu keduanya."Ini mbok sudah buatkan nasi pecel kesukaan kamu," jawab Mbok Darmi. Rendra memang tak suka sarapan ala orang bule, dia biasa sarapan nasi dipagi hari. Apalagi nasi pecel, itu adalah sarapan favoritnya."Ya sudah aku mau sarapan sekarang deh, Mbok," ujarnya.Di pagi hari memang ibunya sangat jarang sekali sarapan. Paling banter wanita itu hanya minum teh atau kopi di pagi hari walaupun sebenarnya Rendra sudah seringkali mengingatkan supaya jangan minum kopi atau teh di pagi hari dalam keadaan perut kosong. Tapi, Ibu Rossa sudah terbiasa seperti itu sehingga sangat susah untuk mengubahnya. "Pagi, boleh aku ikut sarapan."Rendra

Bab 90"Rendra! Tolong pelan sedikit, aku takut."Suara Maria gemetar, wajahnya pucat dan berkeringat. Tapi, Rendra tak peduli. Dia sengaja melakukan itu supaya perempuan itu kapok numpang mobilnya. Bukannya pelan, Rendra malah menginjak gas lebih kencang. Dia yang waktu mudahnya hobi balapan mobil itu tidak masalah saat harus melaju dengan kecepatan maksimal di jalan Raya. Sesekali Rendra menatap wajah Maria yang sudah seperti diambang maut, pucat, bibir gemetar dan tangannya memegang sabuk pengaman dengan kuat. "Rendra cukup! Aku turun di sini saja!" Teriak Maria.CitRendra langsung menghentikan mobil dengan cepat. Sementara Maria begitu mobil berhenti dia langsung menarik nafas beberapa kali. Selanjutnya wanita cantik itu memegang dadanya untuk menetralkan jantungnya. Sementara Rendra mendekatkan wajahnya tepat ke wajah Maria."Bagaimana, enak numpang sama aku?"tanya Rendra dengan senyum mengejek. Sementara Maria tampak masih sok dan tidak bisa berkata apa-apa. Wanita itu tampa