Semua Bab DIA ATAU DIA: Bab 11 - Bab 20

Rin dan Aidan berjalan dengan cepat melewati jalan yang sunyi, melintasi lorong-lorong sempit yang dipenuhi bayangan gelap. Setiap langkah mereka semakin terasa berat, seolah-olah ada sesuatu yang mengintai dari kejauhan, menunggu untuk menyerang. Mereka telah mendapatkan dokumen yang sangat berharga, namun jalan yang harus mereka tempuh untuk mengungkap kebenaran semakin berbahaya. Rin merasakan ketegangan di dalam dirinya, dan meskipun ia berusaha untuk tetap tenang, pikirannya terus teralihkan oleh apa yang mereka temukan di Markas Lama. Dokumen yang mereka bawa memuat informasi yang sangat mengejutkan. Mereka bukan hanya menghadapi Dante, tetapi juga sebuah organisasi global yang mengendalikan banyak hal, dari perdagangan senjata hingga jaringan kriminal di seluruh dunia. Aidan berjalan di depan Rin, dengan langkah yang mantap meskipun ia tahu betapa besar risikonya. “Kita harus segera menemui orang yang aku sebutkan tadi. Dia bisa membantu kita dengan bukti ini,” ujar Aidan,

Suasana di ruang arsip terasa semakin menekan. Rin dan Aidan bergerak perlahan, berhati-hati agar tidak menarik perhatian. Setiap langkah mereka terasa semakin berat, seolah-olah setiap gerakan mereka dipantau oleh mata-mata tak terlihat. Mereka sudah berada di pusat dari semua yang mereka cari—tempat di mana banyak rahasia gelap disembunyikan.“Aidan, kita harus cepat,” bisik Rin, matanya terus mengawasi sekeliling. “Aku rasa kita tidak punya banyak waktu.”Aidan mengangguk dengan tegas, wajahnya serius. “Kita hampir sampai, Rin. Aku bisa merasakan itu. Kita hanya perlu sedikit lagi, dan semuanya akan terbongkar.”Mereka menghampiri sebuah meja besar yang dipenuhi dengan berkas-berkas dan laptop. Aidan mulai membuka laptop yang ada di sana, mencoba mencari informasi yang mereka butuhkan. Rin berdiri di sampingnya, matanya terus memindai setiap gerakan yang mencurigakan di sekitar mereka.Suasana di ruang itu tampaknya semakin mencekam. Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar di loron

Rin dan Aidan berlari dengan cepat, kaki mereka menggema di lorong sempit yang gelap. Setiap langkah mereka terasa semakin berat, seakan-akan waktu dan ruang bersekongkol untuk menjebak mereka. Namun, mereka tak bisa berhenti. Di belakang mereka, suara derap kaki semakin jelas, tanda bahwa mereka sudah terlalu dekat dengan para pengejar.“Aidan, kita harus menemukan jalan keluar!” Rin hampir berteriak, napasnya terengah-engah.Aidan menatapnya dengan tatapan penuh tekad. "Jangan khawatir, Rin. Kita pasti akan menemukan cara keluar."Rin memandangnya, meskipun hatinya dipenuhi ketakutan, dia merasa sedikit tenang melihat keyakinan yang terpancar di mata Aidan. Dia tahu Aidan akan selalu ada untuknya, tak peduli apa pun yang terjadi. Mereka sudah melewati begitu banyak rintangan bersama, dan Rin percaya, selama mereka bersama, mereka bisa menghadapinya.Mereka terus berlari, menembus beberapa lorong yang tampaknya semakin berkelok-kelok. Ketegangan di udara terasa begitu tebal, seolah-o

Malam semakin pekat. Langit gelap tanpa bulan, seakan memahami ketegangan yang sedang mereka rasakan. Rin berdiri di depan cermin kecil dalam kamar persembunyiannya, menatap bayangannya sendiri dengan perasaan campur aduk. Ini bukan pertama kalinya dia menghadapi bahaya, tapi kali ini berbeda. Kali ini, dia tahu ada seseorang yang mempertaruhkan segalanya untuknya.Ketukan pelan terdengar di pintu. Rin berbalik, dan tak lama kemudian, Aidan masuk dengan wajah serius. Dia mengenakan pakaian serba hitam, siap untuk misi yang akan mereka jalani malam ini."Rin, kau siap?" suaranya terdengar lembut, tapi ada nada khawatir di dalamnya.Rin mengangguk pelan. "Aku sudah tak punya pilihan lain, kan?" Dia mencoba tersenyum, tetapi hatinya tetap berdebar kencang.Aidan menghela napas dan berjalan mendekat. Tangannya perlahan mengangkat dagu Rin, membuatnya menatap langsung ke dalam matanya yang dalam dan penuh ketulusan."Aku ingin kau janji satu hal," katanya lirih."Apa?" Rin berbisik."Jika

Mobil melaju dengan cepat di jalanan sepi, hanya ditemani cahaya bulan yang samar-samar menyinari malam. Suasana di dalam mobil terasa hening, hanya terdengar deru mesin dan napas mereka yang masih memburu setelah kejadian tadi.Aidan duduk di kursi belakang bersama Rin, sementara Luca mengemudi dengan ekspresi serius. Luka di bahu Aidan masih mengeluarkan darah, tetapi dia tetap menahan sakit tanpa mengeluh.Rin menatapnya dengan mata yang penuh kekhawatiran. Dengan tangan gemetar, dia merobek sedikit ujung bajunya dan menekan luka Aidan agar pendarahan berhenti.“Aku baik-baik saja,” kata Aidan, meskipun wajahnya pucat.“Jangan berbohong,” Rin mendesis pelan. “Aku tahu kau kesakitan.”Aidan hanya tersenyum tipis, meskipun matanya menunjukkan kelelahan yang luar biasa. “Selama kau aman, itu sudah cukup untukku.”Hati Rin terasa diremas. Lelaki ini… selalu menomorsatukan dirinya, bahkan saat nyawanya sendiri dalam bahaya.Luca melirik ke kaca spion dan mendengus. “Kalau kalian mau rom