All Chapters of Godaan sang tante: Chapter 51 - Chapter 60

Hari-hari di kantor Aditya semakin berat. Setiap laporan yang masuk hanya berisi kerugian. Para pemegang saham satu per satu menarik modal mereka, meninggalkan perusahaan dalam kehancuran.Pegawai yang biasanya sibuk di lantai perusahaan kini berjalan dengan ekspresi muram.Manajer keuangan Aditya masuk ke ruangannya, wajahnya diliputi kekhawatiran."Pak Aditya, kondisi perusahaan semakin memburuk.Jika ini terus berlanjut, kita tidak akan mampu bertahan lebih dari dua minggu. Kita membutuhkan investasi besar untuk menyelamatkan perusahaan," lapornya.Aditya hanya duduk di kursi kerjanya, memandang kosong ke arah berkas-berkas yang berserakan di mejanya.Tangannya meremas rambutnya sendiri, frustrasi dengan situasi yang tidak kunjung membaik."Apa tidak ada cara lain?" tanya Aditya, suaranya hampir tak terdengar."Sayangnya, tidak ada, Pak.Para pemegang saham tidak lagi percaya pada perusahaan kita, apalagi setelah semua berita buruk yang beredar tentang Anda," jawab manajer dengan n

Langit kota dihiasi semburat jingga yang memanjakan mata. Dinda baru saja selesai kuliah ketika ponselnya bergetar di dalam tasnya. Nama Badru muncul di layar, membuat bibirnya otomatis membentuk senyum kecil."Aku jemput di kampus ya. Kita nongkrong sebentar," begitu isi pesannya.Dinda hanya membalas singkat, "Oke."Senyum manis tersemat di bibir Dinda. Sejak kehadiran Badru, perlahan-lahan bayangan Revan mulai teralihkan walau belum sepenuhnya ia lupakan. Tapi setidaknya hati Dinda tidak sehampa dulu.Motor gede milik Badru berhenti di depan kampus Dinda yang berada tak jauh dari kampus Revan dan Badru.Senyum manis Dinda menyambut kedatangan Badru sore itu. Gadis cantik itu langsung berlari menghampiri Badru yang langsung menyodorkan helm pada Dinda."Mau kemana kita hari ini Dru?" tanya Dinda antusias."Ikut saja, aku tahu sebuah cafe yang bagus untuk kita kunjungi." Badru mulai menjalankan motornya dan segera beranjak dari tempat itu..Udara sore yang berhembus mempermainkan ram

Namun, Arumi terlihat ragu. Dia memandang Revan dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Dengan perlahan, dia mengulurkan tangannya dan mencoba menggenggam tangan Revan. Awalnya, Revan mengira itu hanya bentuk rasa syukur biasa, tetapi dia mulai merasa ada sesuatu yang janggal."Arumi..." panggil Revan pelan, mencoba menjaga jarak emosional.Tanpa peringatan, Arumi tiba-tiba menarik tangan Revan lebih erat, menatapnya dengan dalam, dan berkata, "Aku benar-benar tidak tahu bagaimana caranya aku bisa membalas semua ini. Kamu orang yang sangat baik, Revan. Kamu selalu ada di saat aku butuh."Revan terdiam, merasa canggung dengan situasi tersebut."Aku hanya membantu Elma. Jangan berpikir ini atas inisiatifku sendiri. Aku tidak sebaik itu Arumi," tegas Revan.Arumi tertegun sejenak. Wajahnya terlihat sedikit murung. Tapi sejurus kemudian, Arumi pun kembali tersenyum dan menatap dalam wajah Revan."Itu tidak masalah bagiku. Apapun alasannya kamu tetap berjasa besar untukku dan hidup anakku. Re

Aditya mengangguk pelan, meskipun hatinya masih terasa berat. Namun, pelukan dan kata-kata ibunya memberinya sedikit harapan, seberkas cahaya kecil di tengah kegelapan yang menyelimuti dirinya.Malam itu, Nyonya Selly tinggal di kamar Aditya, duduk di samping tempat tidurnya hingga ia tertidur. la memastikan anaknya tidak merasa sendirian, setidaknya untuk malam ini.Aditya mungkin masih berada di titik terendah dalam hidupnya, tapi kehadiran ibunya mengingatkannya bahwa ia masih punya seseorang yang peduli padanya, seseorang yang percaya bahwa ia bisa bangkit lagi. Dan mungkin, hanya mungkin, itu cukup untuk membuatnya mencoba lagi.Pagi itu, cahaya matahari sudah merangsek masuk melalui celah-celah tirai kamar, memanaskan udara yang sebelumnya dingin. Revan membuka matanya perlahan, rasa kantuk masih menahannya untuk sepenuhnya terjaga. la melirik ke jam dinding di kamar dan langsung terperanjat. Jarum jam sudah menunjukkan pukul sebelas siang."Ya Tuhan, aku kesiangan!" gumamnya pa

Dinda tertegun sejenak. la ragu untuk memilih. Bagaimana mungkin ia memilihkan cincin untuk wanita lain, sementara hatinya sendiri sedang remuk? "Dru aku..." Dinda menatap nanar. Badru mendekat dan meraih bahu Dinda untuk merapatkan tubuhnya. la berbisik di telinga gadis itu dengan lembut. "Pilih saja sesuai dengan selera kamu. Aku akan membelinya jika kamu suka." Kata-kata Badru seharusnya terdengar indah tapi terasa seperti sebuah pisau yang menusuk hatinya. "Ta-tapi bagaimana kalau kekasihmu tidak menyukai pilihanku?" tanya Dinda dengan bingung. Badru tersenyum dan menggenggam erat tangan Dinda. "Dia pasti suka. Apapun pilihanmu dia pasti suka." Badru tersenyum sembari menatap dalam wajah Dinda. Dinda menelan ludah, mencoba mengatasi rasa canggung. l