Semua Bab Pria Perkasa Penakluk Wanita: Bab 411 - Bab 420

Rambut cokelatnya masih panjang, posturnya masih tegak dan anggun. Dia duduk di tepi meja saya, mengulurkan kaki cokelatnya agar kakinya bisa mencapai kursi kayu yang saya gunakan untuk tamu. Dia terlihat menakjubkan, mengenakan blus satin putih, rok kulit hitam yang cukup panjang untuk terlihat sopan, tapi cukup pendek untuk menunjukkan betapa atletisnya kakinya. Dia mengenakan sandal tipis dan cincin jari kaki di jari kaki kedua masing-masing kaki. Dia menjaga kakinya tetap tertutup dengan sopan."Sekolah pascasarjana hanyalah lebih dari yang sama. Aku tidak tahu mengapa aku repot-repot." Dia menghela napas dan menatapku mencari simpati."Kamu repot-repot karena kamu ingin memiliki pekerjaan bagus dengan banyak uang dan ingin bekerja di perusahaan multinasional serta melihat dunia. Dengan penampilan dan kecerdasanmu, aku tidak akan terkejut jika dalam sepuluh tahun kamu memimpin perusahaan Fortune 100.""Sepuluh tahun?" dia tertawa. "Aku tidak bisa menunggu selama itu." Dia tertaw

"Cukup sudah, Bos, tolong jangan lagi," dia memohon padaku untuk membiarkannya. "Aku belum pernah merasakan orgasme sebanyak itu dalam lima tahun. Biarkan aku bernafas dulu." Aku mendekatkan diri dan mencium setiap lekuk pantatnya, tapi aku tidak bisa menahan diri untuk tidak menjulurkan lidahku ke dalam lubang itu sebelum membiarkannya. Dia kaku sejenak lalu tertawa kecil."Aku seharusnya sudah menduganya darimu." dia tersenyum saat berdiri. "Tidak buruk, tidak buruk sama sekali. Tidak untuk hari pertama kerjaku."Sudah lima tahun berlalu sejak pertemuan seksual pertamaku dengan pengasuh bayi itu hingga yang berikutnya. Dia lulusan perguruan tinggi dengan gelar sarjana ekonomi dan sekarang dia sedang kuliah pascasarjana. Kemarin dia datang ke kantor saya dan meminta pekerjaan sebagai asisten pengajar. Karena saya sudah mengenal dia sepanjang hidupnya, serta ibunya, ayahnya, dan saudaranya, saya tidak punya masalah dengan dia sebagai asisten pengajar saya. Saat dia berusia delapan

"Kamu adalah wanita muda yang menarik. Tapi kamu memiliki potensi untuk menjadi sangat menawan. Kamu memiliki postur yang bagus, tubuh yang proporsional, dan fitur wajah yang memikat. Tapi kamu mengenakan pakaian yang sama sekali tidak cocok untukmu. Kamu membiarkan rambutmu menutupi wajahmu terlalu banyak, dan meskipun kamu tidak membutuhkan banyak makeup, sedikit warna pasti akan menarik perhatiannya." Lagi-lagi ekspresi wajahnya memberi kesan bahwa aku sudah terlalu jauh."Sudah waktunya aku mengantarmu kembali ke kampus. Sudah selesai?" Aku berusaha cepat beralih ke topik lain, berusaha tidak merusak kepercayaan diri yang aku harapkan sedang aku bangun. Dia bangun tanpa berkata apa-apa dan kami pergi dalam diam. Sesekali aku bisa merasakan pandangannya tertuju padaku, aku bisa merasakan matanya mengamati wajahku. Beberapa kali aku pikir dia ingin berbicara, tapi ketika aku menoleh padanya untuk mendengarkan, dia cepat-cepat mengalihkan pandangannya."Di mana aku harus mengantarm

Perjalanan ke tempat kerja keesokan paginya terasa segar dan penuh energi. Udara pagi yang segar terasa lebih menyegarkan daripada sepuluh cangkir kopi. Ada sedikit garam di angin yang mengingatkan saya bahwa kita tinggal dekat dengan pantai Oregon. Pohon-pohon ek dan kapas mulai berubah warna, sementara pohon-pohon Douglas fir tetap harum seperti biasa. Saya memarkir mobil di tempat parkir biasa saya di area parkir fakultas di dekat gedung saya. Itu adalah tempat parkir biasa saya karena saya biasanya menjadi salah satu staf pertama yang tiba di institusi pendidikan tinggi kecil namun terkenal ini, jadi saya bisa memilih. Malam sebelumnya meninggalkan semburat merah di pipi saya. Saya merasa diri saya sebagai pria paling beruntung yang saya kenal.Saya meninggalkan mobil di area parkir dan menuju ke kantor saya. Saya berhenti di ruang tunggu sekretaris dan mulai menyeduh secangkir kopi Seattle yang kuat. Saya tidak banyak minum kopi lagi, tapi saya menikmati aroma kopi yang se

Dia menarikku melewati balkon yang menghadap ke ruang tamu yang luas dan terbuka, dilengkapi dengan perapian batu sungai, dan menuju pintu ganda di ujungnya. Pintu-pintu itu membuka ke suite kamar tidur utama. Di tengah dinding sebelah kiri terdapat tempat tidur king-size. Di sebelah kanan ada dinding lemari dan pintu yang aku duga dengan benar adalah kamar mandi. Dia setengah menarik, setengah mendorongku ke tempat tidur. Dia berlutut di hadapanku, melonggarkan ikat pinggangku, dan membuka kancing celanaku. Dia menarik celanaku ke bawah, dan sifatku yang bebas tanpa celana dalam langsung terungkap, begitu pula batang kemaluanku yang sudah tua tapi masih berfungsi sepenuhnya, berukuran delapan inci, kini dalam keadaan setengah tegang. Dia memasukkan batang kemaluanku ke dalam mulutnya, kehangatan itu mengirim sinyal ke sistem kendali batang kemaluanku untuk meningkatkan tegang hingga penuh. Dia mulai tersedak sedikit."Astaga, kamu punya batang kemaluan besar!" dia berseru."Sema