Semua Bab Cerita Cinta Sang Janda Muda: Bab 21 - Bab 30

Aku bangun dengan kepala sakit seperti habis dipukuli. Padahal semalam aku tidak minum setetes alkohol pun tapi rasanya seperti baru sadar dari mabuk parah.Aku hanya menangis semalaman, tapi kepala, dada dan seluruh tubuhku kesakitan. Aku menyeret tubuhku untuk turun dari tempat tidur, lalu menghidupkan telepon genggam yang sengaja kumatikan semalam. Ada puluhan pesan dan panggilan tak terjawab dari Bram dan Sissy.Semalam aku tertidur karena lelah menangis dan sama sekali lupa kalau mereka masih menunggu aku dan Alex di hotel milik Markus. Aku sengaja mematikan telepon ku karena tidak ingin menerima panggilan dari Alex. Ternyata pria itu sama sekali tidak menghubungiku.Teleponku tiba-tiba berdering."Halo," sapaku dengan suara serak."Ruth! Apa kau baik-baik saja? Kenapa mematikan teleponmu?" tanya Bram yang terdengar sangat khawatir."Maaf, semalam teleponku kehabisan daya dan aku lupa mengisi dayanya karena tidak enak badan. Aku juga lupa mengabari kalian, karena terburu-buru pula

"Oh, baiklah kalau begitu. Selamat tinggal," ucap Alex dengan cepat lalu segera pergi."Alasan apa itu? Kenapa kau harus membawa-bawa nama Bram?" omelku begitu Sissy menutup pintu."Hanya itu yang terlintas di pikiranku! Kau yang menyuruhku mengarang sesuatu dan aku tidak tahu harus berkata apa agar dia pergi!" balas Sissy kesal.Aku langsung melemparkan tubuhku kembali ke atas sofa. Semangatku untuk mandi langsung menguap."Lagipula, aku rasa itu alasan bagus kalau kau tidak ingin diganggu lagi olehnya," ujar Sissy mencoba mencari hal baik dari kesalahan yang dia buat."Tapi kenapa harus Bram?" tanyaku sambil merengek."Memangnya kenapa? Aku tahu Bram menyukaimu. Kenapa tidak mencoba menjalani hubungan dengan Bram, mungkin kau bisa melupakan Alex dan cinta kalian.""Sissy! Sudah berkali-kali aku katakan. Kami tidak saling mencintai. Aku dan Alex tidak pernah memiliki cinta yang seperti itu! Lalu mengenai Bram, apa menurutmu dia akan bersedia menjalin hubungan denganku, kalau tahu apa

"Alex, kau juga ada di sini! Apa kau datang bersama Ruth dan Nona Sissy?" sapa Bram dengan senang. Sementara wanita di sampingnya tampak terkesima dengan Alex.Alex terkejut melihat Bram, lalu mencari di sekelilingnya dan tanpa sengaja mata kami bertemu. Alex segera mengalihkan pandangannya."Oh tidak, aku tidak tahu kau akan datang dan mereka berdua menjemputmu," jawab Alex cepat."Apa kau akan pulang ke ibukota?""Tidak, aku kesini untuk menjemput ibu dan adikku. Itu mereka, sampai bertemu lagi lain waktu," jawab Alex singkat, lalu segera berlari menyambut ibu dan adiknya.Bram mendekatiku sambil merangkul wanita tua yang tampak masih sangat cantik itu."Ma, kenalkan ini Ruth gadis yang aku ceritakan ke mama. Dan ini Nona Sissy, pemilik galeri lukisan sekaligus teman baik Ruth," jelas Bram, membuatku salah tingkah.Dia menceritakan tentang aku kepada ibunya? Benar-benar mengejutkan."Halo bibi, selamat datang di Santa Fe," sapaku sambil menjabat tangan ibu Alex.Sissy juga melakukan

Bram menatapku tanpa berkedip, dia tampak tidak terlalu terkejut tapi juga tidak mengatakan sepatah kata pun. Ekspresinya membuatku cukup bingung."Aku minta maaf-""Sebelum kita melanjutkan pembicaraan ini, ayo, kita duduk dulu," potong Bram sambil menarik lenganku dan membawaku ke batang kayu besar yang telah diubah menjadi kursi oleh warga.Kami duduk berdampingan. Lalu aku mulai meminta maaf sekali lagi."Maafkan aku kalau mengejutkan dan mengecewakanmu. Tapi aku tidak bisa lagi menutupi semuanya," lanjutku sambil menunduk.Aku mendengar Bram menghela napas."Aku tahu," jawabnya tenang.Kali ini aku yang menatapnya tanpa berkedip. Dia tahu?"A ... apa maksudmu, Bram?""Aku tahu kau menikah dan melahirkan seorang putra. Aku juga tahu kalau putramu meninggal dunia tiga tahun yang lalu.""Berarti ... kau juga tahu dengan siapa aku menikah?" Suaraku terdengar bergetar karena gugup dan sangat terkejut."Alex.""Ba ... bagaimana kau bisa tahu? Lalu kenapa selama ini kau berpura-pura ti

Kami mulai dengan memutari pasar tradisional Santa Fe. Kedua wanita paruh baya itu tampak bersemangat. Mereka memeriksa beberapa barang, menawar dan membeli dengan mata berkilau. Aku hanya mengikuti mereka di belakang, sambil sesekali menyahuti mantan ibu mertuaku yang berusaha membuatku merasa nyaman."Barang-barang di sini sangat bagus dan murah. Aku jadi ingin tinggal di sini," ucapnya beberapa kali kepadaku. Aku hanya tersenyum terkadang menjawab dengan singkat.Sementara ibu Bram sama sekali tidak memedulikanku. Dia hanya bicara dengan penjual atau ibu Alex, seakan-akan aku tidak ada di sana.Kami menghabiskan waktu cukup lama di pasar tradisional lalu berakhir di pantai yang menurut Bram akan sangat disukai oleh ibunya.Tapi ternyata Bram salah, ibunya benci berada di pantai. Dia terus mengeluh tentang udara yang panas, pasir yang lengket hingga aroma laut yang membuat pusing. Rasanya aku ingin segera mengirimnya pulang ke hotel agar aku bisa menikmati pantai berdua saja dengan m