Lahat ng Kabanata ng Tawanan Cinta Sang Penguasa: Kabanata 131 - Kabanata 140

Cahaya redup dari lampu tidur memantul lembut di dinding putih. Bunyi monitor detak jantung terdengar pelan dan stabil, menjadi satu-satunya suara di dalam ruangan.Tubuh Hiriety terbaring lemah di atas ranjang. Selang infus terpasang di lengannya, dan selimut putih menutupi tubuhnya hingga dada. Kelopak matanya bergerak sedikit. Napasnya pelan… lalu—jari-jarinya menegang pelan.Matanya membuka perlahan.Langit-langit putih. Bau antiseptik.Pandangan Hiriety buram untuk sesaat, tapi yang pertama kali ia rasakan bukanlah rasa sakit… melainkan kehangatan di sisi tubuhnya.Seseorang berbaring di sampingnya—Marco.Lengannya melingkari pinggang Hiriety, wajahnya tertelungkup di atas perutnya. Ada bulu halus di rahangnya, tanda ia belum mencukur selama beberapa hari. Napasnya berat, seolah ia tidur dalam kelelahan yang amat dalam, tapi tetap tidak mau berjauhan.Saat tangan Hiriety bergerak—Marco langsung terbangun.Seolah tubuhnya dilatih untuk bereaksi hanya pada satu gerakan itu.Matanya

Keesokan harinya. Waktu beranjak menuju kepulangan.Ruangan mulai terasa sepi. Hanya tinggal Marco dan Hiriety. Matthias dan Selena telah turun lebih dulu untuk menyiapkan kendaraan. Lova dan Caid pamit sebentar ke ruang administrasi, meskipun jelas Lova tidak berhenti menoleh ke belakang, enggan meninggalkan putrinya terlalu lama.Marco membantu Hiriety mengenakan mantel hitam lembut. Tubuhnya masih lemah, tapi ia sudah bisa berjalan perlahan.Di antara mereka tidak banyak bicara, hanya isyarat dan napas pelan.Marco memapahnya perlahan keluar ruangan, melewati lorong rumah sakit yang panjang dan sunyi. Setiap langkah terasa seperti menyusuri kenangan yang ingin dikubur—tapi tetap membayangi seperti siluet hantu.Sesampainya di mobil, Matthias membukakan pintu belakang dan membiarkan Marco membantu Hiriety duduk di dalam.“Kami langsung kembali” Ucap Marco“Ya jaga dia dan kabarkan terus kondisi putriku”

“Apa yang kau lakukan?” tanya Hiriety, duduk santai di meja kerja, tatapannya menusuk ke arah Marco yang tampak sedang berjuang menahan perasaan di balik senyum tipisnya yang penuh arti, sedikit nakal namun juga menantang.Marco mengerang pelan, nafasnya sedikit berat. “Aku ingin menikmatimu dengan cara yang berbeda, Mia cara,” bisiknya serak, nada suaranya penuh gairah yang tak pernah padam.Hiriety menatap tajam, lalu dengan gerakan santai melebarkan kakinya di depan Marco, mengundang. “Tidak mau masuk?” tanyanya sambil mengejek, matanya berbinar nakal.“Fuck! Aku ingin, tapi tak bisa,” jawab Marco dengan nada putus asa, terlihat jelas pergulatan batin di wajahnya.Mata Hiriety membelalak, dadanya naik turun cepat oleh campuran rasa kaget dan cemas. Tubuhnya yang tadinya larut dalam gairah mendadak tersentak. “Apa ini…?” pikirnya, waktu seperti berhenti sesaat. “Apakah kau sudah ti

Langit Milan pagi itu berwarna biru lembut, seperti kanvas yang dibersihkan khusus untuk satu perayaan. Udara bulan Mei menyebarkan aroma bunga yang mekar dari kebun-kebun kecil yang tersebar di sekitar villa tua yang disulap menjadi tempat pernikahan mereka. Tempat itu bukanlah gedung mewah yang menjulang tinggi, melainkan sebuah properti klasik milik keluarga Walton yang dikelilingi pohon zaitun dan kebun anggur, jauh dari hiruk-pikuk kota—tenang, hangat, dan penuh makna.Hiriety memilih tempat itu bukan karena prestise, tapi karena ia ingin pernikahan yang terbuka. Terbuka dalam artian melakukannya di area terbuka, tanpa dinding atau batasan, seperti hatinya yang akhirnya mempersilakan Marco masuk sepenuhnya. Setelah bertahun-tahun melibatkan luka, kemarahan, dan pengampunan yang samar, hari itu menjadi saksi bahwa cinta mereka, seaneh apa pun bentuknya, layak diperjuangkan.Hiriety berdiri di depan cermin besar yang menghadap jendela dengan tirai tip

Malam mulai turun perlahan di atas villa keluarga Walton. Lampu gantung dari resepsi di taman masih menyala redup, menyisakan jejak-jejak cahaya hangat yang menari-nari di balik tirai kamar tempat Hiriety dan Marco kini berada. Kamar itu luas, berdekorasi klasik dengan jendela besar yang terbuka menghadap kebun zaitun. Tapi meskipun tempatnya megah, malam itu tak terasa mewah—hanya intim.Hiriety berdiri membelakangi Marco, masih mengenakan gaun pengantinnya. Tubuhnya sedikit membungkuk, kelelahan mulai terasa di pundaknya. Malam ini terasa panjang. Terlalu banyak emosi, terlalu banyak tawa, bahkan terlalu banyak kejutan.Marco perlahan menghampiri dari belakang. Ia sudah menanggalkan jas dan dasinya, hanya mengenakan kemeja putih dengan dua kancing terlepas. “Kau lelah?” tanyanya lembut.Hiriety hanya mengangguk pelan, tak berkata apa-apa. Marco menatap punggungnya, lalu perlahan mengangkat tangan untuk membuka resleting gaunnya. Gerakannya ha