All Chapters of Istri Palsu Presdir: Chapter 161 - Chapter 170

Kemudian, perhatian Ethan beralih ke rambut istrinya yang tidak karuan. Sebagian panjang, sebagian tercincang pendek asal.Ia memandang lama, lalu menoleh pada dokter. “Istriku tidak bisa dibiarkan seperti ini. Rambutnya harus dipotong agar tidak menyisakan kenangan buruk apa pun di sini. Apa aman dilakukan sekarang?”Dokter sempat ragu. “Kalau itu … tentu saja aman, Presdir. Tapi kalau Anda mau, kita bisa tunggu sampai tiba. Akan lebih baik dengan hair stylist profesional—”“Aku yang akan melakukannya,” potong Ethan, suaranya tegas.Dokter menatap Ethan sebentar, lalu akhirnya mengambilkan gunting medis kecil dari tas. Sejak awal Ethan sudah terlihat hanya butuh informasi atau pendapat, bukan tindakan medis selain dari pengobatan. Itulah kenapa dokter memilih tidak mengatakan apa pun lagi.“Kau bisa tinggalkan kami,” perintah Ethan tanpa menoleh. Matanya terpaku pada rambut sang istri.“Tentu, Presdir.” Dokter mengangguk, lalu menyerahkan guntingnya pada Ethan.Ethan menerima benda i

Tengah malam, di kawasan pedalaman Redcliff, tempat Stella bersembunyi.Ia berada di rumah bergaya klasik yang berdiri di tengah pepohonan rimbun, dengan cahaya lampu hangat menyorot dari balik jendela-jendela tinggi.Beberapa anak buah Stella yang tersisa, berjaga di luar dan berpatroli di koridor dalam.Sedangkan wanita itu tidak bisa tidur. Ia hanya duduk mengeluh di sofa, sementara tangan kanannya dibalut perban putih yang sudah bernoda merah samar. Setiap gerakan kecil membuat wajahnya meringis, kesal dan tatapannya sesekali menajam setiap mengingat apa yang telah terjadi.Sialan!Kenapa Ethan menembaknya?BUUUM!!!Belum puas Stella bertanya-tanya mengenai sikap Ethan, dentuman keras itu tiba-tiba memecah kesunyian malam.Suara kaca bergetar, dinding rumah berguncang, lalu ledakan kedua menghantam sisi luar bangunan.Teriakan anak buahnya terdengar dari luar. Satu per satu, suara mereka lenyap, digantikan kepanikan dan suara api yang melahap.Stella terhuyung, tubuhnya terlempar

Bunyi gemerisik di semak itu terdengar lagi, lebih dekat.Stella menoleh ke arah suara, matanya menyipit mencoba memaksa penglihatan yang mulai kabur.Dari balik bayang-bayang gelap, seekor rubah kecil melangkah ke sumber cahaya. Bulunya kemerahan, mata bersinar. Hewan itu menghentakkan hidungnya ke udara lalu mendekat ke bawah Stella yang tergantung.Stella menahan napas. Refleks menahan napas.Rubah itu mengendus udara, lalu menjilati setetes darah yang menetes di udara teramat pelan dari perban di tangannya. Setelah itu, binatang kecil itu mundur, menghilang kembali ke semak dengan langkah cepat.Sunyi kembali, kecuali dengungan di kepala Stella yang makin keras.Ia menahan keinginan untuk berteriak, walau hatinya terus mengumpat tak henti.Karena bersuara berarti menarik perhatian. Mungkin bisa mengundang sesuatu yang lebih berbahaya. Jadi ia menekan gigi, menahan napas, berusaha menunggu. Namun tubuhnya lebih lemah daripada kemauannya. Darah dari perban di tangan kanannya menete

Suara berderit dari atas kepalanya menghentikan kalimat teriakannya. Langkah pelan, seperti seseorang berjalan di loteng. Namun ia tahu itu bukan kebetulan, itu disengaja. Tapi tetap saja, mata Stella membelalak sesaat sebelum ia memaksa dirinya terkekeh sinis. “Apa-apaan ini? Kau memerintahkan anak buahmu untuk menari-nari di atap rumah tua? Konyol sekali. Sama sekali tidak berhasil menakutiku.”Namun genggamannya pada pistol makin erat. Bahunya sedikit kaku, tubuhnya menempel ke dinding, tak berani berdiri tepat di bawah loteng yang menjadi tempat suara langkah itu berasal.Tiba-tiba, sesuatu jatuh dari tangga kayu kecil yang tergantung setengah. Sebuah boneka lusuh dengan gaun compang-camping terhempas ke lantai, kepalanya terputar ke arah Stella. Bola matanya retak, tapi tetap terasa seperti menatapnya langsung.“Brengsek …” desis Stella pelan. Wajahnya menegang, tapi bibirnya membentuk senyum mengejek. “Boneka? Itu trik paling kekanakan yang pernah aku lihat, Ethan. Kau pikir ak

Stella mengepalkan tangannya diam-diam, dan keningnya mengernyit mendengar penuturan marah sang ayah. ‘Mereka’ yang ayahnya maksudkan itu, apa orang yang sama yang sempat ia lihat sebelumnya saat ia mengalami hal-hal buruk di Redcliff dan sekitarannya?Itu orang suruhan Ethan. Sudah pasti. Ia tidak ragu sama sekali.“Hei, Stella,” bentak David lagi, mengernyit kesal pada putrinya yang justru melamun di hadapannya.Tersentak pelan, Stella memasang ekspresi selayaknya seorang anak yang sadar apa kesalahannya dan berusaha agar dimaafkan. Walau sebenarnya, Stella sama sekali tidak berniat untuk meminta maaf pada siapa pun, termasuk ayahnya sendiri.“Ya, Ayah. Aku sadar kalau perbuatanku itu sangat buruk. Aku … aku benar-benar menyesal,” tuturnya, penuh raut sedih yang palsu.David seakan lelah melihat Stella, padahal selama ini sang putri adalah kebanggaan keluarga mereka. “Jangan pernah muncul di hadapan ibumu, kalau kau masih suka berbuat ulah seperti ini.”Nada tegas ayahnya membuat