Malam itu, lampu-lampu kota berpendar di kaca mobil yang membawa Alana pulang. Namun pikirannya tak selaras dengan laju kendaraan—terhanyut dalam suara Bagas yang masih terngiang-ngiang di telinganya. Tatapan hangat itu, pujian tulus itu, dan perasaan aneh yang perlahan merambat ke relung hatinya membuat dada Alana terasa sesak tapi hangat pada saat yang bersamaan.Begitu sampai di rumah, Alana menatap pintu rumahnya dengan napas yang tak beraturan. Ia tahu di balik pintu itu, bukan kasih sayang yang menantinya. Bukan pelukan seorang ibu yang peduli, tapi ambisi, tekanan, dan pengkhianatan dari darah dagingnya sendiri. Namun, ia tetap mengetuk, tetap masuk, tetap berusaha kuat.Wina sudah duduk di ruang tamu, menatap layar ponselnya dengan senyum kecil. Ia tak menoleh saat Alana masuk. "Kamu nggak terlalu malam," ucapnya datar, seolah hanya mencatat waktu.Alana hanya mengangguk. "Iya, Ma. Makasih udah bolehin aku pergi."Wina menoleh sejenak, lalu tersenyum, kali ini senyumnya lebih
Last Updated : 2025-05-17 Read more