Alana, gadis SMA yang malang. Terlahir tidak melihat sosok Ayah, sedangkan harus menanggung malu dengan perkejaan ibunya yang sebagai mucikari. Hal ini, Alana tutup serapat mungkin, agar teman-teman sekolahnya tak mengetahui latar belakang keluarganya.
Lihat lebih banyakSeorang ibu muda berdiri di hadapan putrinya dengan sorot mata tajam, seolah siap menerkam gadis itu kapan saja.
"Dasar anak tidak tahu diuntung! Seharusnya kamu bersyukur bisa makan dan tidur enak, bukan malah menggurui saya... Dasar anak sok suci!" Wina berteriak, menjambak rambut putrinya dengan kasar.
Alana meringis kesakitan, air matanya jatuh tanpa bisa ditahan. "Ampun, Ma... Sakit... Hiks..."
Tanpa peduli, Wina melemparkan ember berisi pakaian kotor ke lantai. "Sekarang juga, cuci semua ini!"
Dengan napas tersendat, Alana mengangguk lemah. Air matanya terus mengalir tanpa henti, membasahi pipinya yang sudah basah sejak tadi. Dengan tangan gemetar, ia menyeka wajahnya, berusaha menelan kepedihan yang menggumpal di dadanya. Tanpa kata, ia meraih ember penuh pakaian kotor, mengangkatnya dengan susah payah, lalu melangkah keluar rumah dengan langkah tertatih. Punggungnya yang ringkih seakan menanggung beban yang jauh lebih berat dari sekadar cucian kotor—beban yang menekan hatinya hingga nyaris remuk.
Sementara itu, Wina menghela napas kasar, bibirnya mencibir saat ia kembali merapikan alat kosmetiknya yang berserakan. Tangannya bergerak cepat, namun sesekali ia menggerutu, melontarkan keluhan yang hanya membuat suasana semakin panas. Tiba-tiba, suara ketukan terdengar dari arah depan, membuatnya terhenti. Tatapannya beralih, dan tanpa ragu, ia berjalan menuju pintu. Dengan satu tarikan napas, ia membukanya.
Di ambang pintu, seorang pria berbadan kekar berdiri tegap, senyum khasnya terpatri di wajahnya—sebuah ekspresi yang entah menenangkan atau justru membawa pertanda lain. Mata tajamnya menatap lurus ke arah Wina, seolah membaca isi pikirannya.
“Seperti biasa, masuklah,” ujar Wina sambil menyunggingkan senyum menggoda.
Aleksander, pria bule kaya raya langganannya, melangkah masuk tanpa ragu. Tubuhnya yang tegap dan aura kekuasaannya memenuhi ruangan seketika. Ia langsung duduk di kursi favoritnya, melepaskan mantel mahalnya dengan gerakan santai, lalu bersiap menikmati layanan yang sudah lama ia nantikan.
“Wina, pijatanmu selalu luar biasa...” bisiknya dengan nada menggoda, jemarinya menelusuri lengan Wina secara halus. “Aku sampai lupa keluarga kecilku di rumah karena terbayang-bayang oleh sentuhanmu.”
Wina hanya terkekeh kecil, jemarinya yang lentik mulai bekerja, menekan otot-otot tegang Aleksander dengan mahir. Di sudut ruangan, bayangan lampu temaram menari di dinding, seolah menjadi saksi bisu pertemuan mereka yang penuh rahasia.
"Mau pakai minyak A atau B?" tanyanya, sembari menunggu Aleksander tengkurap dengan nyaman.
“Apa saja yang kamu pilihkan untukku, aku selalu puas,” jawab Aleksander tanpa ragu. Namun entah angin apa yang berembus di telinga bule itu, tiba-tiba ia nyeletuk, “Sudah enam kali aku ke sini, tapi aku belum pernah melihat keluargamu. Apa kamu tinggal sendirian?”
Wina terdiam sejenak, namun segera mengendalikan ekspresinya. Ia menatap Aleksander dengan senyum tipis, menyembunyikan sesuatu di balik tatapan matanya. Dengan suara lembut namun penuh perhitungan, ia berkata, “Aku masih lajang, Aleks. Hidupku hanya milikku sendiri.”
Aleksander menatapnya lekat, senyumnya bertambah lebar. “Bagus,” gumamnya. “Wanita bebas seperti kamu lebih menarik.”
Wina hanya tersenyum, lalu menuangkan minyak ke tangannya, bersiap melanjutkan pijatannya. “Tentu saja,” jawabnya santai. “Aku selalu tahu apa yang terbaik untukku.”
Di dalam hatinya, ia tertawa kecil. Aleksander mungkin mengira sedang mengendalikan permainan, tapi Wina tahu betul, dialah yang sebenarnya memegang kendali.
Sementara itu, di tepi sungai yang jernih, Alana mulai mencuci pakaian. Udara sejuk dan suara gemericik air sedikit menenangkan hatinya. Namun, beberapa pria yang tengah memancing di dekat sana memperhatikannya lekat-lekat, terpesona oleh kecantikannya.
Di sisi lain, beberapa gadis memperhatikan situasi itu dengan sinis. Salah satu dari mereka, Dewi, berteriak keras, "Hei, cowok-cowok! Ngapain sih lihat dia terus? Cantik sih, tapi dalamnya belum tentu rapat! Hahaha!"
Tawa sinisnya bergema, membuat beberapa pria tertawa canggung, tetapi tidak dengan Bagas.
"Dewi, kamu sendiri tukang selingkuh tapi malah suka menjelekkan orang lain., seharusnya kamu intropeksi diri" ucap Bagas, teman Alana dan Dewi, sekaligus mantan kekasih Dewi.
Wajah Dewi memerah, entah merasa malu atau marah? Yang jelas ia langsung meninggalkan area sunga tanpa sepatah katapun dan diikuti oleh teman-temannya.
Alana memilih diam dengan berusaha menahan air matanya agar tidak jatuh. Tiba-tiba salah satu pakaian milik yang Alana cuci terbawa arus air yang cukup kencang. Ayuna panik, tidak tahu bagaimana cara mengambilnya. Bagas yang melihat itu segera bergegas mengejar pakaian tersebut meski harus masuk ke sungai yang lebih dalam. Dengan bersusah payah, ia berhasil meraihnya dan menyerahkannya kembali kepada Ayuna.
"Te... Terimakasih!" Alana meraih pakaian itu dan memasukkanya kembali ke dalam ember.
"Alana, apa kamu tidak capek menyuci sebanyak ini?" tanya Bagas, melihat cucian yang menumpuk dengan raut wajah heran.
Alana tersenyum tipis. "Aku tidak merasa lelah kok, aku senang bisa mencuci pakaian Mamaku" ujar Alana.
Namun, kebersamaan mereka tak berlangsung lama. Beberapa ibu-ibu datang, melihat putra mereka berbincang dengan Alana, dengan segera memanggil putranya untuk pergi menjauhi Alana, "Jangan dekat-dekat dia! Anak mucikari itu tidak ada bedanya sama ibunya!" seru salah satu ibu dengan menatap Alana penuh kebencian.
Alana terdiam, tubuhnya gemetar menahan air mata yang mulai megucur membasahi pip mungilnya. Setelah mereka pergi, ia tak kuasa lagi membendung air mata. Sendirian di tepian sungai, ia menangis sejadi-jadinya, memukul pipinya sendiri karena merasa begitu terhina.
Satu jam kemudian, Aleksander meninggalkan rumah Wina, menyelipkan banyak uang merah ke tangan wanita itu sebelum pergi. Wina tersenyum puas, menyimpan uang itu dengan rapi di laci berukuran sedang dan berisi gembok besi berukuran besar. Saat Alana kembali dengan cucian bersih, Wina langsung menyuruhnya menjemur semua pakaian cucian itu dengan sendirian.
"Maaf, Ma. Bisa bantuin aku menjemur, ya? Soalnya Alana merasa capek" pinta Alana dengan harapan kecil.
Namun, mata Wina melotot dengan tajam,"Ah... Dasar anak manja!!!"
"Kerjakan sendiri!" ucapnya sembari meninggalkan Alana.
Tanpa pilihan lain, Alana mulai mengambil satu persatu pakaian basah tersebut dan menjemurnya dengan langkah pelan, "Syukurlah sudah semuanya berada di jemuran, mungkin sekarang aku harus mandi agar rasa letih ini bisa menghilang" gumamnya sembari tersenyum tipis.
Selesai mandi, tiba-tiba perutnya berbunyi,"Yah... Aku baru ingat, bahwa aku belum makan sedari tadi"
Alana yang merasa lapar, bergegas menuju ke arah dapur dan melihat Wina sedang memasak. Ia mencoba membantu, tetapi saat membawa makanan ke meja, kakinya tidak sengaja terpeleset, akibatnya Piring yang dibawanyapun jatuh dan pecah. Wina menoleh, tanpa pikir panjang, ia menghampiri Alana dan...
Plak! Plak! Plak!
Tamparan bertubi-tubi mendarat di wajah mulus Alana. Gadis itu hanya bisa menjerit kesakitan dengan gerakan tubuh bergetar ketakutan.
"Dasar anak sialan! Matamu rabun atau buta sih!!!"
Bentak Wina yang tidak punya perasaan kasihan terhadap putrinya sendiri. Sementara para tetangga yang mendengar kegaduhan itu, memilih tetap diam, seolah tuli, tidak ada yang peduli pada penderitaannya, di sudut meja, Alana menekuk lututnya, fisik dan hatinya terluka dan untuk kesekian kalinya, ia bertanya dalam hati—apakah ada seseorang yang peduli padanya?
Perjalanan menuju pulang di malam yang sudah sepi terasa lebih tenang bagi Alana. Angin malam berembus pelan, menenangkan pikirannya yang masih dipenuhi beban harian. Namun, ketenangan itu sedikit terusik ketika Bagas tiba-tiba berbicara, suaranya terdengar lembut namun tegas."Alana, kita singgah dulu di warung makan, yuk. Aku yang traktir."Alana terkejut. Ia menggigit bibirnya, merasakan jantungnya berdegup lebih cepat. Ia menunduk, mencoba mencari alasan. "Maaf, aku sudah makan," jawabnya cepat, berbohong.Bagas menoleh sekilas, menatapnya dengan tatapan penuh arti, lalu tersenyum kecil. "Ayo makan lagi, nanti aku yang bayar."Alana menggeleng cepat, namun Bagas tetap memaksanya dengan nada lembut. "Aku tidak bisa makan sendirian, temani aku, Alana."Setelah beberapa kali menolak, akhirnya Alana mengalah. Mereka berhenti di sebuah restoran binta lima dan tentunya menjadi restoran favorit. Terlihat ada banyak pengunjung yang masih berdatangan ke restoran ini, walaupun sudah larut m
Bagas teringat nomor WhatsApp Alana dan ia mencoba memberikan pesan singkat kepada Alana. Didalam isi pesan tersebut, Bagas menuliskan bahwa ia menanyakan apakah Alana juga diajak ke mixue oleh Dewi?Setelah mengirim pesan singkat, Bagas memutuskan untuk tidur sejenak. Matanya dipejamkan dan tidak lama terdengar pesan masuk yang membuat kedua bola mata pemuda itu membuka, "Hai Bagas, kebetulan aku diajak kok" balas Alana lewat pesan.Lalu Bagas mencoba menawarkan diri untuk membonceng Alana, awalnya Alana menolak tawarannya namun akhirnya Alana mengiyakan ajakannya tersebut. Mereka janjian untuk ketemuan di jam tujuh malam, "Tapi jangan jemput di depan rumahku, cukup kita ketemuan di tempat yang tadi aku turun dari motor kamu” tulis Alana di pesan tersebut.Sebenarnya ada rasa penasaran, namun Bagas memilih untuk tidak memikirkan hal yang belum tentu benar, "Paling tidak, malam ini aku bisa barengan bersama dia" gumamnya pelan.Alana menaruh ponselnya ke atas kasur dan menoleh kearah
Matahari perlahan muncul dari peraduannya, menandakan pagi yang cerah telah kembali. Kehidupan mulai bergerak, hiruk-pikuk aktivitas kembali memenuhi sudut-sudut kota, termasuk di lingkungan sekolah. Para siswa dengan penuh semangat memasuki ruang kelas mereka, siap menghadapi hari yang baru.Di Sekolah Widya Piki Negeri Nusantara, suasana ramai terdengar di setiap sudut. Beberapa siswa-siswi terlihat asyik mengobrol, di antaranya Anik dan Ayuna."Ayuna, kemarin aku senang banget! Ayang beliin aku boneka!" seru Anik dengan wajah berbinar.Ayuna tersenyum ikut merasakan kebahagiaan sahabatnya. Tak lama, Bagas datang bersama teman-temannya. Ayuna, yang sudah lama menyimpan perasaan padanya, merasa salah tingkah. Anik, yang selalu peka terhadap perasaan sahabatnya, langsung menggoda."Cieee... Ada yang lagi deg-degan nih!"Ayuna semakin tersipu saat Bagas menyapa mereka. Anik membalas sapaan dengan santai, sementara Ayuna tampak gugup. Melihat ekspresi Ayuna, Bagas langsung bertanya, "Ay
Beberapa ibu-ibu julid pada berkumpul didepan pintu rumah Alana, beberapa diantara mereka sibuk membuat konten demi mendapatkan followers dengan menuliskan caption “Ada yang lagi ribut nih”"Pasti bakalan ramai konten ini!" Ucap yang lainnya. Mendengar suara kegaduhan diluar pintu, Wina memutuskan untuk berhenti marah-marah kepada Alana dan bergegas berjalan ke arah depan pintu, menyelidiki suara kegaduhan apa yang berada diluar rumahnya? Wina mulai membuka pintu dengan cepat sehingga mereka para ibu-ibu yang bersenderan dipintu tersebutpun ikut terjatuh dan meringis kesakitan, "Aduhh sakit!“"Eh, Bu Wina! Kalau membuka pintu yang pelan dikit kenapa sih?!” protes salah satu ibu-ibu yang jatuh tersungkur.Wina tersenyum sinis lalu berteriak dengan suara menggelegar hingga membuat mereka kabur tunggang langgang, "Dasar... Cuma segitu doang pada kabur"Wina menutup kembali pintu depan rumahnya dan menghampiri Alana yang masih terdiam di lantai.“Cepat bereskan semuanya!”Alana mengan
Seorang ibu muda berdiri di hadapan putrinya dengan sorot mata tajam, seolah siap menerkam gadis itu kapan saja."Dasar anak tidak tahu diuntung! Seharusnya kamu bersyukur bisa makan dan tidur enak, bukan malah menggurui saya... Dasar anak sok suci!" Wina berteriak, menjambak rambut putrinya dengan kasar.Alana meringis kesakitan, air matanya jatuh tanpa bisa ditahan. "Ampun, Ma... Sakit... Hiks..."Tanpa peduli, Wina melemparkan ember berisi pakaian kotor ke lantai. "Sekarang juga, cuci semua ini!"Dengan napas tersendat, Alana mengangguk lemah. Air matanya terus mengalir tanpa henti, membasahi pipinya yang sudah basah sejak tadi. Dengan tangan gemetar, ia menyeka wajahnya, berusaha menelan kepedihan yang menggumpal di dadanya. Tanpa kata, ia meraih ember penuh pakaian kotor, mengangkatnya dengan susah payah, lalu melangkah keluar rumah dengan langkah tertatih. Punggungnya yang ringkih seakan menanggung beban yang jauh lebih berat dari sekadar cucian kotor—beban yang menekan hatinya
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen