All Chapters of A Love- Hate Affair 'The Northern Duke's Touch': Chapter 21 - Chapter 30

Aaron akhirnya meletakkan cangkir teh di atas meja dengan perlahan, matanya menyapu ruangan sebelum kembali menatap Raja Arthur. "Astheria begitu mempesona dengan segala kemewahan dan kehormatannya. Namun, Aku yakin Anda juga tahu, jika sesuatu yang terlalu sempurna bisa menjadi rentan. Tanpa ketegasan, kerajaan ini bisa saja kehilangan segalanya dalam waktu singkat." Raja Arthur membalas dengan senyum tipis, kembali menatap Aaron. "Aku tidak pernah menganggap Astheria sempurna, Jenderal. Namun, kami lebih memilih kesejahteraan rakyat ketimbang kekuatan yang menindas." Aaron mengangkat bahunya, menanggapi dengan ringan. "Tentu, Yang Mulia. Namun, kita akan lihat siapa yang bertahan lebih lama dalam waktu yang penuh dengan ancaman ini." Percakapan mereka terus berlanjut dengan kata-kata yang penuh sindiran halus dan saling mempertahankan pandangan politik masing-masing. Keduanya sangat sadar bahwa meskipun mereka saling menghormati, perbedaan antara kerajaan mereka adalah sesuatu

"Pantatku..." ringis Tiffany, sambil memegangi pantatnya yang bulat dan padat. perwira kaelion spontan menunduk dan membangunkan bocah kecil itu dengan perlahan. "Kau tidak apa-apa, Tiffany?" tanyanya. Namun. sebelum Tiffany menjawab, teriakan nyaring terdengar memanggil namanya. "TIffany!" Mereka melirik ke sumber suara di belakang Tiffany dan bocah itu dengan cepat bersembunyi di belakang tubuh sang perwira. Nalira berlari ke arah mereka dengan pipi memerah, ia mengenakan gaun hijau pucat yang elegan, rambutnya setengah basah dan nampak berantakan karena tidak sempat di sisir. Nampaknya Nalira memang sudah idak sabar untuk menghukum peri nakal itu, hingga mengabaikan riasan yang biasa ia gunakan. Meski begitu, kecantikannya tak berkurang sedikitpun "Tiffany!" Nalira semakin dekat dan peri kecil itu semakin mencengkram jubah sang perwira untuk mencari perlindungan. "Huh....Kau pikir, kau bisa bersembunyi dariku?!" Pekik Nalira, begitu ia tiba di hadapan Kaelion dan

Aaron berdiri di balkon memandang matahari terbenam sambil menggenggam gelas anggur. ia tersenyum tipis, mengingat kata kata dominic bahwa terkadang musuh harus di peluk sebelum akhirnya di hancurkan dan Astheria terlalu sulit untuk ditaklukkan, bukan karena kekuatan militernya, tapi karena hubungan politik dan rasa hormat yang mereka bangun selama bertahun-tahun. Kerajaan ini berdiri bukan di atas benteng batu, tapi di atas kepercayaan banyak pihak. Dan itulah yang membuatnya kuat. Dengan gerakan elegan, Aaron mengangkat gelasnya sedikit ke udara, seolah bersulang kepada langit senja. Ia tahu, peperangan yang akan datang bukan hanya akan berlangsung di medan tempur, melainkan juga dalam meja-meja perundingan, di antara bisikan licik dan langkah-langkah diplomasi.  Ia meneguk anggurnya perlahan, lalu mengalihkan pandangan kebawah ke arah taman. Pandangannya menyipit saat melihat sosok wanita membawa sebuah buku kuno, diikuti anak kecil yang tertatih mengejarnya sambil memeluk wa

Nalira tiba di depan Aaron dengan napas terengah-engah, matanya berbinar dengan senyum tak biasa yang dipancarkan wanita itu, membuat Aaron curiga. "Beruntung kau belum pergi, aku hanya ingin memberimu sedikit oleh-oleh, mohon untuk di terima" suara Nalira lembut. Aaron mengerling ke arah kotak kayu yang berukuran sedang di tangan Nalira. "Apa itu?" tanyanya. "Oleh-oleh." jawab Nalira tanpa ragu. Aaron mendengus, jawaban Nalira yang tak memuaskan semakin membuatnya curiga, ia ingin menolak tapi melihat raja memperhatikan interaksi mereka, membuatnya tidak berkenan. "Baiklah, Terima kasih." Aaron akhirnya menerima dengan senyum dingin yang hanya Nalira lihat. Aaron kemudian melangkah lebih dekat ke tubuh wanita itu, bibirnya hampir menempel ke telinga Nalira. "Jika ini semacam lelucon, kau akan menyesal pernah mencoba." Napas hangatnya menyapu sisi wajah Nalira, membuat wanita itu berkedip pelan. Namun bukannya mundur, Nalira malah menegakkan tubuhnya dan menoleh sed

Tiffany menunduk, mengangguk pelan menatap Tuan putrinya kembali duduk di meja kerjanya, tanganya perlahan membuka kertas kertas dokumen kerajaan tetapi wajahnya datar bahkan terlihat dingin. Tiffany tahu sang Tuan sedang dalam keraguan tentang jati dirinya, tapi memberitahukan kebenaran tanpa diskusi dengan anggota peri kerajaan bukanlah tindakan tepat. Peri kecil itu menoleh ke cermin, pemandangan masih menampakan Aaron yang tengah menarik tali kekang kereta kuda di jalanan yang sepi dan berkabut. Sihir dari ritualnya belum terjadi karena menggunakan sistem sihir diralva, dimana sihir akan bekerja sesuai waktu yang diniatkan atau di ritualkan, sedangkan sihir dari ritual Nalira dan Tiffany itu akan terjadi setelah pukul tengah malam. Tiffany mendengus pelan. Membayangkan malam ini akan meriah karena suara tawa Tuan putri yang puas mengerjai sang Jenderal, tapi malah berakhir kesunyian yang membingungkan. Ia mengayunkan tongkat sihirnya ke cermin lalu cahaya ungu berpendar, kab