Semua Bab Mahkota Yang Terenggut: Bab 21 - Bab 30

Sinar matahari pagi menembus tirai jendela, menyilaukan mata Andro yang masih berat karena efek alkohol. Kepalanya berdenyut keras, rasa mual menjalar di perutnya. Dengan gerakan malas, ia mengusap wajahnya dan mengerang pelan. "Apa yang terjadi semalam…?" gumamnya dengan suara serak. Ia menoleh ke samping tempat tidur dan mendapati ranjang itu kosong. Tidak ada siapa-siapa di sana. Seprai sedikit kusut, tapi tidak ada tanda-tanda keberadaan seseorang. Andro memijit pelipisnya, mencoba mengingat. Semalam… ia ingat Sabrina berusaha kabur. Ia mengejarnya. Ia marah. Namun, setelah itu… Bayangan samar tentang Sabrina di bawahnya, wajahnya yang basah oleh air mata, tubuhnya yang menggigil—semua itu melintas seperti kepingan mimpi yang kabur. "Tidak mungkin…" Andro tertawa kecil, getir. "Itu cuma mimpi… kan?" Ia bangkit dengan tubuh lemas, berjalan ke kamar mandi. Air dingin menyiram wajahnya, membuatnya sedikit lebih sadar. Namun, perasaan tidak nyaman masih menyelinap di dadanya.

Malam itu, Karina duduk sendirian di kamarnya yang luas dan sunyi. Tangannya meremas selimut dengan mata yang berkaca-kaca. Sandi tidak pernah lagi menghabiskan malam bersamanya sejak kehadiran Nadine. Dia bisa menerima bahwa suaminya menikah lagi, meskipun dengan terpaksa. Tapi yang membuat hatinya hancur adalah kenyataan bahwa Sandi sudah tidak lagi menganggapnya penting. Sejak dokter mengatakan bahwa dia mandul, segalanya berubah. "Kamu nggak bisa punya anak, Karina..." Suara dokter masih terngiang di telinganya, seperti pisau yang terus-menerus mengiris hatinya. Dan sejak saat itu, Sandi semakin menjauh. Dari kejauhan, Karina bisa mendengar suara tawa dari kamar sebelah. Kamar Nadine. "Sandi... ah och. Aah, kamu nakal banget!" terdengar suara Nadine menggoda. Lalu suara tawa mereka berdua. Karina mengepalkan tangannya. Dadanya terasa sesak. Matanya memburam oleh air mata. "Apa aku masih istrinya?" Dia bangkit dari tempat tidur, keluar dari kamar, lalu berdiri di depan pint

Malam itu, Karina duduk di tepi ranjang, memeluk lututnya sendiri. Pintu kamar terbuka, dan ia tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang datang.Sandi.Langkahnya berat, penuh amarah, tapi ada satu hal yang tidak pernah berubah—keinginannya untuk menuntut haknya sebagai suami.Karina menggigit bibirnya, menahan ketakutan yang selalu menyelimuti setiap kali malam seperti ini tiba."Apa kamu pikir aku akan membiarkanmu tidur nyenyak sendirian?" suara Sandi dingin.Karina menegang. "Sandi... aku capek."Sandi mencibir. "Capek? Sejak kapan wanita murahan sepertimu bisa bilang capek?"Karina menelan ludah. Wanita murahan. Itu yang selalu Sandi sebutkan untuknya sekarang."Kamu tahu kan, ini satu-satunya alasan kenapa aku masih mempertahankanmu di rumah ini?" Sandi menarik Karina kasar, mencengkeram tangannya hingga terasa sakit.Karina menatap wajah lelaki yang dulu sangat ia cintai, tapi kini hanya menyisakan ketakutan. "Kamu membenciku... tapi masih melakukan ini padaku?"Sandi tertawa d

Sabrina.Gadis itu telah lama menghilang dari kehidupannya. Namun, kenangannya masih tersimpan rapi dalam ingatan. Kenangan tentang seseorang yang, dengan caranya sendiri, telah mengajarkan bahwa nilai seseorang bukan hanya diukur dari kepintaran, melainkan dari ketulusan dan kebaikan hati.Sandi selalu percaya bahwa cinta pertama adalah yang paling murni. Cinta yang datang tanpa direncanakan, tanpa dicari, namun mampu mengakar begitu dalam di hati. Baginya, Sabrina adalah cinta itu. Sejak pertemuan pertama di rumahnya, saat gadis itu dengan sabar mengajari Andro matematika, hatinya telah memilih.Sabrina bukan hanya cantik dan pintar, tetapi juga baik hati. Ia tidak pernah pacaran, begitu pula dengan Sandi yang sejak kecil hanya fokus belajar dan mengukir prestasi. Mereka sama-sama polos dalam urusan cinta. Dan, Sandi tahu bahwa hanya ada satu hal yang harus ia lakukan—meminang Sabrina.Begitu Sabrina lulus, Sandi tidak menunda-nunda. Ia datang ke rumah gadis itu dengan penuh keyakin

Sandi akhirnya tidak bisa menahan keinginannya.Suatu malam, ia masuk ke kamar Sabrina, yang kini sudah hamil tua. Sabrina terkejut melihatnya berdiri di ambang pintu, menatapnya dengan cara yang berbeda. Tidak ada lagi kebencian di mata Sandi. Tidak ada lagi penolakan seperti sebelumnya."Sandi?" suara Sabrina bergetar.Sandi berjalan mendekat, lalu duduk di tepi ranjang. Tangannya terulur, menyentuh wajah istrinya yang tampak lelah. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia menyentuhnya dengan kelembutan."Aku ingin kita mulai lagi," bisiknya.Mata Sabrina membesar. "Apa maksudmu?"Sandi mengusap perut Sabrina yang membuncit, merasakan kehidupan yang sedang tumbuh di dalamnya. Meski anak itu bukan darah dagingnya, ia ingin mencoba menerimanya. Ia ingin mencoba mencintai Sabrina kembali, tanpa rasa sakit dan kebencian yang dulu membelenggunya.Aku ingin kita bahagia, bertiga—bersama Karina."Dan malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Sandi kembali menyentuh Sabrina